Jumat, Februari 27, 2009

Guru Honor Diakui

Keberadaannya lewat Perda

Jumat, 27 Februari 2009

BANDUNG (Suara Karya): Sedikitnya 11 ribu guru honor yang tergabung dalam Forum Guru Honor Sekolah (FKGHS) Kabupaten Bandung bisa berlega hati. Pasalnya, nasib mereka yang selama ini terkesan tidak menentu, dalam waktu dekat keberadaan mereka akan diakui melalui peraturan daerah (perda).

  Anggota Komisi B dari Fraksi Partai Golongan Karya, DPRD Kabupaten Bandung, H Tb Raditya, menyebutkan bahwa keberadaan guru honor sekolah tak ubahnya seperti guru yang sudah menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Tugas-tugas mereka sepengetahuan Raditya sama dengan guru PNS. Bahkan, adakalanya guru honor ini melaksanakan tugas mengajar yang melebihi guru PNS.

  "Ini kondisi nyata yang terjadi di setiap sekolah. Banyak guru honor yang dipercaya memegang kelas. Kualitasnya pun tak kalah dengan guru yang sudah PNS," kata Raditya.

  Untuk memberikan pengakuan atas keberadaan guru honor itu, pihaknya kini tengah merancang peraturan daerah (perda) yang mengatur tentang keberadaan guru honor tersebut.

  Perda ini, kata Raditya, sebagai perda inisiatif. Artinya, perda tersebut diusulkan dan dirancang oleh DPRD. "Jangan kecil hati, meski belum mendapat giliran untuk diangkat menjadi PNS, mereka diatur keberadaannya oleh perda tersebut. Guru PNS dan guru honor sekolah fungsinya tidak berbeda," tutur Raditya.

  Sementara itu, Ketua FKGHS Kabupaten Bandung Indra Agustina ST menyambut baik inisiatif DPRD Kabupaten Bandung tersebut. Disebutkan, umumnya guru honor yang tergabung dalam FKGHS tidak terlalu ngotot pada persoalan status mereka. "Kami hanya ingin keberadaan kami diakui. Kalaupun Komisi B menggunakan hak inisiatif, itu sangat menggembirakan kami," tutur Indra.

  Selama ini, lanjut dia, FKGHS secara tidak langsung keberadaannya sudah diakui oleh Pemerintah Kabupaten Bandung. Namun, secara formal masih harus menunggu mekanisme yang berlaku. Menurut Indra, dengan adanya inisiatif merealisasikan perda yang khusus akan mengatur keberadaan guru honor, itu artinya pintu gerbang pengakuan sudah di depan mata.

  Pengakuan FKGHS oleh Pemkab Bandung tersebut dipaparkan Indra dengan turunnya dana bantuan untuk 11.578 guru honor yang tergabung dalam FKGHS pada tahun anggaran 2007 dan 2008. Namun, pada tahun anggaran 2009 bantuan dana tersebut tidak dianggarkan.

  Menurut Indra, karena sifat bantuan tersebut hibah dari Pemkab Bandung, maka apa pun alasannya pihak FKGHS harus menerima. "Kami tidak tahu persis aturannya.

  Namun, yang saya dengar, hibah dana tidak bisa berturut-turut tiga kali. Kami bersyukur sebab kami sudah mendapat pengakuan," kata Indra.

  Pada anggaran APBD tahun lalu, FKGHS mendapat bantuan hibah dana sebesar Rp 6,3 miliar. Dana sebesar itu sudah didistribusikan kepada guru honor yang tergabung dalam FKGHS. Dana tersebut, diungkapkan Indra, kecuali untuk para guru honor, juga untuk melakukan pendataan para guru honor. (Agus Dinar) 


Kamis, Februari 19, 2009

Guru dan Utang

MENYEDIHKAN memang, kalau benar, 85%-90% guru di Kab. Bandung terlilit utang. Tentu ini bukan kesalahan guru semata, apabila kita melihat begitu besarnya utang tersebut. Bukan pula karena ketidakmampuan guru mengendalikan keuangannya. Mungkin ada faktor lain.

Kita bisa membayangkan, kalau dari 15.000 guru di Kab. Bandung 85%-nya berutang dengan rata-rata Rp 5 juta saja, maka kurang lebih Rp 75 miliar. Dan, kalau saja pihak bank memberikan fee 1% saja dari jumlah tersebut ke oknum yang mempermudah pinjaman para guru ini, maka ada pendapatan dari pinjaman guru tersebut sebesar Rp 750 juta. Artinya, besarnya pinjaman guru tersebut bisa dipicu oleh oknum yang ada di internal instansi tersebut, yang mendapatkan untung dari penderitaan guru.

Sedih, kita memang sangat sedih melihat kondisi guru yang terlilit utang. Seorang guru SD di Kab. Bandung yang karena terlilit utang ke bank, terpaksa "menggelapkan" tabungan milik siswa didiknya. Namun akhirnya, cicilan ke bank tetap tidak terbayar, begitu pula ia dikejar-kejar orangtua siswa karena uang anaknya tidak dibayarkan. Ia kemudian dipindahkan ke SD lain dan karena sudah tidak mendapatkan gaji (habis dipotong pinjaman bank), semangat ngajar-nya hilang. Dalam satu minggu bisa dihitung jari kehadirannya di kelas. Ujung-ujungnya, ia meninggalkan pula SD tersebut karena sudah tidak bisa lagi untuk bayar angkot dan ojek ke tempatnya mengajar.

Itu masih mendingan. Cerita menggetirkan juga menimpa seorang kepala sekolah yang karena terlilit utang, ia mencari tambahan dengan menjanjikan bisa memasukkan jadi pegawai negeri sipil (PNS). Hubungannya yang luas, menjadikan ia dipercaya sejumlah orang yang ingin jadi PNS. Tarifnya antara Rp 25 juta hingga Rp 40 juta. Ujung-ujungnya, tak seorang pun yang diterima. Ia akhirnya dikejar-kejar sejumlah orang yang merasa tertipu. Ia menghilang dari rumahnya. Meninggalkan sekolahnya dan hingga sekarang entah di mana.

Guru dan utang memang seperti sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Karena instansi tempat mereka berlindung juga punya konstribusi terhadap meningkatnya utang guru. Tidak sedikit guru yang mengeluhkan tiba-tiba mendapatkan potongan untuk barang-barang yang dijual dedet dengan mengatasnamakan pimpinan instansi tempat mereka bekerja. "Kadangkala sangat menggelikan. Bayangkan, tiba-tiba ke sekolah ini didrop alat-alat untuk mandi dan pembersih toilet sekolah. Sekolahnya saja belum punya toilet, untuk apa barang-barang tersebut?" ujar seorang kepala sekolah. Tapi, barang yang sudah dikirim tidak bisa dikembalikan dan ujung-ujungnya honor kepala sekolah yang dipotong.

Jadi, apa yang dikemukakan Plt. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Kab. Bandung tentu tidak sebatas menghentikan MOU saja. Juga, harus ada upaya untuk menghentikan semua pemotongan terhadap guru untuk hal-hal yang tidak perlu. Ia tentu punya tanggung jawab untuk lebih melindungi guru agar take home pay (THP) tidak sampai di bawah 50%, bahkan kalau mungkin tidak sampai di bawah 60%. Karena, dengan 60% uang yang masih mereka bawa ke rumah, tentu mereka masih punya "energi" untuk tetap menjalankan rutinitas pekerjaannya. Yakni, menjadikan anak-anak kita lebih cerdas tidak hanya dalam pelajaran, namun dalam mengatur hidupnya sesuai dengan ajaran agamanya. **

TUNJANGAN PENGHASILAN PEGAWAI

Sistem penggajian Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diberlakukan di Indonesia mengacu kepada sistem pemberian gaji dasar yang sangat rendah, serta tidak secara langsung menyesuaikan dinamika perubahan inflasi dan biaya hidup dari tahun ke tahun. Dengan tingkat inflasi Indonesia yang relatif tinggi, mata uang rupiah terus mengalami depresiasi terhadap mata uang jangkar (US $). Kondisi tersebut berdampak terhadap semakin lemahnya daya beli masyarakat, termasuk PNS. Dengan sistem penggajian sekarang ini, mayoritas PNS di Indonesia akan merasa sulit untuk mendukung pemenuhan kebutuhan primer sehari-hari setiap bulannya, walaupun dalam kategori hidup sederhana. Sistem penggajian ini diyakini merupakan salah satu penyebab timbulnya korupsi (corruption by need). Bentuk korupsi tersebut adalah dengan melakukan penyalahgunaan wewenang dengan memanfaatkan aturan hukum yang lemah untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidup. Kenyataan bahwa gaji PNS tidak memadai menumbuhkan sikap permisif masyarakat terhadap perilaku korupstif PNS. Demikian pula, sikap toleransi PNS terhadap lingkungan kerja yang korup menjadi semakin meluas di seluruh Indonesia, seiring berkembangnya pola hidup masyarakat yang semakin konsumtif. Kondisi tersebut menjadikan Indonesia merupakan salah satu Negara yang terkorup di dunia sehingga harus segera dicarikan solusinya.

Kebijakan pemberian honorarium kepada PNS yang selama ini dilakukan hanya terbatas kepada PNS yang terlibat pada kegiatan proyek, pada unit kerja teknis tertentu justru menimbukan ketimpangan dan berpotensi menyulut kecemburuan antar PNS. Kondisi tersebut mengakibatkan demotivasi kerja bagi sebagian besar PNS. Usaha telah dilakukan oleh beberapa pemerintah daerah misalnya Kabupaten Solok (pada tahun 2003), Pemerintah Provinsi Gorontalo (pada tahun 2004) dan Pemerintah Kota Pekanbaru (pada tahun 2006) dalam mencari solusi untuk mengatasi rendahnya pendapatan PNS. Cara yang diterapkan hampir sama yaitu dengan memberikan tambahan pendapatan secara merata kepada seluruh pegawai, namun yang berbeda adalah syarat pemberian tambahan pendapatan tersebut. Pemberian tambahan pendapatan tersebut dimaksud supaya tidak menimbulkan kecemburuan diantara PNS. Berdasarkan peraturan baru yaitu Permendagri No. 13 tahun 2006, pasal 39 ayat (2) berbunyi: “Tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam rangka peningkatan kesejahteraan pegawai berdasarkan beban kerja atau tempat bertugas atau kondisi kerja atau kelangkaan profesi atau prestasi kerja”. Dengan ketentuan tersebut maka memungkinkan bagi pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota untuk memberikan tunjangan berupa tambahan penghasilan bagi PNS daerah asalkan berdasarkan kepada beban kerja atau tempat bertugas atau kondisi kerja atau kelangkaan profesi atau prestasi kerja. Pendekatan untuk memberikan tambahan penghasilan terhadap PNS diatas sebagai salah satu solusi yang obyektif dalam mengatasi rendahnya pendapatan PNS karena

Salah satu kriteria pemberiannya didasarkan atas prestasi kerja. 

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam hal ini memandang bahwa pendekatan diatas merupakan terobosan untuk mengatasi rendahnya pendapatan PNS, sebelum pemerintah mampu melakukan reformasi sistem penggajian PNS secara nasional. Harapan kebijakan Tambahan Penghasilan bagi PNS Daerah Dengan diberlakukannya kebijakan tambahan penghasilan bagi PNS daerah diharapkan berdampak kepada peningkatan kesejahteraan pegawai. Pemberian tambahan penghasilan tersebut bersifat rutin diterima pegawai per-bulan sehingga menumbuhkan keyakinan pegawai dalam menetapkan perencanaan kebutuhan hidupnya. Disisi lain pemberian tambahan penghasilan diarahkan agar seluruh PNS termasuk pegawai pada garis depan pelayanan agar dapat meningkatkan disiplin dan kinerjanya dan dapat memberikan kualitas layanan sesuai standar prosedur baku (SOP) yang ditetapkan. Pemerintah di daerah dapat memberlakukan sanksi yang tegas bagi pegawai yang menerima suap dalam memberikan layanan masyarakat. Studi ini diharapkan dapat memperoleh gambaran tentang persepsi pegawai setelah diberlakukannya pemberian tambahan penghasilan. Apakah pegawai merasa senang (sejahtera) dengan adanya kebijakan tersebut serta apakah telah terjadi peningkatan integritas pegawai dengan ditunjukkan adanya peningkatan kualitas layanan.


Terjadinya peningkatan kualitas layanan salah satunya ditandai dengan berkurangnya atau tidak adanya pungutan tambahan di luar biaya resmi. Apakah pegawai merasa penghasilannya meningkat dan kebutuhannya terpenuhi, serta apakah dengan kebijakan tersebut dapat menghilangkan rasa iri hati diantara mereka. Apabila beberapa indikator tersebut ditemukan positif dalam studi ini, maka kebijakan tambahan penghasilan ini dapat digunakan sebagai salah satu acuan untuk melakukan motivasi terhadap pegawai serta segera ditularkan ke daerah lain agar terjadi peningkatan prestasi dan produktifitas pegawai secara nasional. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penerapan tambahan penghasilan bagi PNS daerah Agar pemberlakuan kebijakan pemberian tambahan penghasilan bagi PNS daerah tidak menimbulkan kritikan dari masyarakat, maka harus didasarkan pada aspek-aspek yang secara riil dapat mendukung terhadap terwujudnya kedisiplinan dan prestasi kerja pegawai. Hal pokok lain yang perlu dipersiapkan dalam memulai untuk melaksanakan kebijakan tambahan penghasilan bagi PNS antara lain: 1) Dasar Hukum untuk dapat diterapkannya kebijakan Tambahan Penghasilan bagi PNS daerah. Dengan dasar hukum berupa Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota yang mengacu kepada ketentuan yang terdapat pada Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2005, tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, serta Permendagri tahun No. 13 tahun 2006, diharapkan dapat memberikan kepastian hukum untuk diberlakukannya kebijakan tersebut; 2) Mengidentifikasi sumberdana dan jumlah dana, khususnya identifikasi honor-honor yang diberikan kepada pegawai sebelumnya, kemudian untuk disatukan, serta tidak menciptakan anggaran baru (sub-mak baru) dari APBD yang mengarah kepada pemborosan keuangan; 3) Mengidentifikasi seluruh jumlah pegawai baik struktural maupun fungsional; 4) Menyusun dasain sistem untuk menetapkan syarat-syarat pemberian tambahan penghasilan yang jelas dan mengarah kepada kinerja; 5) Mendesain sistem pengawasan untuk memonitor pelaksanaan kebijakan tambahan penghasilan tersebut; 6) Menetapkan besaran tambahan penghasilan bagi masing-masing pegawai dengan mengacu kepada azas kepatutan sehingga tidak menimbulkan kesenjangan; 7) Menghapuskan pemberian honor yang lain: 8) Meningkatan kompetensi pegawai sesuai bidang tugas sehingga acuan pengukuran pemberian tambahan penghasilan dengan menggunakan standar pengukuran prestasi kerja dapat dipertahankan.

Selasa, Februari 10, 2009

Ditipu, Guru SD Datangi Dewan

SOREANG,(GM)-
Tiga orang guru SD negeri di Kec. Margaasih, Kab. Bandung, Senin (9/2) mendatangi DPRD Kab. Bandung. Mereka mengadukan ulah Bendahara UPTD Margaasih, AC yang meminjam uang ke bank dengan mengatasnamakan para guru. 

Kepada anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung, mereka mengungkapkan, selama ini dikejar-kejar debitur bank karena AC sudah beberapa bulan menunggak. "Kami bingung, padahal utang ke bank akibat ulah oknum UPTD yang tidak membayar," kata Heni Heryani, salah seorang guru yang datang ke dewan.

Diungkapkan Heni, sebelumnya para guru memang meminjam ke bank dan pembayarannya dipotong langsung dari gaji oleh bendahara UPTD. "Kemudian AC menawarkan lagi kepada saya untuk meminjam lagi ke bank lain. Tapi uang dan cicilannya dibagi dua," katanya.

Setelah beberapa bulan, lanjut Heni, cicilan yang harusnya dibayar AC ternyata dipotong dari gaji miliknya. "Makanya ketika gajian, saya malah minus dan harus bayar ke bank," ujarnya. Hal yang sama dikatakan Iim, guru lainnya. "Ke BPR saya pinjam Rp 20 juta, yang Rp 15 juta saya ambil dan AC ngambil Rp 5 juta. Meski menggunakan nama saya, tapi cicilan yang Rp 5 juta dibayar AC," ungkapnya.

Setelah beberapa kali membayar, lanjut Iim, ternyata cicilan yang seharusnya dibayar AC, justru dipotong dari gajinya hingga gajinya minus. "Pertama-tama cicilan yang Rp 5 juta dibayar AC. Tapi sejak bulan Desember 2008, gaji saya yang dipotong," katanya.

Menurut Iim, kasus yang menimpa dirinya ini, dialami juga oleh guru-guru lain. Diperkirakan jumlahnya sekitar 110 orang. "Bahkan setelah diselidiki, AC mempunyai utang ke bank sampai Rp 1,3 miliar. Caranya sama, yaitu dengan membujuk guru lainnya untuk meminjam ke BPR dan dia numpang. Tapi saat pembayaran, justru guru itulah yang harus menanggungnnya," jelasnya.

Menanggapi keluhan para guru tersebut, anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung, Tubagus Raditya mengatakan, permasalahan ini harus diselesaikan Dinas Pendidikan (Disdik) Kab. Bandung. Jika dibiarkan, dikhawatirkan proses mengajar akan terganggu. (B.97)**

Raditya, "Banyak yang Pulang Tidak Membawa Uang Sepeser pun"

85% Guru Terlilit Utang?

SOREANG,(GM)-

DPRD Kab. Bandung menilai, salah satu faktor menurunnya kualitas mengajar di wilayah Kab. Bandung diakibatkan para pengajar yang memiliki tunggakan ke bank. Untuk wilayah Kab. Bandung sendiri, sekitar 85-90% dari sekitar 15.000 guru PNS-nya terlilit utang ke bank.

Hal ini dikatakan H. Tubagus Raditya, anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung kepada wartawan di ruang kerjanya, Senin (9/2). Menurutnya, tidak sedikit dari para guru memiliki utang kepada lebih dari 2 bank dengan jumlah tunggakan mencapai puluhan juta. Uang tersebut rata-rata digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, juga dibelanjakan secara konsumtif. Untuk melunasinya, mereka mencicil melalui pemotongan gaji setiap bulan selama beberapa tahun.

"Akibat pinjaman yang cukup besar ini, banyak guru yang saat gajian tidak menerima seperser pun uang. Bahkan tidak sedikit gaji mereka yang minus karena sudah habis untuk membayar cicilan," katanya.

Jika ini terus berlanjut, tambah Tubagus, dikhawatirkan akan mengganggu aktivitas mengajar. Sebab terkadang mereka harus dikejar-kejar debitur yang mendatanginya hampir tiap hari.

"Seperti para guru yang datang kali ini, akibat pinjam ke bank, bahkan lebih dari satu bank, mereka dikejar-kejar debitur. Sedangkan untuk membayarnya, gaji mereka minus hingga Rp 1,8 juta. Kalau terus begini, bagaimana mereka mau mengajar dengan baik" ujarnya.

Menurut Tubagus, permasalahan ini perlu secepatnya diselesaikan oleh pihak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud). "Ini harus segera diselesaikan. Sebab merupakan kunci pokok permasalahan di Dikbud," katanya.

Diungkapkan Tubagus, permasalahan ini karena ada ketidakberesan di UPTD-UPTD setempat. Terlebih dalam aturan perbankan, pihak bank sebelum memberikan kredit tentunya melihat kemampuan atau gaji si kreditur. "Selama ini gaji guru dibagikan melalui UPTD masing-masing sehingga pihak bank langsung memotongnya. Tapi bagaimana bisa dengan gaji mereka yang sudah minim akibat potongan bank, masih tetap bisa meminjam ke bank lain dengan jumlah puluhan juta?" ujarnya penuh tanda tanya. (B.97)**

Rabu, Februari 04, 2009

Sambut Baik Raperda Penataan dan Pemberdayaan Pasar
Pedagang Tradisional Bosan Jadi Objek

SOREANG,(GM)-
Himpunan pedagang tradisional di Kab. Bandung berharap dalam Rancangan Peraturan Daerah Penataan dan Pemberdayaan Pasar yang sedang dibahas Panitia Khusus (Pansus) V DPRD Kab. Bandung, mereka tidak hanya dijadikan objek. Pihak pedagang menyambut baik usul dewan yang meminta agar mereka dilibatkan dalam pembahasan raperda tersebut.

Perwakilan dari komunitas Pasar Soreang, Maman mengatakan hal itu, usai mengikuti audiensi dengan Pansus V di Gedung DPRD Kab. Bandung, Senin (2/2). Menurut Maman, terbitnya raperda dan kemudian jadi perda tentang penataan dan pemberdayaan pasar merupakan angin segar bagi pedagang seperti mereka. 

"Kami berharap ada keberpihakan kepada pedagang tradisional, khususnya melihat kondisi persaingan ekonomi saat ini," katanya.

Dijelaskan Maman, peraturan tentang pasar yang pernah ada selama ini lebih banyak menempatkan pedagang sebagai objek. "Sudah saatnya melibatkan mereka. Melihat peraturan yang pernah ada, pedagang tradisional khususnya hanya ditempatkan sebagai pedagang, sedangkan kami berharap ada partisipasi dari pedagang terhadap peraturan yang nanti dibuat," katanya.

Selain mengakui pedagang tradisional, lanjut Maman, dalam raperda ini mereka berharap diatur mekanisme parsaingan harga antara pasar tradisional dan pasar modern. "Kami pedagang tradisional harus dilindungi dalam persaingan harga karena harus bersaing dengan yang memiliki modal besar," katanya.

Sementara itu, anggota Pansus V DPRD Kab. Bandung, Tb. Raditya mengatakan, para pedagang tradisional diberi kesempatan untuk melihat poin per poin isi dari raperda inisiatif dewan tersebut. "Bila nanti ada poin yang dinilai oleh pedagang tidak berpihak, silakan direvisi sebelum itu nanti disahkan," ujarnya.

Dikatakan Raditya, raperda tersebut diharapkan bisa dituntaskan dalam waktu dekat. "Dalam pembahasan raperda ini ada rambu-rambu yang tidak bisa kita langkahi, yaitu Peraturan Presiden (Perpres) No. 112/2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern. Sehingga raperda ini tetap bertujuan untuk melindungi pasar tradisional," ujarnya.

Dijelaskan Raditya, dalam raperda ini nantinya diatur mengenai keberadaan pasar modern agar tidak mematikan pasar tradisional, juga mendorong kerja sama antara dua jenis pasar tersebut. (B.89)**