Jumat, April 03, 2009

KESEJAHTERAAN GURU HARUS DIUTAMAKAN

     Guru merupakan figur yang menjadi contoh bagi semua generasi muda. Guru dapat secara langsung memberikan kesejahteraan bagi negeri ini dengan mencetak generasi muda yang berpendidikan baik dan memiliki ilmu untuk membangun negeri. Dengan demikian, peran guru dalam pembangunan Indonesia sangatlah penting dan semua yang berkaitan dengan guru harus mendapatkan prioritas dari negara.

   Raditya mengaku sangat beruntung dilahirkan dari rahim seorang guru yang telah membesarkannya hingga sekarang. Figur seorang guru yang dilihat Raditya pada ibunda kandungnya merupakan sebuah realita yang ia lihat sehari-hari.

     Sayangnya, nasib guru yang jelas-jelas dapat memberikan sumbangsih nyata bagi kemajuan bangsa justru dipandang sebelah mata oleh pemerintah saat ini. Raditya melihat dengan jelas, banyak guru yang tergadaikan penghasilannya oleh jeratan kredit konsumtif berbunga tinggi baik dari bank pemerintah maupun bank perkreditan rakyat (BPR). Ia khawatir, jika perhatian guru bercabang dengan kebutuhan hidupnya, maka guru tak akan fokus dalam menjalankan tugas utamanya yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

     Guru, utamanya yang telah berstatus pegawai negeri sipil (PNS), seharusnya mendapatkan perhatian dari pemerintah yang ekstra tinggi. Selain penghasilan yang besar, juga berbagai kebutuhan hidupnya dipenuhi. Pemerintah juga seharusnya membuat sebuah regulasi yang mengatur agar penghasilan guru tak semuanya dapat digadaikan untuk pinjaman kredit. Difungsikannya kembali koperasi guru atau bank guru adalah bentuk ideal yang seharusnya dilakukan.

     Raditya melihat, kecenderungan saat ini yaitu banyaknya guru yang terlilit oleh jeratan kredit konsumtif, misalnya yang ditawarkan oleh Bank Jabar atau sejumlah BPR di Kabupaten Bandung. Cara pemasaran yang sangat gencar oleh mereka banyak membuat para guru tergiur untuk mengambil fasilitas kredit konsumtif itu tanpa memperhatikan dampak susulannya. Secara tak sadar, bunga tinggi yang dipatok bank akan sangat membebani para guru yang dipotong gajinya setiap bulan. Selama ini, tak ada regulasi yang mengatur tentang kelayakan gaji guru setelah dipotong cicilan kredit, hingga kenyataan di lapangan banyak guru yang ketar-ketir untuk menutup kebutuhan sehari-harinya.
     Seperti para PNS Kabupaten Bandung lainnya, kebanyakan guru “menyekolahkan” SK-nya di Bank Jabar atau sejumlah BPR untuk mendapatkan fasilitas kredit. Sayangnya, kredit itu bukanlah kredit usaha yang dapat menghasilkan keuntungan, melainkan untuk kebutuhan konsumtif seperti membeli kendaraan bermotor, memperbaiki rumah, biaya anak sekolah, dan lain-lain. 

     Celakanya, bank justru mematok bunga tinggi untuk kredit itu. Padahal, seharusnya bank mematok bunga rendah karena tingkat pengembalian kredit sangat tinggi dan pasti dengan tingkat risiko yang rendah karena setiap bulan para PNS pasti mendapatkan gajinya. Penunjukkan salah satu bank oleh pemerintah daerah juga menjadikan tak adanya persaingan yang sehat dengan bank lain hingga tingkat suku bunga tak pernah menurun. Keadaan ini akan sangat merugikan guru sebagai nasabah.

     Jika hal itu dibiarkan, maka tak akan menutup kemungkinan akan tercipta sebuah fenomena “corruption by need” atau tindakan korupsi yang disebabkan oleh mendesaknya kebutuhan sehari-hari. Guru tak akan fokus lagi dalam memberikan pengajaran kepada anak didiknya karena juga harus memikirkan penghasilan tambahan. Tak sedikit, guru yang harus memberikan les atau pelajaran tambahan kepada murid yang sebenarnya ingin mencari penghasilan tambahan. Tindakan ini, membuat para guru honorer dikedepankan dalam memberikan pengajaran meski tak sesuai porsinya. Kualitas pengajaran hampir dipastikan akan mengalami penurunan jika fenomena ini nyata terjadi.

    Raditya sama sekali tak menilai bahwa guru tak berhak atas sejumlah fasilitas kredit konsumtif itu. Minimnya penghasilan guru, akan membuat mereka berpikir keras untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari di tengah semakin tingginya harga-harga sekarang. Raditya hanya menilai ada sesuatu yang salah dengan fenomena ini. Seharusnya, guru diberikan fasilitas kredit lunak tanpa harus dibebani bunga tinggi. Selain itu, sudah seharusnya ada aturan yang menghitung agar tak semua gaji guru tergadaikan untuk membayar cicilan.

     Terdapat beberapa alternatif solusi untuk memecahkan masalah ini. Salah satunya berupa penetapan bunga rendah oleh bank untuk guru. Selain itu, payroll penghasilan guru langsung diberikan pada individu-individu guru. Biarkan guru memutuskan sendiri fasilitas pinjaman yang akan diambilnya. Raditya juga menyarankan, seharusnya tak hanya Bank Jabar yang diberikan wewenangnya oleh pemerintah daerah untuk mengelola gaji guru ini. Semua ini terkesan seperti sebuah monopoli. Seharusnya juga diberikan peluang untuk bank-bank lain. Jika dilakukan, efeknya, akan terjadi sebuah persaingan yang kompetitif antarbank dan guru sebagai nasabah yang akan diuntungkan karena setiap bank akan berlomba mematok bunga rendah untuk menarik hati nasabah.

     Satu solusi yang dinilai akan sangat efektif, menurut Raditya, yakni optimalisasi kembali koperasi guru yang selama ini terkesan mati suri. Keberadaan koperasi, khususnya koperasi guru, saat ini tergencet oleh banyak bermunculannya BPR dan institusi simpan pinjam lain yang menggurita di tengah masyarakat. Teknik pemasaran mereka yang gencar seakan mengelabui masyarakat dengan kenyataan yang ada berupa bunga yang tinggi. Koperasi yang berasaskan kekeluargaan akan memberikan kemudahan bagi guru untuk mengelola uang mereka sendiri. Alih-alih dibebani bunga yang tinggi seperti di bank, maka guru akan mendapatkan keuntungan dengan sisa hasil usaha yang akan didapat anggota secara berkala. Tinggal sekarang, para pengelolanya yang harus memiliki pengetahuan manajerial yang baik, jujur, serta dipercaya oleh anggota koperasi guru yang lain.

     Pembentukan bank guru adalah bentuk lain selain koperasi yang dirasa ideal. Raditya menilai, bank guru akan memberikan kemudahan bagi guru yang membutuhkan biaya tambahan tanpa terjerat oleh ancaman bunga yang tinggi.*