Rabu, Februari 27, 2008

Musim Hujan Sebabkan Gabah Kering Anjlok


Selasa, 26 Februari 2008
Musim hujan yang berkepanjangan menyebabkan produksi gabah kering bagi sebagian petani menurun. Krisis ini diperparah dengan anjloknya harga gabah kering maupun gabah giling. Menurut anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung Tubagus Raditya, penyebabnya adalah kurangnya tempat-tempat penggilingan gabah dan juga regulasi Badan Usaha Logistik (Bulog) yang masih menerapkan harga berdasarkan pada Instruksi Presiden (Inpres) No. 3 Tahun 2007 tentang Kebijakan Perberasan Nasional.

Aturan itu menyebutkan, harga pembelian gabah kering panen dengan kadar air maksimum 25% dihargai Rp 2000,00 per kilogram untuk petani. Sebaiknya, dicantumkan klasifikasi waktu panen. Sekarang ini lagi musim hujan, produksi gabah kering menurun. Petani mau tidak mau harus tetap menjual gabah agar perekonomiannya tetap berlangsung. Mengacu pada inpres tersebut, harga jual gabah jelas turun drastis.

Ia mengatakan, jika hal tersebut berulang-ulang terjadi, petani akan malas menanam padi. Selanjutnya, akan terjadi kelangkaan beras yang membuat pemerintah harus mengimpor beras dari luar. Menurut dia, inpres itu sudah bagus, jika dilihat sebagai upaya preventif terhadap permainan harga gabah oleh tengkulak. Namun, jika tidak disesuaikan dengan kondisi cuaca, aturan itu bisa sangat merugikan.

Kesulitan yang dihadapi petani saat musim hujan juga diungkapkan staf Dinas Pertanian Kabupaten Bandung Dadang Hermawan. Petani bisa menyikapinya dengan menggunakan mesin pengering gabah, yang saat ini ada di beberapa tempat di Kabupaten Bandung. Di Cangkuang, sudah berdiri mesin pengiring dengan kapasitas yang cukup besar untuk mengatasi persoalan gabah yang sulit kering.


Sumber : Harian Umum Pikiran Rakyat, Selasa 26 Februari 2008

 

Senin, Februari 25, 2008

Suplai dari Kalimantan ke Kab. Bandung Tersendat
Pabrik Tekstil Kehabisan Batu Bara



SOREANG, (GM).-
Sejumlah pabrik tekstil di Kab. Bandung yang mempergunakan bahan bakar batu bara terancam tak bisa berproduksi. Sudah hampir dua minggu suplai batu bara dari Kalimantan tidak bisa dilakukan akibat buruknya cuaca. Berdasarkan laporan yang masuk ke Komisi B DPRD Kab. Bandung, jika hingga minggu depan tidak ada pasokan, maka pabrik-pabrik tersebut tidak bisa berproduksi lagi.

Anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung, Tb. Raditya kepada "GM" di Soreang, Sabtu (23/2) mengatakan, sebagian besar pabrik tekstil yang ada di Kab. Bandung menggunakan batu bara untuk kegiatan produksinya. Kebanyakan dari pabrik-pabrik tersebut merupakan pabrik-pabrik besar.

"Konsumsi pabrik-pabrik tersebut per hari mencapai 20.000 ton, dan hingga sekarang pasokan yang didatangkan dari Kalimantan tidak bisa dilakukan karena kondisi cuaca yang tidak membaik," katanya.

Dijelaskan anggota dewan dari Fraksi Golkar ini, sudah hampir dua minggu kapal tongkang pengangkut batu bara dari Kalimantan tidak bisa merapat ke pelabuhan di Cirebon. Hal ini menyebabkan terhentinya pasokan ke pabrik-pabrik di Kab. Bandung. "Cuaca buruk memang terjadi di sebagian besar daerah di Indonesia. Agar pasokan bisa lancar, kita berharap cuaca kembali normal," jelasnya.

Dilanjutkannya, bagi pabrik yang memiliki cukup persediaan, maka tersendatnya suplai batu bara tidak menjadi masalah. Meski kondisi seperti ini berlangsung lama, namun pabrik-pabrik tersebut tidak akan bermasalah.

Namun, lanjutnya, sebagian besar pabrik tidak bisa menyimpan stok terlalu banyak. Karenanya selama dua minggu belum ada pasokan, pemilik pabrik-pabrik tersebut mulai khawatir tidak dapat berproduksi. "Tidak bisa dibayangkan jika kondisi cuaca terus berlangsung seperti sekarang, stok mereka pun kemungkinan hanya akan cukup hingga minggu ini," ujar Raditya.

Gunakan boiler

Jika pasokan batu bara ini hingga minggu depan tidak bisa dilakukan, tambahnya, maka pabrik-pabrik tersebut akan menggunakan boiler untuk melanjutkan produksinya. "Tetapi tidak semua pabrik memilikinya. Bagi perusahaan yang memiliki boiler tentu bisa terus berproduksi sebagai langkah darurat. Sayangnya dari 80% pabrik tekstil di Kab. Bandung yang menggunakan batu bara tidak diketahui pasti apakah mereka sudah memiliki alat tersebut atau tidak," ungkap Raditya.

Sementara itu bagi perusahaan yang menggunakan boiler sebagai alternatif, tentunya harus mengambil risiko karena jumlah biaya yang dikeluarkan untuk akan jauh lebih mahal dibandingkan jika menggunakan batu bara. "Dari segi biaya jelas akan lebih mahal jika menggunakan boiler, dan tentunya ini akan menajdi beban tambahan bagi perusahaan tersebut," katanya.

Raditya berharap agar para pengusaha bisa menghemat bahan bakar karena kondisi cuaca belum terlihat akan membaik. "Tentunya semua tidak berharap produksi akan terhenti dan salah satu alternatif adalah dengan melakukan pengiritan, mengingat prediksi cuaca belum ada kepastian akan sampai kapan seperti ini," ujarnya.

Diungkapkan Raditya, sebagai alternatif ada beberapa daerah di Banten yang memiliki tambang batu bara, meskipun skalanya tidak sebesar yang ada di Kalimantan. "Sebagai langkah cepat bisa dipasok dari daerah tersebut, jangan sampai terjadi penghentian produksi dan berakibat buruk bagi dunia industri di Kab. Bandung," katanya. (B.89)**

Jumat, Februari 22, 2008

Industri Besar Borong Batu Bara
23 Kapal Tertahan di Bawean Karena Cuaca Buruk


BANDUNG, (PR).-
Krisis pasokan batu bara masih terus berlangsung. Hingga Kamis (21/2) belum ada satu pun kapal pengangkut batu bara yang merapat ke Pelabuhan Cirebon, dan banyak stockpile (tempat penyimpanan batu bara) di Cirebon yang kosong. Biasanya, ada empat hingga enam kapal pengangkut batu bara yang merapat dengan kapasitas 6.000 ton.

Seorang penyuplai batu bara di Cirebon mengatakan, stok batu bara yang ada sudah dipesan perusahaan-perusahaan besar, itu pun jumlahnya semakin menipis. Dia menegaskan, perusahaan-perusahaan kecil sudah tidak mungkin mendapat pasokan, jika hingga Minggu (24/2) tidak ada kapal pengangkut batu bara yang merapat di Cirebon.

"Dari informasi yang saya peroleh, ada sekitar 23 kapal pengangkut batu bara dengan tujuan Cirebon, yang saat ini tertahan di Pulau Bawean karena cuaca buruk dan gelombang yang tinggi," kata anggota Komisi B DPRD Kabupaten Bandung, Tubagus Raditya yang terus memantau situasi di pelabuhan.

Tubagus Raditya menyebutkan, beberapa perusahaan besar yang membutuhkan pasokan batu bara sudah mulai mencari suplai dari daerah lain. Kata dia, perusahaan Pan Asia bahkan mendapatkan suplai dari Semarang karena kebetulan ada kapal pengangkut batu bara yang merapat di Pelabuhan Semarang.

Direktur Pan Asia Suwadi Bing Andi membenarkan kondisi itu, jika perusahaannya mencari pasokan batu bara hingga ke Semarang. Biasanya, kata Suwadi, pasokan batu bara untuk perusahaannya diperoleh dari Cirebon. "Sejauh ini, operasi perusahaan kami tidak terganggu oleh krisis batu bara itu sebab kami sudah mendapatkan alternatif suplai batu bara," kata Suwadi.

Disikapi pasrah

Menyikapi kelangkaan batu bara akibat terhambatnya pengiriman dari Sumatra dan Kalimantan karena ombak tinggi, disikapi oleh para pengusaha tekstil di Jabar dengan sikap pasrah. Sebanyak 140 dari 450 industri tekstil pengguna batu bara di Jabar, saat ini hanya bisa berharap agar ombak segera normal.

"Pabrik tekstil yang punya persediaan batu bara paling banyak sekarang ini hanya cukup untuk 10 hari produksi," ujar Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jabar Ade Sudradjat, Kamis (21/2).

Oleh karena itu, jika dalam beberapa hari ke depan pasokan batu bara tidak kunjung datang, menurut Ade, ada kemungkinan pabrik-pabrik tekstil di Jabar ada yang menghentikan produksi. Terutama pabrik tekstil di Bandung dan sekitarnya, yang banyak menggunakan batu bara dalam proses finishing produk.

Untuk mengatasi masalah terhambatnya pasokan batu bara tersebut, Ade mengaku tidak memiliki jalan keluar. Pasalnya, diakali dengan pengangkutan kapal besar pun, tetap sulit dilaksanakan.

"Sebenarnya bisa saja diangkut dengan kapal besar ke Pelabuhan Tanjung Priok, tapi di sana juga tak ada alat sedot untuk memindahkan batu bara dari kapal ke darat," katanya.

Sementara Ketua Kadin Jabar Iwan Dermawan Hanafie mengatakan pemerintah harus segera membuat pengaturan untuk pasokan batu bara tersebut. Pasalnya, masalah kelangkaan batu bara sebetulnya tak hanya diakibatkan oleh terhambatnya pasokan, tetapi diakibatkan juga banyaknya batu bara yang diekspor.

"Harga ekspor memang lebih menarik, ini menjadikan produsen batu bara banyak yang berkonsentrasi untuk ekspor," katanya. (A-132/A-135)***zaky pikiran rakyat
Penyertaan Modal untuk KUKM
Dana Rp 10 M Tertahan di BRI



BANDUNG, (PR).-
Dana penyertaan modal untuk koperasi dan usaha kecil dan menengah (KUKM) dari Pemkab Bandung sebesar Rp 10 miliar tertahan di BRI Cabang Majalaya. Komisi B DPRD Kabupaten Bandung meminta dana itu ditarik kembali jika tidak juga terserap sampai 50% pada Mei 2008 dan merekomendasikan untuk menggunakan jaringan BPR milik Pemkab Bandung sebagai bank pelaksana.

Anggota Komisi B Tubagus Raditya mengatakan, dana penyertaan modal itu diserahkan oleh Pemkab Bandung pada Oktober 2007 agar bisa digunakan sebagai pinjaman bagi KUKM. Namun, hingga Januari 2008 dana yang disalurkan baru Rp 660 juta. Raditya menduga, BRI Majalaya sengaja memperlambat proses penyaluran itu.

"BRI Majalaya mendapatkan keuntungan yang banyak dengan dana penyertaan modal itu. Di dalam aturan bupati tentang penyertaan modal tersebut, Pemkab Bandung tidak mendapat jasa giro selama masa penyaluran. Artinya, semakin lama masa penyaluran, bank semakin untung. Selain itu, dari bunga sebesar 7% yang dikenakan ke nasabah, sebesar 4% akan diambil bank pelaksana, 2% untuk UKM yang bersangkutan, dan 1% untuk pemupukan penyertaan modal," tutur Raditya, Kamis (21/2).

Ia memaparkan, dengan memperlambat masa penyaluran, bank memiliki waktu yang lebih lama untuk mengelola uang tersebut tanpa harus membayar jasa giro kepada Pemkab Bandung. Oleh karena itu, Komisi B DPRD Kab. Bandung meminta BRI Majalaya menjelaskan alasan terlambatnya penyaluran dana tersebut.

Komisi B juga mempertanyakan alasan Pemkab Bandung yang hanya menggunakan jasa BRI Majalaya sebagai bank pelaksana. Padahal, di Kab. Bandung, BRI memiliki cabang hampir di setiap kecamatan. Dengan hanya menggunakan satu cabang, pelaku KUKM tidak bisa mengakses dana itu dengan mudah. "Kalau semua jaringan cabang BRI di Kab. Bandung digunakan untuk penyaluran dana, saya yakin penyerapan dana oleh KUKM tak akan lama," kata Raditya.

Proposal pinjaman

Kasubdin Usaha Kecil dan Menengah Dinas KUKM Kab. Bandung, Heni Herliani mengatakan, pada akhir Januari 2008, tercatat 10 KUKM dan 6 koperasi yang mendapat dana pinjaman modal dari BRI Majalaya dan BRI Syariah Karapitan. Total dana pinjaman mencapai Rp 660 juta dari dana keseluruhan Rp 10 miliar. Dana 10 miliar itu berasal dari APBD 2007, dengan jangka pelunasan 2-3 tahun dan bunga 7% per tahun.

Heni memperkirakan, Rabu depan (27/2), sebanyak 20-30 KUKM akan dicairkan dananya. "Saya harap, akhir Februari akan banyak KUKM yang sudah bisa mendapat dana tersebut," kata Heni, Kamis siang (21/2).

Saat ini terdapat 5.000 UKM yang terdaftar sebagai binaan Dinas KUKM Kab. Bandung. Mereka terbagi ke dalam tiga jenis usaha yaitu industri, perdagangan, dan jasa. (A-132/CA176) Zaky Pikiran Rakyat

Komisi B Setujui Pemkab Tarik Dana KUKM di BRI


SOREANG, (GM).-
Komisi B DPRD Kab. Bandung merekomendasikan kepada Pemkab Bandung agar menarik dana penyertaan modal koperasi dan usaha kecil menengah (KUKM) dari BRI Cab. Majalaya. Penarikan dilakukan jika hingga Juni nanti 50% dari dana sebesar Rp 10 miliar yang disertakan tidak tersalurkan.

Dikatakan anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung, Tb. Raditya di Soreang, Kamis (21/2), DPRD akan merekomendasikan hal tersebut bila dalam perkembangannya penyaluran dana yang berasal dari APBD 2007 itu jalan di tempat. Selama empat bulan ini, baru 6,6% dana yang berhasil diserap sektor KUKM di Kab. Bandung.

"DPRD selaku mitra kerja pemerintah tidak punya kewenangan untuk memanggil BRI, tetapi kami akan merekomendasikan langkah apa yang harus ditempuh Pemkab Bandung selaku pemilik dana, bila hingga Juni tahun ini penyerapan dana hingga Rp 5 miliar tidak bisa direalisasikan," katanya.

Dijelaskan anggota dewan dari Fraksi Golkar ini, rekomendasi tersebut akan disampaikan terkait rencana pemkab yang akan memanggil pihak BRI Majalaya, dalam waktu dekat. "Jika dilakukan, itu sebuah langkah tepat karena dana tersebut berasal dari APBD dan perlu dipertanggungjawabkan," ujar Raditya.

Diungkapkan, terkendalanya penyaluran karena BRI tidak bisa memanfaatkan jaringan. "Jika waktu yang diberikan sedikit dan tidak memanfaatkan jaringan yang ada, jelas tidak akan maksimal," katanya.

Ditambahkannya, sesuai Perbup No. 20/2007 tentang pedoman teknis penyaluran dana tersebut, ditetapkan bahwa bank pelaksana adalah bank sehat yang memiliki perangkat dan sistem online, serta memiliki kantor cabang. "Dengan kriteria tersebut, sudah jelas bahwa penunjukan bank sesuai dengan kriteria yang ditetapkan, kalau saja jaringan dimanfaatkan tentu meskipun hanya dalam kurun waktu empat bulan, jumlah dana yang terserap untuk KUKM akan lebih dari Rp 660 juta," ujarnya. (B.89)** Rano Galamedia

Rabu, Februari 20, 2008

Terkait Penyaluran Penyertaan Modal KUKM
Pemkab Panggil BRI Majalaya




BALEENDAH, (GM).-
Pemkab Bandung segera memanggil Bank BRI Cab. Majalaya terkait penyaluran dana penyertaan modal Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM) yang baru terserap Rp 660 juta. Pernyataan modal itu baru 6,6% dari anggaran yang disediakan sebesar Rp 10 miliar.

Dikatakan Wakil Bupati (Wabup) Bandung, H. Yadi Srimulyadi di Baleendah, Rabu (20/2), sejauh ini pemkab belum mendapat laporan terkait belum optimalnya penyaluran kredit yang berasal dari APBD 2007 tersebut. Pemkab akan segera melakuan klarifikasi terhadap dana penyertaan modal tersebut.

"Minggu depan akan kita panggil pihak BRI agar bisa dijelaskan seperti apa teknis penyaluran kredit tersebut kepada KUKM, program ini dilakukan semata-mata untuk membantu sektor KUKM," katanya.

Dijelaskan Yadi, setelah melakukan klarifikasi, pemkab bisa saja mengambil langkah lebih lanjut terkait pemanfaatan dana APBD bagi masyarakat ini. "Sebagai wabup saya punya kewenangan untuk mengawasi penggunaan APBD, jika ada laporan seperti itu dan pihak bank tersebut tidak sanggup, mungkin akan kita alihkan dana tersebut kepada pihak lain," tegasnya.

Dilanjutkannya, pada awalnya program tersebut merupakan program untuk membantu sektor ekonomi kecil dan menengah dan tak mungkin dilakukan sendiri oleh pemerintah. "Dengan disalurkan melalui bank karena lembaga tersebut mempunyai sistem penyaluran bantuan yang jelas, jika kemudian hari terjadi hal-hal yang tidak diinginkan," paparnya.

Sambut positif

Sementara itu anggota dewan dari Fraksi Golkar, Tb. Raditya menyambut positif langkah yang akan dilakukan pemkab tersebut. "Jangan sampai pihak bank berlindung di balik faktor kehati-hatian, proses persetujuan pemberian penyertaan modal kepada KUKM menjadi tersendat," katanya.

Masih menurut anggota Komisi B ini, banyak pemohon kredit tersebut tidak bisa terlayani karena masalah waktu yang diberikan oleh pihak bank terbatas. "Jika diberikan waktu yang cukup untuk memberikan layanan kepada KUKM, dalam kurun waktu empat bulan akan lebih banyak dana tersalurkan semenjak turunnya anggaran di APBD," tegas Raditya.

Seperti diberitakan sebelumnya, dana penyertaan modal untuk KUKM Rp 10 miliar yang disalurkan melalui di Bank BRI Cab. Majalaya baru terserap Rp 660 juta, sementara banyak pemohon kredit belum bisa menikmati dana dari APBD Kab. Bandung ini.

Padahal program yang digulirkan Pemkab Bandung melalui program penyertaan modal tersebut sangatlah bagus. Namun sayangnya di tingkat pelaksanaan penyalurannya belum sesuai harapan. (B.89)**(Ran0 Galamedia) 21 Februari 2008
Rp 10 Miliar Dana APBD Mengendap di Bank



SOREANG -- Dana APBD 2007 Kabupaten Bandung sebesar Rp 9 miliar mengendap di salah satu bank milik pemerintah. Seharusnya, dana sebesar itu disalurkan menjadi kredit modal kerja dan kredit investasi bagi masyarakat di Kabupaten Bandung.

''Sejak dana itu diserahkan hingga saat ini, dana yang baru disalurkan kepada masyarakat hanya mencapai Rp 660 juta atau baru 6,6 persen,'' ungkap anggota Komisi B DPRD Kabupaten Bandung, Tubagus Raditya, Selasa (19/2).

Berdasar catatan, Komisi B DPRD Kabupaten Bandung, Bupati Bandung, Obar Sobarna, sudah mengeluarkan Peraturan Bupati (Perbup) No 20 tahun 2007 tentang Penyertaan Modal untuk Kredit Modal Koperasi dan Usaha Menengah. Untuk menyalurkan kredit modal ini, Pemkab Bandung menggandeng salah satu bank pemerintah cabang Soreang sebagai bank pelaksana.

Penyertaan modal ini dilakukan untuk meningkatkan usaha kecil dan menengah (UKM) di Kabupaten Bandung. Dari dana sebesar Rp 10 miliar yang dijadikan penyertaan modal di bank tersebut, Pemkab Bandung tidak meminta adanya jasa giro. Dengan demikian, Pemkab Bandung tidak memperoleh bunga dari proses penyimpanan uang penyertaan modal ini di BRI.

Untuk meringankan beban masyarakat yang mengajukan kredit, Pemkab Bandung dan bank tersebut telah menandatangani nota kesepahaman (MoU). Dalam nota dinyatakan bahwa kredit yang diberikan melalui dana penyertaan modal ini hanya dikenakan bunga tujuh persen per tahun secara flat.

''Bunga tujuh persen itupun, sebagian di antaranya digunakan untuk peningkatan modal. Jadi, digulirkan kembali kepada masyarakat,'' ujar Didit, panggilan akrab Tubagus Raditya. Dalam MoU tersebut, kata Didit, juga disebutkan bahwa pengalokasian perolehan bunga, sebesar empat persen untuk bank pelaksana, dua persen untuk UKM yang berhasil melunasi kredit, dan satu persen sisanya untuk digulirkan kembali.

Dengan demikian, lanjut Didit, tidak ada satupun klausul yang merugikan bank rekanan itu selaku bank pelaksana. Tapi kenyataannya, kata dia, setelah empat bulan berjalan, pihak bank hanya menyalurkan kredit kepada UMK sebesar Rp 660 juta atau hanya 6,6 persen.

Bank rekanan, sambung Didit, beralasan bahwa lambannya penyaluran kredit kepada UMK ini disebabkan oleh prinsip kehati-hatian bank. Jadi, kata dia, bank terpaksa menerapkan agunan sebesar 30 persen dari total kredit kepada calon nasabah.

Didit juga mengaku telah merekomendasikan kepada Pemkab Bandung untuk segera menarik kembali dana penyertaan modal ini. ''Kalau sampai enam bulan sejak diluncurkan, realisasi penyaluran kredit oleh bank ini tidak mencapai 40 persen, saya merekomendasikan supaya penyertaan modal itu dicabut kembali,'' ujar dia. (Riva Republika) Kalam Jabar 20 Februari 2008

Senin, Februari 18, 2008

Dana Penyertaan Modal KUKM Kab. Bandung
Dari Rp 10 Miliar Baru Terserap 6,6%




SOREANG, (GM).-
Dana penyertaan modal untuk koperasi dan usaha kecil menengah (KUKM) di Kab. Bandung sebesar Rp 10 miliar baru terserap 6,6% atau sebesar Rp 660 juta. Padahal jumlah pemohon kredit program bantuan Pemkab Bandung, yang dananya dititipkan di BRI Cab. Majalaya ini, sangat membeludak.

Hal itu diungkapkan anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung, Tb. Raditya saat ditemui wartawan di Soreang, Minggu (17/2). Ia menilai, program penyertaan modal tersebut sangat bagus. Namun tingkat pelaksanaan penyalurannya belum sesuai harapan. "Dana penyertaan tersebut diturunkan kepada bank yang ditunjuk (BRI Cabang Majalaya, red) pada akhir September lalu hingga akhir Januari baru tersalurkan Rp 660 juta saja. Ini jelas patut dipertanyakan," katanya.

Terkait program bantuan kredit tersebut, anggota dewan dari Fraksi Golkar ini menyatakan, penyertaan modal tersebut telah didukung oleh Peraturan Bupati (Perbup) No. 20 Tahun 2007 dan ditetapkan pada 28 Juni 2007. "Meski begitu, dalam waktu empat bulan hanya 6% yang baru tersalurkan kepada pemohon kredit asal Kab. Bandung," tegasnya.

Sementara, lanjutnya, berdasarkan informasi di lapangan dalam kurun waktu itu jumlah pemohon kredit cukup banyak. Namun BRI Cabang Majalaya menyediakan waktu yang sangat terbatas untuk melayani pemohon tersebut. Akibatnya, penyerapan dana pun menjadi tidak maksimal. "Jika dalam lima hari kerja hanya sehari waktu yang disediakan, penyertaan modal tidak akan terserap maksimal, sedangkan pemohon tidak sedikit," katanya.

Masih dikatakan Tb. Raditya, dengan masih tersimpannya penyertaan modal di bank tersebut, Pemkab Bandung tidak mendapatkan bunga jasa penyimpanan dana sesuai aturan dalam perbup. "Sesuai perbup penyertaan modal di bank pelaksana pada masa penyaluran rekening bunga jasa rekening giro adalah 0%. Padahal dana tersebut sudah masuk dalam sistem perbankan dan memungkinkan memiliki bunga," paparnya.

Diungkapkannya, Pemkab Bandung selaku pemberi dana hendaknya bisa melakukan evaluasi terhadap kinerja tersebut. Terlebih akan ada tambahan dana serupa tahun ini sebesar Rp 1,28 miliar. "Setelah dilakukan evaluasi dan tidak sesuai harapan, lebih baik ditarik saja dananya dan dialihkan ke BPR milik Pemkab yang masih sehat," ujar Raditya. (B.89)**

Kamis, Februari 14, 2008

PNS Berhak Bunga Rendah Bank Jabar



SOREANG, (GM).-
Sejumlah PNS dan guru di Kab. Bandung seharusnya bisa mendapatkan suku bunga lebih rendah dari yang berlaku saat ini. Sebab, kepemilikian sahamnya di Bank Jabar mencapai 9,94% dengan nilai penyertaan modal Rp 120,2 miliar.

Demikian dikatakan anggota DPRD Kab. Bandung dari Fraksi Golkar, Tb. Radithya kepada "GM" di Soreang, Senin (11/2).

Ia mengatakan, saham yang dimiliki Pemkab Bandung di Bank Jabar cukup besar, yaitu 9,94% dan menjadi pemegang saham terbesar untuk tingkat kabupaten dan kota se-Jawa Barat dan Banten. "Kepemilikan saham tersebut terkait dengan penyertaan modal yang diberikan Pemkab Bandung ke Bank Jabar sebanyak Rp 120,2 miliar (per September 2006), dibanding daerah lain yang juga memberikan penyertaan modal, Pemkab Bandung yang terbesar," jelasnya.

Dikatakan anggota Komisi B ini, dengan penyertaan modal sebesar itu, seharusnya sektor riil di Kab. Bandung lebih diperhatikan. Namum kenyataannya lebih banyak digunakan untuk kredit konsumtif PNS dan guru. "Sekitar 80% PNS dan guru yang bekerja di Kab. Bandung menjadi target kredit ini, kalaupun ada yang digunakan untuk kredit produktif, jumlahnya masih jauh dibanding dengan kredit konsumtif," papar Radithya.

Ia menambahkan, dengan kredit konsumtif yang diberikan kepada para PNS dan guru dengan suku bunga 9-11% flat tersebut, dibanding dengan fasilitas serupa dari bank lain, cukup besar. "Suku bunga untuk kredit yang diberikan kepada PNS dan guru tersebut hendaknya bisa lebih kecil lagi karena bank-bank swasta, ada yang berani memberikan lebih rendah dari itu. Dengan kredit yang diberikan kepada PNS dan guru, bank tidak berisiko karena dipotong langsung dari gaji mereka, sebaiknya dengan tanpa risiko tersebut juga bisa dibalas dengan turunnya suku bunga," ujarnya.

Radithya menilai, kondisi ini sungguh kurang adil jika melihat kondisi bunga Bank Indonesia rate pada bulan Februari sebesar 8% efektif. "Kredit bagi PNS dan guru ini tidak sedikit yang berjangka panjang dan pasti akan memberatkan karena tidak sedikit pula gaji yang dibawa jauh dari harapan," katanya.

Dengan keadaan tersebut, lanjutnya, sangat pantas apabila mulai sekarang Bank Jabar dapat memberikan "kado indah" untuk PNS dan guru, khususnya yang berada di Kab. Bandung. "Di samping itu bank bisa melakukan fungsinya sebagai intermediasi untuk menghidupkan sektor-sektor produktif yang ada," tegas Radithya. (B.89

Sabtu, Februari 09, 2008

Bank Jabar Diminta Turunkan Suku Bunga

Sabtu, 09/02/2008
BANDUNG (SINDO) – Anggota Komisi B DPRD Kab BandungTubagus Raditya mengatakan, sudah saatnya Bank Jabar menurunkan tingkat suku bunga, khususnya bagi pegawai negeri sipil (PNS) dan guru di Kab Bandung.
Raditya beralasan,Pemkab Bandung memilik 9,94% saham dari Bank Jabar,dengan menyetorkan penyertaan modal Rp120,2 miliar hingga September 2006 silam.Penyertaan modal dari pemkab sebesar itu menjadi saham terbesar tingkat kabupaten/kota se- Jabar dan Banten.
”Tapi sayangnya, dengan penyertaan modal terbesar yang seharusnya menjadi penggerak utama sektor riil di Kab Bandung,dalam kenyataannya tingkat pertumbuhan kredit produktif yang berasal dari Bank Jabar tak sebanding dengan pertumbuhan kredit konsumsi di Kab Bandung,” ungkap Raditya kepada SINDO, kemarin.
Saat ini,nilai Raditya,suku bunga yang ditawarkan Bank Jabar yang merupakan bank pembangunan daerah masih terlalu tinggi. Apalagi, bila dibandingkan bank lain yang berani mematok 5,5% flat per tahun, misalnya untuk kredit kendaraan bermotor. ”Kondisi sekarang dirasakan sangat berat untuk dapat mencukupi kehidupan yang layak bagi PNS,”tandasnya. (iwa ahmad sugriwa)

Rabu, Februari 06, 2008

Pungli Proyek Memberatkan

Ada 16 meja yang harus disogok agar pembayaran proyek cair


SOREANG -- Praktik pungutan liar (pungli) kerap terjadi dalam pencairan dana berbagai kegiatan yang dilakukan oleh pihak ketiga di Pemkab Bandung. Besaran pungli ini bisa mencapai tiga persen dari nilai proyek.

''Setiap harus menandatangani proses pencairan, berarti harus ada uang (pelicin,'' ujar seorang pengusaha, yang sering mengerjaan proyek di Pemkab Bandung kepada Republika, Senin (4/2). Pengusaha ini menolak namanya disebutkan.

Adanya pungli dalam setiap pencairan dana proyek yang dilakukan pihak ketiga,ini terungkap menyusul adanya pencairan dana APBD hingga Rp 100 miliar di akhir 2007. Bahkan, sebanyak Rp 84 miliar diketahui dicairkan tiga hari sebelum memasuki tahun baru 2008.

Pencairan dana besar-besaran ini menyedot dana sisa akhir laporan perhitungan anggaran (silpa) 2007. Akibatnya, terjadi selisih antara kondisi kas daerah dan angka penetapan silpa 2007 yang mencapai Rp 268 miliar. Pencairan besar-besaran ini terjadi akibat banyaknya pihak ketiga yang meminta pembayaran pengerjaan proyek dilakukan di akhir tahun.

Pengusaha tersebut mengatakan, pungli ini terjadi di setiap pencairan dana proyek yang dilakukan per termin. Setiap tahunnya, kata dia, terdapat tiga sampai empat termin pencairan dana.

Jika dalam setiap pencairan dana proyek harus menggunakan uang pelicin hingga tiga persen dari nilai pencairan, dia mengaku kerepotan. Pasalnya, kata dia, ada sekitar 16 meja yang harus disogok agar tagihan segera cair. Uang pelicin seperti ini, menurut dia, di luar kewajiban pajak pertambahan nilai (PPn) dan pajak pertambahan hasil (PPh)

Di setiap meja, lanjut pengusaha tersebut, uang pelicin yang harus dikeluarkan beragam. Bagi staf di salah satu satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) yang masuk dalam panitia proyek, ujar dia, cukup dengan memberikan uang pelicin antara Rp 50 ribu hingga 100 ribu.

''Tapi semakin tinggi jabatan PNS itu, uang pelicinnya juga harus lebih besar. Bahkan bisa mencapai jutaan rupiah,'' ungkap dia. Repotnya, dalam tahun-tahun terakhir ini, pengurusan pencairan proyek di Kabupaten Bandung harus sampai mendatangi meja salah satu pejabat di Kabupaten Bandung Barat (KBB). Pasalnya, kata dia, pejabat di KBB tersebut merupakan mantan pejabat di Kabupaten Bandung. Tapi, sambung pengusaha tersebut, pejabat ini masih memilik wewenang di Kabupaten Bandung.

Dengan panjangnya rantai birokrasi dalam proses pencairan dana proyek, dia mengaku lebih memilih untuk mencairkan dana proyek pada akhir tahun anggaran. Meski tidak menghilangkan pungli, pengusaha ini mengaku, pencairan di akhir tahun dapat mengurangi beban serta berbagai kerepotan dalam mengurus pencairan.

Anggota Komisi B DPRD Kabupaten Bandung, Tubagus Raditya, menilai, kejadian seperti ini sebenarnya sudah berlangsung sejak lama, dan tidak pernah berubah. Kondisi seperti ini, dinilainya bisa menyebabkan terjadinya biaya tinggi dalam proses pengerjaan berbagai proyek pemerintah.

Kabag Organisasi Setda Kabupaten Bandung, Eman Rachman, menyatakan bahwa proses pencairan seperti itu sudah diatur dalam Permendagri No 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Saat ditanyakan mengenai banyaknya pungli akibat rantai birokrasi pencairan yang terlampau panjang, Eman mengaku tidak mengetahuinya.

''Tapi yang jelas, dalam PP No 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, nanti setiap proses pencairan anggaran itu akan dipusatkan di Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan,'' tutur dia. Dengan pengelolaan keuangan pemerintah daerah dipusatkan di Dinas Pendapatan dan Pengeloalan Keuangan, Eman menilai, langkah tersebut akan memotong rantai birokrasi dalam pencairan dana APBD.
(rfa )
Birokrasi Berbelit, Silpa pun Bobol




SOREANG -- Bobolnya anggaran sisa akhir laporan perhitungan anggaran (Silpa) APBD 2007 Kabupaten Bandung sebesar Rp 100 miliar disebabkan mekanisme pembayaran kepada pihak ketiga yang berbelit-belit. Akibatnya, banyak pihak ketiga yang meminta pencairan dana proyek dilakukan pada akhir tahun.

''Mereka (pihak ketiga) meminta pembayaran di akhir tahun karena kalau diambil pada pertengahan tahun, terlalu rumit,'' ungkap anggota Komisi B DPRD Kabupaten Bandung, Tubagus Raditya, Ahad (3/1). Didit, panggilan akrab Tb Raditya, menjelaskan berbagai pelaksanaan proyek di Kabupaten Bandung dilaksanakan oleh pihak ketiga. Pembayaran pelaksanaan proyek, kata dia, dilakukan pemkab dalam beberapa termin.

Para pihak ketiga ini, menurut dia, mengaku kepadanya bahwa saat pengambilan pembayaran, rangkaian birokrasinya terlalu panjang. Rangkaian panjang birokrasi itu pun selalui diwarnai pungutan liar (pungli).

Sebelumnya di harian in diberitakan, terdapat perbedaan antara angka Silpa yang tercantum dalam Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (PPAS) dengan catatan terakhir kas daerah. Dalam KUA dan PPAS tersebut tercantum besaran Silpa 2007 sebesar Rp 268 miliar. Sedangkan dalam catatan kas daerah, Silpa 2007 hanya berjumlah Rp 168 miliar.

Ternyata diketahui terdapat pengambilan besar-besaran dana APBD di akhir tahun setelah tenggat penutupan pengeluaran kas daerah. Bahkan, ada beberapa satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) yang mengeluarkan dana hingga Rp 84 miliar dalam tiga hari terakhir sebelum tahun baru 2008.

Menurut Didit, beberapa pihak ketiga meminta adanya pencairan pembayaran proyek dilakukan di akhir tahun. ''Hal ini, untuk menghindari banyaknya pungli,'' kata anggota Fraksi Golkar DPRD Kabupaten Bandung ini.

Sementara itu, DPRD Kabupaten Bandung telah meminta eksekutif untuk melakukan pemotongan anggaran sebesar 20 persen dalam belanja langsung, khususnya untuk variabel belanja pegawai serta barang dan jasa. Pemotongan ini dilakukan untuk menutupi defisit atas selisih Rp 100 miliar dalam Silpa.

Namun, eksekutif mengaku keberatan dengan permintaan ini. ''Mereka hanya sanggup untuk melakukan efesiensi sebesar 10 persen,'' kata anggota Komisi B DPRD Kabupaten Bandung, Asep Anwar. Akibat dari kemampuan eksekutif hanya memotong sebesar 10 persen itu, dia menilai, defisit APBD 2008 terancam tidak dapat ditanggulangi.
(rfa )
Pilgub Sebabkan Defisit APBD Hingga Rp 232 M



BANDUNG -- APBD Jabar tahun 2008 akhirnya ditetapkan oleh DPRD Jabar, Kamis (31/1). Dalam APBD tahun ini, defisit anggarannya mencapai Rp 232 miliar. Salah satu penyebab utama terjadinya defisit pada APBD tersebut, adalah adanya kebutuhan dana pelaksanaan pemilihan gubernur (pilgub) yang mencapai Rp 450 miliar.

Data yang dihimpun dari Panitia Anggaran DPRD Jabar menunjukkan, pos belanja pada APBD Jabar tahun 2008 mencapai Rp 5,9 triliun. Sementara pos pendapatan yang diproyeksikan pada tahun 2008 mencapai Rp 5,69 triliun.

Ketua Harian Panitia Anggaran DPRD Jabar, HM Qudrat Iswara mengatakan, sebelum direalisasikan, perda tentang APBD 2008 harus terlebih dahulu mendapat koreksi dari Depdagri. Proses koreksi yang dilakukan Depdagri tersebut, menurut dia, memerlukan waktu 14 hari.

Setelah dikoreksi oleh Depdagri, sambung Iswara, Pangar dan Tim Penyusun Anggaran Daerah (TPAD) akan kembali memperbaki APBD sesuai hasil koreksi Depdagri. Dengan demikian, tutur dia, APBD Jabar baru bisa direalisasikan akhir bulan depan. Anggota Pangar yang juga Ketua Fraksi PKS DPRD Jabar, Eka Hardiana menjelaskan, defisit APBD Jabar tersebut akan ditutupi oleh pos pembiyaan, di antaranya dari sisa lebih penghitungan anggaran (silpa).

Masih terkait APBD, munculnya selisih antara anggaran sisa laporan perhitungan anggaran (silpa) 2007 sebesar Rp 100 miliar di APBD Kabupaten Bandung mulai terkuak. Beberapa satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) terungkap mengeluarkan dana hingga Rp 84 miliar dalam tiga hari terakhir sebelum tahun baru 2008. ''Sedangkan sisanya dikeluarkan setelah tanggal 15 Desember 2007,'' ujar anggota Fraksi Golkar DPRD Kabupaten Bandung, Tubagus Raditya, Kamis (31/1).

Sebelumnya, Pemkab Bandung dan DPRD telah menyepakati Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (PPAS) sebagai dasar pembahasan RAPBD 2008. Dalam KUA dan PPAS tersebut tercantum besaran Silpa 2007 yang nilainya mencapai Rp 268 miliar.

Tapi, baru-baru ini, dalam rapat koordinasi antara DPRD dengan Pemkab Bandung pada Senin (28/1) malam, diketahui bahwa sisa dana APBD 2007 yang ada di kas daerah hanya mencapai Rp 168 miliar. Ini artinya, terdapat selisih Rp 100 miliar dengan silpa yang telah ditetapkan.

Menurut Raditya, hal ini merupakan pelanggaran disiplin anggaran. Badan Administrasi Keuangan Daerah (BAKD), kata dia, sudah mengeluarkan surat edaran mengenai pelarangan pengeluaran dana APBD 2007 melebihi tanggal 15 Desember 2007.
(san/rfa )

Persikab Ajukan Dana Rp 14,38 Miliar




SOREANG -- Manajemen klub sepak bola Persikab mengajukan anggaran sebesar Rp 14,38 miliar untuk musim kompetisi 2008. Pengajuan ini dua kali lipat dibanding alokasi anggaran pada 2007 lalu. ''Dan saya baru tahu kalau Persikab ternyata telah mengajukan anggaran untuk 2008,'' kata anggota Komisi B DPRD Kabupaten Bandung, Tubagus Raditya, Rabu (2/1).

Dikatakan Raditya, pengajuan anggaran tersebut tercantum dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2008. Alokasi ini, kata dia, hampir mencapai dua kali lipat dibanding alokasi yang diberikan Pemkab bandung pada 2007 sebesar Rp 7,5 miliar.

Sebagaimana pengajuan sebelumnya, kata Didit, panggilan akrab Tubagus Raditya, alokasi bantuan untuk Persikab akan digunakan untuk pendanaan seluruh operasional tim sepakbola dari Kabupaten Bandung tersebut. ''Secara pribadi saya menolak pengajuan sebesar itu. Itu terlalu besar,'' kata anggota Fraksi Golkar DPRD Kabupaten Bandung ini.

Pengajuan dana bantuan sebesar itu, lanjut Didit, hampir menyamai pengajuan bantuan Persib ke Pemkot Bandung. Padahal, kata dia, sampai saat ini Persikab belum menunjukkan prestasi yang baik untuk mengangkat nama Kabupaten Bandung. Terangkatnya Persikab ke Divisi Utama Liga Indonesia (Ligina), sambung Didit, bukan lantaran tim sepakbola berjuluk Si Jalak Harupat ini telah menoreh prestasi. Tapi, kata dia, hal ini terjadi akibat adanya perubahan sistem di PSSI.

Selain persoalan prestasi, Didit juga menilai pengajuan dana bantuan Persikab yang biasanya diakomodasi dalam pos bantuan sosial, harus dihentikan. Pasalnya, kata dia, pertanggungjawaban anggaran di pos mata anggaran ini sangat lemah. Untuk itu, Didit menambahkan, kalaupun Persikab akan diberi dana bantuan, sebaiknya dialokasikan di pos mata anggaran yang lebih jelas. ''Kalau saya sudah mengusulkan supaya anggarannya dimasukkan di mata anggaran Dinas Pemuda dan Olahraga,'' ujar dia.

Dinas yang baru dibentuk ini, kata Didit, dapat menjadikan Persikab sebagai salah satu program dalam literatur kedinasan. Dengan demikian, menurut dia, pertanggungjawabannya akan lebih jelas. Selain itu, tingkat pengawasan penggunaan anggaran juga menjadi lebih terbuka. rfa
( )

Selasa, Februari 05, 2008

Saatnya Bank Jabar Menurunkan suku bunga khusus untuk PNS dan Guru di Kab Bandung



Perkembangan ekonomi makro tahun 2007 cukup mengembirakan inflasi dapat ditekan menjadi 7 %, nilai tukar dollar terhadap rupiah berada diangka psikologis yakni sebesar Rp. 9.100 – Rp. 9.200 an, BI Rate berkisar di angka 8 %, disusul harga minyak dunia $ 63/ barrel bahkan sempat menyentuh U$ 100/barel pada akhir tahun serta pertumbuhan ekonomi mencapai 5.6 % - 6 %. Indikator ekonomi inilah menunjukkan bahwa perkembangan ekonomi Indonesia menuju kearah yang lebih baik secara angka-angka diatas kertas. Namun hal ini hanyalah menjadi anomali dan illusian economic dimana kondisi ekonomi makro berbanding terbalik dengan sektor riel yang belum tumbuh, yang dikhawatirkan akan menjadi bubble economic. Bagaimana dengan tahun 2008 ? para pengamat mengatakan tahun 2008 merupakan tahun suram. Harga minyak yang masih tinggi menyebabkan pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan akan melambat dari 5,2% jadi 4,8%. Sejauh yang menyangkut Indonesia, perlambatan itu menyebabkan penerimaan ekspor nonmigas akan berkurang US$ 1,5 hingga US$ 2 miliar. Masalahnya kian berat karena membengkaknya subsidi BBM. Sementara itu beban utang makin menumpuk akibat menguatnya mata uang yen dan euro terhadap dolar. Situasi pasar minyak yang serba tidak pasti, ditambah kelesuan ekonomi dunia, dan diperparah lagi oleh merosotnya nilai dolar Amerika, semua itu adalah faktor-faktor eksternal yang dapat mengancam kesinambungan pembangunan Indonesia pada tahun 2008. Seberat apa pun tahun 2008, toh harus kita lewati juga. Pemerintah sendiri begitu optimistis menghadapi tahun 2008 dengan menetapkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8%. Kalaupun meleset, pertumbuhan sebesar 6,5% masih dalam jangkauan—sedikit lebih tinggi dari pertumbuhan 2007 yang diperkirakan akan mencapai 6,1% hingga 6,3%. Pertumbuhan cukup tinggi itu akan disumbangkan oleh sektor industri gas, listrik, air bersih, serta telekomunikasi. Sektor-sektor ini akan mengurangi dampak yang diakibatkan mandeknya pertumbuhan perdagangan, keuangan, dan jasa-jasa. Tetapi pertumbuhan yang tinggi juga dapat dilihat dari tingkat konsumsi yang tinggi dimasyarakat yang sangat dipengaruhi oleh Budaya konsumerisme yang tinggi serta tidak dapat memfilter transformasi Budaya dari luar yang masuk bertubi-tubi dari strategi promosi yang luar biasa dahsyatnya. Sehingga mendorong masyarakat untuk berprilaku consumer.

Dalam berita media masa pada awal November disampaikan bahwa perbankan mengenjot kredit konsumtif menjelang akhir tahun 2007 untuk memenuhi target pemberian kredit kepada masyarakat. Lebih lanjut, apabila kita perhatikan dengan seksama, komposisi kredit perbankan pada dua dekade belakangan ini, mengalami perubahan signifikan. Pada dekade sebelum 1990-an, komposisi kredit perbankan sebagian besar diperuntukkan bagi pembiayaan sektor produktif, baik itu sektor pertanian, sektor industri, sektor perdagangan, serta sektor produktif lainnya. Dengan demikian yang menjadi debitur perbankan, saat itu, kebanyakan adalah petani, pengusaha, ataupun pedagang. Namun seiring perubahan gaya perekonomian, porsi mereka dalam mendapatkan pembiayaan dari bank semakin berkurang dari hari ke hari. Di lain sisi, satu profesi, yaitu pekerja yang sebelumnya sangat jarang menjadi debitur perbankan, saat ini merupakan sasaran penyaluran kredit bank-bank dalam pembiayaan yang bersifat konsumtif.

Dari catatan perbankan nasional Indonesia per Agustus 2007, terlihat bahwa Rp 258 trilyun dari Rp 893 trilyun atau 29% outstanding kredit perbankan di Indonesia merupakan kredit konsumtif langsung kepada nasabah perbankan. Di samping itu, terdapat pula 11% (Rp 95,679 T) merupakan kredit yang diberikan kepada sektor jasa dunia usaha, yang isinya sebagian besar merupakan kredit kepada multi finance, koperasi simpan pinjam dan institusi lainnya yang meneruskan pembiayaan konsumtif kepada “customer” nya. Dengan demikan, sebenarnya, 40% dari outstanding kredit yang diberikan perbankan Indonesia disalurkan kepada sektor konsumtif yang hampir seluruhnya, dinikmati oleh kaum pekerja. Jika dibandingkan dengan profesi pedagang, profesi pekerja sangat besar mendapatkan fasilitas kredit dari bank. Pemberian kredit kepada sektor perdagangan (termasuk hotel & restoran) “hanya” sebesar 21% (Rp 192T) dari total outstanding kredit perbankan Indonesia tahun 2006. Sektor pertanian mendapatkan jauh lebih kecil lagi, yaitu “hanya” 5,5% (Rp 49T). Sektor industri, yang seharusnya menjadi penopang PDB di era ekonomi modern saat ini, “hanya” mendapatkan 21% (Rp 189,7T) saja dari total outstanding kredit.

Berdasarkan data di atas, dapat kita lihat, bahwa yang mendorong pertumbuhan kredit perbankan saat ini adalah sektor konsumtif, bukan sektor produktif. Dengan demikian, pada saat ini, jauh lebih banyak profesi pekerja (pegawai) yang menjadi debitur perbankan dibandingkan profesi pedagang ataupun pengusaha apalagi jika dibandingkan dengan profesi petani. Hal serupa juga terjadi di Amerika, sebagaimana yang disampaikan Joseph E. Stiglitz dalam bukunya The Roaring Nineties: A New History of the World’s Most Prosperous Decade (2003), bahwa kini, rata-rata orang Amerika yang berhutang bukan petani, melainkan orang-orang yang menjadi pegawai. Hal tersebut juga dilakukan oleh Bank Jabar yang bermotto “Mitra Usaha Untuk Sejahtera” , yang sebagian sahamnya dimiliki oleh PEMKAB Kab Bandung (9,94%) dengan menyetorkan penyertaan modal ( Menurut data per September 2006) sebanyak 120,2 Miliar, Yang merupakan pemegang saham terbesar tingkat kabupaten dan kota se Jawa Barat dan Banten, yang seharusnya menjadi penggerak utama sektor riil di kabupaten Bandung, tapi didalam kenyataannya tingkat pertumbuhan Kredit Produktif yang berasal dari Bank Jabar tidak sebanding dengan pertumbuhan Kredit konsumsi, dimana hampir 80% dari PNS dan Guru yang bekerja di kabupaten Bandung menjadi target Pasar kredit konsumtif dari Bank Jabar, dengan tingkat suku bunga antara 9-11% Flat pertahun dengan tanpa resiko. Kenapa tanpa resiko karena dipotong langsung dari gaji yang mereka terima, yang juga bank Jabar sebagai Pay roll dari pembayaran gaji mereka, Kondisi ini sungguh Kurang adil apabila kita melihat kondisi BI rate bulan ini (februari 2008) 8% Effective. Apalagi dibandingkan dengan tingkat suku bunga yang ditawarkan oleh bank-bank lain yang berani mematok 5.5% Flat pertahun untuk kredit kendaraan bermotor yang tentunya harus memperhitungkan tingkat resiko. Dengan keadaan tersebut diatas sangatlah pantas apabila mulai sekarang Bank Jabar dapat memberikan "Kado indah" untuk Pegawai negeri Sipil dan Guru khususnya yang berada di Kabupaten Bandung, yang dengan kondisi sekarang dirasakan sangat berat untuk dapat mencukupi kehidupan yang layak dimana beban kerja yang sangat berat serta didorong oleh tingkat kebutuhan hidup yang sangat tinggi. Penulis yakin selain dapat mengurangi beban hidup mereka, para PNS dan Guru di kabupaten Bandung Juga akan selalu mendoakan agar Bank Jabar semakin maju dan berkembang di Jawa Barat, apalagi mau menghadapi IPO (initial Public Offering). SEMOGA SUKSES Go Public !!!


Minggu, Februari 03, 2008

Otonomi Daerah = Perjuangan Keras Daerah

Dengan diterapkannya kebijakan implementasi otonomi daerah mulai 1 Januari 2001 yang lalu, berarti semua daerah otonom (kabupaten/kota) di Indonesia khususnya PEMDA Kab Bandung mau tidak mau atau suka tidak suka, sejak saat itu harus berusaha dan berjuang keras. Dan dengan segala kemampuan,potensi dan kreativitasnya dituntut untuk melaksanakan salah satu amanat penting reformasi bangsa dan negara ini tanpa harus bersikap ragu, setengah hati atau bahkan merasa kehilangan `sesuatu` sebagaimana kesan yang selalu dominan ditunjukkan oleh pejabat-pejabat pusat di Jakarta.

Pelaksanaan otonomi daerah, tidak bisa tidak harus konkret diperjuangkan. Segala sesuatunya yang merupakan hak dan kewenangan daerah, baik secara hukum dan perundang-undangan maupun hak-hak asasi daerah yang sampai saat ini masih dipegang dan dikuasai oleh pusat, harus terus dituntut dan kalau perlu direbut. Sebab berdasarkan pengalaman selama ini, sangat mustahil atau sulit diharapkan kesadaran pusat dengan begitu saja untuk menyerahkan atau memberikan hak dan kewenangan daerah yang selama ini dinikmatinya.

Daerah dalam era otonomi ini sangat tepat untuk mengoptimalkan potensi pembangunan daerahnya dengan prinsip-prinsip demokratis, keadilan, dan kesejahteraan rakyat. Prinsip menolong diri sendiri (providing self-help) dan mengatasi permasalahan daerah sendiri menjadi sangat penting dan realistis untuk dilakukan mengingat kondisi negara yang saat ini dalam keadaan tidak menentu dan penuh konflik. Kehidupan bernegara kesatuan yang dipusatkan di Jakarta agaknya sudah sampai kepada ketidakpastian yang sangat memprihatinkan. Sehingga sangat sulit pemerintah pusat diharapkan dapat menolong dan mengatasi permasalahan secara cepat yang menjadi tanggung jawabnya di daerah. Hal itu secara nyata, tercermin oleh sikap dan mentalitas elite-elite pejabatnya yang hingga saat ini hanya mengerti berkuasa saja dan tidak mau tahu akan konsekuensi tanggung jawabnya terhadap rakyat.

Dengan demikian, maka terhadap semua yang terjadi di Jakarta itu patut dijadikan sebagai contoh buruk yang sama sekali tidak mendewasakan berdemokrasi dan sangat mencederai negara kesatuan yang telah lama dibangun. Dari sisi ini dapat dipahami dan dibenarkan sikap kebanyakan daerah yang acuh tak acuh terhadap apa yang terjadi di pusat sekarang ini. Bahkan merupakan langkah bijak daerah yang patut dibanggakan untuk mengambil jarak dan tidak mau terpengaruh dengan berbagai urusan pusat yang tidak jelas arah dan penyelesaiannya itu. Perlu kesadaran dan kebersamaan Dalam menghadapi persoalan daerah yang terjadi di era otonomi ini, ada beberapa strategi penyelesaian yang patut menjadi upaya daerah secara otonom dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki dan juga sebagai upaya agar tidak terjadi intervensi berlebihan dari pusat yang tidak menguntungkan daerah.

Pertama, berkaitan dengan penyelesaian konflik-konflik sosial dan politik yang bersifat internal daerah, baik yang telah ada maupun yang secara potensial akan terjadi. Menghadapi persoalan ini, yang paling utama dilakukan adalah memprioritaskan penyelesaiannya melalui proses yang demokratis sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.

Semua unsur yang potensial dalam penyelesaian itu harus terlibat dan dilibatkan. Yang diutamakan adalah figur-figur yang benar-benar mewakili unsur konflik, baik dari pihak masyarakat maupun pejabat daerah setempat atau daerah tetangga, apabila konfliknya itu bersifat antardaerah. Dengan penuh kesadaran semua pihak diupayakan agar dapat duduk bersama, berdialog secara sehat, terbuka, dan berjiwa besar menyikapi perbedaan yang ada, menyamakan visi ke depan yang penuh pertanggungjawaban dan kesadaran bahwa masih ada generasi berikutnya yang harus diselamatkan dari konflik-konflik itu. Usaha untuk mencapai kebersamaan tidak berarti harus memaksakan sesuatu yang secara prinsip berbeda. Akan tetapi kebersamaan itu harus dibangun dan diarahkan pada suatu kesadaran bersama dengan pendekatan yang objektif, saling menguntungkan dan memberi manfaat, tidak saja untuk jangka pendek, akan tetapi juga ke depan yang lebih panjang. Kesepakatan yang dicapai pun hendaklah merupakan cerminan dari suatu kesadaran berotonomi daerah dan demi kepentingan menjaga keutuhan dan memajukan daerah. Agar cara penyelesaian konflik yang dialogis itu dapat dipertahankan dan dikembangkan secara luas, maka perlu dilembagakan menjadi nilai-nilai kemasyarakatan daerah setempat yang kemudian perlu juga dituangkan dalam bentuk peraturan daerah (perda), peraturan desa, atau peraturan masyarakat adat daerah setempat. Meski demikian, pada kenyataannya tidak semua persoalan konflik di daerah itu dapat diselesaikan melalui proses dialogis seperti yang diharapkan. Oleh sebab itu terbuka kemungkinan juga diselesaikan secara hukum, melalui lembaga peradilan dan aparat penegak hukum.

Kedua, dari banyak persoalan di bidang sosial ekonomi ini, yang utama di antaranya adalah, mengatasi persoalan kemiskinan, keterpurukan pendidikan, kesehatan, dan musibah bencana alam. Upaya penyelesaian terhadap persoalan ini harus dilakukan secara komprehensif, dan melibatkan juga semua unsur yang terkait di daerah. Bahkan dalam upaya tersebut dapat pula melibatkan unsur-unsur dari luar daerah, berupa tenaga-tenaga ahli, konsultan yang profesional, investor dan lembaga-lembaga sosial ekonomi yang potensial. Dengan segala kemampuan, potensi dan kewenangan besar yang dimiliki daerah di era otonomi ini, maka sangat terbuka kesempatan untuk menata kembali dan menyusun strategi penyelesaian persoalan sosial ekonomi tersebut dengan mengaitkannya pada upaya pembangunan daerah ke depan, melalui perencanaan dan penyusunan visi dan misi yang jelas, serta dapat dipertanggungjawabkan secara transparan kepada rakyatnya. Untuk itu, daerah harus merasa percaya diri dan merasa berkemampuan menolong diri sendiri secara optimal. Strategi yang ditempuh adalah strategi yang penuh pertanggungjawaban, mengatasi dan menyelesaikan persoalan tanpa menimbulkan persoalan baru kalau dalam bahasa yang dikutip dari motto pegadaian yaitu mengatasi masalah tanpa masalah atau meminimalisir masalah baru . Aspek-aspek kemanusiaan dalam pembangunan daerah harus menjadi pertimbangan utama dan menjadi pendekatan baku yang harus dilakukan. Berkaitan dengan hal itu, maka sangat perlu pula dilakukan berbagai pembenahan dan pembenaran mengenai data-data statistik (data base) masalah kependudukan, Potensi daerah, kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan dapat membuat sebuah “scenario planning” dalam penanggulangan musibah bencana alam secara akurat . Di samping juga, perlu dibuatkan profil lengkap dari masing-masing masalah dan pemetaan lokasinya secara jelas. Sehingga memudahkan pengenalan, penanganan, dan penyelesaian masalah tersebut.

Ketiga, dalam era otonomi ini, terutama di jajaran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang baru dan pemerintah daerah (pemda) Khususnya di Kabupaten Bandung yang mempunyai kewajiban membentuk perda di daerahnya, harus benar-benar menguasai minimal dasar-dasar pengetahuan hukum tata negara, khususnya tentang peraturan perundang-undangan dengan segala aspeknya, serta menguasai substansi yang akan diatur. Sehingga produk hukum yang dihasilkan jelas urgensinya, tepat sasarannya serta mampu mengatur kebutuhan hukum masyarakat, baik untuk masa kini maupun kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa yang akan datang tanpa membuat suatu pasal yang mempunyai suatu nilai position bargaining (pasal bersayap) dengan kepentingan-kepentingan tertentu, diluar kepentingan masyarakat secara luas. Dalam penyelenggaraan pemerintah daerah yang demokratis, pembentukan perda sudah seharusnya mengikutsertakan masyarakat secara transparan dan terbuka baik langsung maupun melalui representasi aspirasinya, dengan tujuan agar dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat. Sehingga aturan yang dirumuskan itu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya dan dapat dilaksanakan secara efektif, tidak sebagai aturan yang mati atau bahkan keberadaannya justru ditentang oleh masyarakat. Di samping itu, dengan mengikutsertakan masyarakat berarti akan mempermudah sosialisasinya, apabila perda itu diberlakukan.

Keempat yang juga sangat penting adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta beriman dan bertakwa merupakan prasyarat utama yang harus dipenuhi. Tidak sekadar retorika atau formalitas belaka, dalam kerangka otonomi daerah itu. Tentu saja yang berkaitan dengan peningkatan kualitas SDM ini, di samping harus mendapat perhatian utama bagi semua pihak di daerah, juga diselaraskan dengan kondisi masyarakatnya yang menuntut pemerataan serta peningkatan SDM secara proporsional. Dan bagi daerah otonom yang berhasil memprioritaskan perhatiannya pada masalah peningkatan dan pemerataan peningkatan SDM ini, pasti akan memperoleh banyak keunggulannya di masa yang akan datang, karena Peningkatan kualitas SDM atau pendidikan merupakan sebuah Investasi jangka panjang,(long term investment) yang akan terasa untuk generasi yang akan datang.

Kelima, kendati pada era otonomi ini daerah punya kebebasan melaksanakan otonomi dengan semangat kedaerahannya, akan tetapi bukan berarti ia sama sekali mengisolasikan diri dari pergaulan dunia, baik dalam lingkup naisonal, regional, maupun dunia internasional. Sebab hal itu berkaitan dengan eksistensiya sebagai bagian yang tak terpisahkan dan bahkan dituntut sedemikian rupa untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan global (globalisasi). Sebab, otonomi daerah menjadi tidak berarti atau tidak dapat terlaksana dengan baik, jika daerah itu terlalu menutup diri atau tidak peduli dengan perkembangan global tersebut, malahan harus mencoba masuk dalam pergaulan global serta harus mempunyai kepercayaan diri yang besar untuk ikut serta bertarung dan dapat menangkap peluang (catch the chance) di persaingan global dengan mengoptimalkan komparatif advantage yang dipunyai oleh daerah tanpa harus mengabaikan serta menghilangkan nilai, budaya dan semangat kedaerahannya yang harus dijalankan serta tetap bersandarkan pada nilai-nilai nasionalisme dan universalisme. Tuntutan terhadap penggunaan sarana tehnologi informasi dan komunikasi modern akan sangat mempengaruhi kemajuan otonomi daerah yang dicapai, karena dengan memanfaatkan tehnologi informasi yang berbasis pada pada sistem informasi manajemen pemerintahan dapat membuat suatu sistem yang sangat simple, akurat, efektif serta efisien dalam menjalankan roda birokrasi di daerah sehingga akan mempercepat proses pelayanan terhadap masyarakat. Dengan adanya sarana komunikasi serta tehnologi informasi yang modern dapat pula dijadikan suatu sarana untuk mencoba memasarkan (marketing place) daerah kepada dunia, sehingga informasi yang dibutuhkan oleh dunia internasional dapat lebih mudah untuk mendapatkan informasi tentang potensi daerah.

Mari Kita Sama-sama Bangun Kabupaten Bandung dengan Silih asahan, Silih Asuhan, Silih Asihan dan Silih Wawangi.

. BRAL GEURA MIANG TANDANG MAKALANGAN
Strategi Promosi Daerah dengan Teknologi Internet


Pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu keharusan sekaligus sebagai tantangan bagi daerah untuk menunjukkan kemampuan dan kemandirian dalam mengelola, menata, mengurus dan mengatur daerahnya sendiri berdasarkan kewenangan-kewenangan yang dimiliki.

Dengan instrumen UU No.22 dan 25 Tahun 1999, kewenangan otonomi daerah, terutama dalam bidang politik dan keuangan pada prinsipnya telah memberi peluang besar bagi kemajuan dan kemakmuran daerah. Persoalannya, tinggal bagaimana daerah itu memanfaatkan dan mengimplementasikan berbagai kewenangan itu dalam tataran yang lebih konkrit sesuai dengan hakikat dan tujuan otonomi daerah. Dengan demikian, optimalisasi menjadi suatu kata kunci mencapai keberhasilan yang diharapkan.

Pilihan strategis yang harus dilakukan dalam upaya mempercepat keberhasilan otonomi daerah itu adalah bagaimana memprioritaskan penciptaan iklim yang kondusif dan peningkatan kemampuan strategis dengan mengedepankan cara-cara yang kreatif, cerdas dan penuh pertanggungjawaban. Selain ditentukan oleh faktor kesediaan daerah itu sendiri untuk membuka diri dalam menerapkan teknologi informasi dan komunikasi, sebagai suatu keniscayaan baru di era globalisasi yang ditandai dengan adanya kompetisi global sistem perdagangan bebas dunia, yaitu AFTA tahun 2003 dan APEC tahun 2010 bagi negara maju dan tahun 2020 bagi negara berkembang.

Meningkatnya tuntutan promosi daerah dengan kemampuan sumber daya manusia menerapkan teknologi internet yang tersedia dan dapat diakses di tiap-tiap pusat informasi dan komunikasi pemerintah daerah tampaknya harus mendapat prioritas utama dalam mempersiapkan langkah-langkah strategis berikutnya.

Prasyarat ini sangat diperlukan dalam upaya mempercepat terlaksananya program-program otonomi daerah secara keseluruhan. Dan tentu saja percepatan yang sangat diharapkan adalah percepatan yang mampu menghadirkan kekuatan-kekuatan investasi dan bantuan-bantuan, baik berupa suprastruktur maupun inprastruktur yang dibutuhkan dalam peningkatan perekonomian dan pembangunan daerah.

Daya tarik kalangan investor dan pasar produk unggulan daerah terhadap pemanfaatan teknologi internet dalam mengakses kecepatan dan ketepatan informasi dan komunikasi secara timbal balik, tentu saja membawa konsekuensi logis kepada daerah dalam hal ini dibawah tanggung jawab pemerintah daerah untuk mempersiapkan tenaga-tenaga SDMnya yang "melek" dan terampil menguasai teknologi internet dengan tingkat kecerdasan dan kreatifitas tertentu dalam mempromosikan daerah.

Dengan kata lain, bahwa kemampuan promosi daerah dalam menjawab tuntutan investor dan pasar ini tidak sekedar penguasaan dan pemanfaatan teknologi internet saja, akan tetapi juga memerlukan kemampuan-kemampuan strategi dan penguasaan manajemen pemasaran secara khusus.

Ada beberapa langkah yang perlu diupayakan, terutama bagi pemerintah daerah (Pemda) untuk mempercepat tercapainya keberhasilan promosi daerah dengan penggunaan sarana dan teknologi internet.

Pertama, melakukan pelatihan internet terpadu. Pelatihan ini pada hakikatnya untuk memberikan pengenalan, pemahaman dan pemanfaatan teknologi internet yang dipadukan dengan kemampuan strategi berkomunikasi dan penguasaan manajemen pemasaran kepada pemerintah daerah sebagai upaya strategis yang perlu dipersiapkan dalam mengoptimalkan promosi daerah.
Kedua, melakukan studi banding ke daerah-daerah yang terlebih dahulu dan lebih maju menggunakan teknologi internet, sebagai strategi dalam mempromosikan daerahnya.

Ketiga, pengadaan perangkat internet di pusat-pusat informasi dan komunikasi pemerintah daerah. Cara pengadaan ini tergantung pada pemerintah daerah sendiri, apakah dengan menghadalkan kemampuan sendiri atau melalui bantuan-bantuan yang diusahakan dari pihak lain.

Keempat, membuka sistem jaringan internet, sehingga lebih menguatkan posisi daerah dalam mempromosikan daerah.

Dengan langkah tersebut apabila secara optimal dilaksanakan, maka ada beberapa target keberhasilan dan dampak positif yang akan dicapai dalam waktu singkat.

Pertama, terwujudnya pemberdayaan SDM pemerintah daerah yang mampu menguasai teknologi informasi dan komunikasi melalui internet sekaligus mampu menguasai strategi dalam mempromosikan daerah.

Kedua, semakin efektif dan efisiensinya sistem pendataan dan pengumpulan data base daerah.

Ketiga lebih terpacunya Pemda mengembangkan sistem informasi dan komunikasi internet.

Keempat, lebih memudahkan jalan bagi pemda untuk mendatangkan investor dan menemukan pasar bagi produk daerah.

Kelima, citra dan nama baik, bahkan prestise daerah menjadi terangkat.

Keenam akan lahir kesadaran baru untuk meningkatkan kualitas daerah.

Ketujuh secara ekonomi meningkatkan daya saing daerah, sehingga lebih siap berkompetisi dengan daerah-daerah lainnya.

Kedelapan, terjadinya kemudahan dalam bidang informasi dan komunikasi antara pusat daerah dan antar daerah sendiri.
Ancaman “Penyakit” KKN bagi Otonomi Daerah


MERAJALELANYA "penyakit" korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di pusat (Jakarta) dalam berbagai pandangan para pengamat otonomi daerah menyiratkan adanya kekhawatiran yang dirasakan serius akan terjadinya penularan atau bahkan dapat memperkuat lagi praktek KKN di daerah. Sebab di samping masih kuatnya budaya paternalistik yang bersarang, terutama di tubuh-tubuh para pejabat birokrat daerah, juga ada tendensi dan indikasi munculnya kelompok kepentingan yang memanfaatkan momen dan berlindung atas nama otonomi daerah untuk menancapkan kerajaan KKN barunya di daerah. Hal ini, misalnya, tampak terjadi di daerah-daerah, seperti ada dugaan KKN di Pemda Jawa Barat, Bupati Sampang Madura Jawa Timur dan lain-lain, yang dalam hal ini masalah KKN lokal belum menjadi sorotan serius bagi masyarakat di daerah. Termasuk juga kalangan pers, karena lebih terfokus dan terpengaruh pada euforia politik sesaat, yang menganggap bahwa dengan otonomi daerah semua persoalan daerah akan dapat dipecahkan.
Tak sedikit masalah KKN di daerah bersumber pada penyakit yang telah mengkronis dan mengendemi serta mengepidemi di pusat, yang apabila kurang mendapat perhatian akan berdampak negatif bagi pelaksanaan otonomi daerah. Ancaman ini secara umum memang belum tampak serius, akan tetapi pada saatnya nanti akan berubah menjadi penyakit yang mematikan dan dapat merusak serta menghancurkan tatanan semua aspek kehidupan daerah, sebagaimana dirasakan secara mikro dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Sehingga dengan waktu yang masih ada dan potensi kesadaran yang dimiliki itu, daerah segera melakukan langkah-langkah eliminasi dan pemberantasan penyakit KKN sampai ke akar-akarnya, yang diketahui banyak bersarang pada para pejabat dan mantan pejabat, baik yang ada di pusat maupun di daerah.
Dengan demikian, maka perlu terus-menerus disuarakan sebagai jeritan keprihatinan atas nama bangsa ini bahwa mentalitas KKN yang amoral, melanggar hukum, merusak tatanan kehidupan bangsa dan sangat `memuakkan` itu, harus segera dibersihkan. Dan sehubungan dengan akan dilaksanakannya otonomi daerah, maka pejabat-pejabat baru daerah yang menjalankan amanat itu segera diselamatkan dan harus steril dari penyakit KKN tersebut. Sebagai prinsip dasar bahwa otonomi daerah yang segera akan dilaksanakan seharusnya tidak boleh terpengaruh dan tercemar berbagai bentuk KKN. Oleh sebab itu, maka upaya ke arah penanggulangan dan pembasmiannya menjadi sesuatu keharusan melalui berbagai terobosan kebijakan. Baik yang bersifat normatif dalam bentuk perangkat hukum tertulis maupun yang bersifat implementattif sebagai tindakan konkret dalam upaya sterilisasi dan penyelamatan pelaksanaan otonomi daerah.

Lembaga rawan KKN
Sebagai peringatan yang perlu mendapat perhatian dalam upaya sterilisasi dan penyelamatan pelaksanaan otonomi daerah dari praktek-praktek dan wabah penyakit KKN ini, khususnya kepada semua kalangan di daerah yang berkepentingan mengawasi jalannya otonomi daerah sesuai dengan yang diharapkan, perlu melakukan upaya-upaya antisipasi terhadap berbagai kerawanan KKN di daerah. Pertama , di lembaga-lembaga keuangan perbankan yang ada di daerah, baik bank milik daerah maupun bank swasta. Dikatakan rawan KKN, karena berdasarkan pengalaman yang terjadi di pusat, bank selalu menjadi incaran bagi elite pejabat yang mencari kesempatan berkolusi dan melakukan korupsi atau nepotisme dengan cara menggadaikan atau mengkompensasikan kekuasaan dan penyalahgunaan kewenangan yang dimilikinya.
Kedua , di lembaga-lembaga pemerintah, terutama yang menangani proyek daerah, mulai dari perencanaan, pembangunan, pengalokasian dana sampai kepada pengawasannya. Lembaga ini antara lain Badan Pembangunan Daerah (Bappeda), dan setiap instansi pemerintah daerah yang berkaitan dengan penanganan proyek tersebut, termasuk penyalur-penyalur bantuan dana kemanusiaan terhadap korban bencana alam. Sebab berdasarkan pengalaman yang terjadi di pusat terutama yang berkaitan dengan masalah proyek pembangunan, dengan penggunaan dana yang sangat besar terbukti tidak ada pertanggungjawaban yang jelas dihabiskan ke mana dan berapa persen yang benar-benar dialokasikan untuk pembangunan itu sendiri. Proyek bagi orang pusat menjadikan suatu kesempatan emas untuk ber-KKN dan menikmati keuntungan. Sehingga kepentingan pusat terlihat sangat besar sekali untuk terus mempertahankan sistem sentralisasi kekuasaan dan keuangan. Belum terpikirkan oleh mereka bahwa uang yang di-KKN-kan itu adalah uang rakyat, yang harus dibayar dengan keringat dan bahkan darah rakyat. Kemiskinan rakyat diproyekkan atau diatasnamakan dalam bentuk proyek-proyek untuk kepentingan segelintir elite yang sombong dengan segala kewenangannya.
Ketiga , di lembaga-lembaga politik, terutama pembuat dan pengawas kebijakan politik daerah. Di sini bisa terjadi juga pada lembaga-lembaga di luar pemerintah daerah, seperti DPRD dan partai-partai politik yang. KKN yang dilakukan biasanya berbentuk money politics untuk mendapatkan kegitimasi dan dukungan politik bagi kepentingan atau mendapatkan kekuasaan tertentu.
Keempat , di lembaga-lembaga penegakan hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan sampai pengadilan. Dari kaca mata psikologis, penyakit KKN yang dapat teridentifikasi sebagai penyakit mental ini telah banyak merasuki para pejabat dan mantan pejabat, bahkan tidak hanya terbatas pada sektor pemerintahan saja. Sektor swasta dan lembaga legislatif (DPR/DPRD) pun juga terimbas, yaitu dengan adanya indikasi money politics dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan politik kekuasaan. Bahkan, di lembaga yudikatif (peradilan dan pengadilan) yang tergolong sangat parah dan penyakit mentalnya telah mewabah hampir merata pada setiap individu aparat hukum dan terlebih Hakim Agungnya di lembaga Mahkamah Agung. Secara kasat mata dapat dilihat, betapa penyakit mental KKN ini telah merusak tatanan kehidupan sosial, budaya, politik, hukum, moral, dan agama.
Dari kaca mata yuridis, memang masalah KKN belum sepenuhnya menjadi kebijakan politik hukum yang secara total harus dibasmi. Hukum kita masih memperlihatkan adanya ketidakseriusan dan bersifat setengah-setengah, untuk tidak dikatakan tidak sama sekali, menerapkan sanksi berat terhadap pelaku KKN. Bahwa semua orang tahu, dalam penegakan hukum KKN ini banyak terjadi diskriminasi penerapannya dan justru di wilayah itu pula rawan terjadi KKN-KKN baru yang lebih dahsyat dan memuakkan. Kita melihat bahwa sama sekali belum ada kesadaran yang bisa diharapkan dari pemerintah pusat dan lembaga kenegaraan lainnya yang berada di pusat untuk secara menyeluruh menanggulangi dan membasmi penyakit KKN.
Kelima , di lembaga-lembaga keuangan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Sebagaimana BUMD yang ada di pusat yang terbukti sangat rawan terjadinya KKN.
Keenam, di lembaga-lembaga yang menangani penerimaan atau pemasukan keuangan daerah, seperti Kantor Pajak, Bea dan Cukai serta Kantor Imigrasi setempat. Ketujuh, di lembaga-lembaga yang mengurusi pertanahan. Kedelapan, di lembaga yang mengurusi pekerjaan umum (PU) dan bahan pangan/makanan seperti Bulog, koperasi karyawan/pegawai. Dan lembaga-lembaga lainnya yang diketahui rawan KKN.
Semua lembaga-lembaga di atas yang potensial atau memang sudah ada bibit-bibit penyakit KKN-nya di daerah harus diantisipasi dan ditanggulangi serta dibersihkan sekarang juga. Sehingga jangan sampai nantinya mengotori dan merusak pelaksanaan otonomi daerah yang didambakan dapat mengantarkan kesejahteraan bagi semua warga daerah. Bukan hanya untuk segelintir pejabat atau elite-elite daerah. Dengan demikian, maka tingkat kekhawatiran yang saat ini baru disuarakan oleh banyak pengamat otonomi daerah --yang khawatir penyakit KKN dan raja-raja kecilnya akan pindah ke daerah--, juga menjadi kekhawatiran bersama seluruh bangsa ini dan kemudian dilakukan upaya-upaya konkret untuk mengantisipasinya.




Kopo Permai 1 Januari 2002
H.Tubagus Raditya
PEMDA DAN OTONOMI DAERAH

Otonomi daerah telah memicu sejumlah dorongan bagi pengusaha daerah untuk berpikir dan mengeksplorasi setiap kesempatan yang timbul, Otonomi daerah tentu saja berpeluang mendorong manusia produktif bergerak mencari tempat kehidupan yang lebih layak. Namun, tentu saja, semua itu terpulang pada bagaimana masing-masing pemda menata daerahnya. .

Bagaimana Pemda menata daerahnya ? ini yang harus kita pikirkan serta pecahkan bersama, Pemda sebagai otoritas kebijakan publik yang mengendalikan suatu “bisnis” pelayanan terhadap masyarakatnya (publik) harus dapat mengeksplorasi setiap sumber daya, kesempatan untuk kepentingan daerahnya, agar daerahnya menjadi maju dan sejahtera, untuk kepentingan stake holdernya, Di beberapa daerah, bahkan ada yang berpikir bagaimana membagi dua atau tiga kabupatennya, agar teman-temannya bisa menjadi pejabat di sana, lalu diberikan fasilitas baru: rumah pegawai dan kendaraan dinas baru.
Pertama, harus dihitung dengan jelas berapa lama sumber daya alam yang sifatnya nonrenewable (tidak bisa diperbaharui) bakal habis.
Kedua, harus ada peta daerah yang bisa dipercaya mengenai gambaran mutu SDM. Dengan peta itu, harus ada program untuk meingkatkan mutu pendidikan dan kesehatan agar orang-orang muda tak kalah bersaing dengan putra daerah lain atau bangsa lain.
Ketiga, daripada membuat Stadion Sepakbola, lebih baik gunakan uang untuk melakukan retraining terhadap pegawai pemda agar memiliki sikap dan pengetahuan yang lebih siap, atau dapat digunakan untuk mendirikan balai-balai Latihan kerja di setiap kecamatan yang sesuai dengan keunggulan dan potensi dari kecamatan tersebut atau dapat pula membangun beratus ratus kilometer jalan di daerah daerah terpencil sehingga dapat membuka akses daerah, Ingat bukan hanya Asset yang diperlukan oleh masyarakat terpencil tapi akses juga sangat mereka perlukan agar dapat memasarkan produknya atau dapat pula digunakan sebagai jaminan untuk membantu menggerakan para pengusaha kecil dan menengah sehingga mereka tidak kesulitan lagi dalam sisi permodalan atau dapat juga digunakan untuk membuat Kartu sehat sehingga dapat menaikan taraf kesehatan dari masyarakat, atau dapat pula digunakan dalam penyusunan data base kependudukan yang lebih rinci dan dapat digunakan didalam pengembangan E Government, Sehingga akan memudahkan Pihak Pemda dalam melakukan skala prioritas program-program Pembangunan dan memudahkan pihak pemda dan legislatif dalam menuntaskan segala permasalahan publik, sehingga akan terjadi efektifitas didalam sisi Waktu dan efisiensi didalam sisi Ekonomi yang akan berujung kepada penyerderhanaan birokrasi didalam Investasi dan pelayanan masyarakat (Public Service)

Keempat, jangan memanfaatkan otonomi untuk keperluan sesaat yang sifatnya bisa menghambat perputaran roda ekonomi. Otonomi daerah bergerak beriringan dengan proses globalisasi, yang di dalamnya harus memberi ruang bagi bergeraknya manusia, informasi, jasa-jasa, dan barang-barang secara bebas dari satu tempat ke tempat lain. Pungutan-pungutan yang dilakukan tanpa menciptakan nilai tambah hanya akan menjadikan mesin otonomi sebuah tumbuhan parasit yang tidak dikehendaki masyarakat
Otonomi daerah bukanlah melulu soal retribusi, atau bagaimana memeras perekonomian agar kabupaten mempunyai uang lebih. Otonomi daerah pada prinsipnya suatu upaya penyejahteraan masyarakat melalui tangan dan pikiran masyarakat di daerah tersebut. Media massa mempunyai peran yang sangat vital, yaitu menyalurkan informasi dan membangun mood yang positif agar muncul inisiatif pengusaha dan pasar.
”Pemerintah itu bergerak di bidang bisnis informasi,” demikian kata Michael R. Nelson, Direktur Kebijakan Teknologi pada Federal Communications Commission (FCC). Itu sebabnya di negara-negara maju pemerintahnya menanamkan investasi besar-besaran untuk menyajikan informasi seluas-luasnya kepada masyarakat. Informasi tentang cuaca, pajak, hasil-hasil penelitian, angka-angka statistik, perubahan penduduk, potensi usaha, sumber daya alam, susunan pemerintah, nama-nama pejabat dan pengusaha, rencana pemerintah ke depan, fasilitas yang tersedia, kondisi keuangan pemerintah, jumlah bank dan uangnya yang berputar, dan lain sebagainya. Informasi-informasi itu digunakan untuk menjawab pertanyaan ”Mengapa kita membutuhkan pemerintah?” Jawabannya adalah karena kita membutuhkan rasa aman, nyaman, dan sejahtera.
Pasar, jumlah pengusaha, dan roda perekonomian bisa dibesarkan oleh strategi komunikasi dan Informasi yang efektif. Kalau sudah merasakan manfaatnya, pengusaha pasti akan memanfaatkan media lokal. Kalau konsumen mulai bergerak, investor pun tidak tinggal diam. Mereka pasti akan berinisiatif. Kalau perekonomian sudah bergerak, pemda tak perlu lagi menjadi tukang pungut retribusi di pinggir jalan yang selalu dicibiri sopir truk.
Apa yang bakal dilakukan pemda dalam menyikapi otonomi daerah ini? Banyak versi yang diungkapkan para pemimpin di daerah. Yang positif mengatakan mereka akan fokus pada sumber daya manusia (SDM), yaitu pendidikan dan kesehatan. Beberapa bupati dan tokoh masyarakat daerah mengatakan akan memperbaiki mutu sekolah, menaikkan gaji guru, bahkan akan memberikan setiap guru sebuah sepeda motor. Yang lebih pragmatis mengatakan, akan menggunakan dana itu untuk modal usaha melalui badan-badan usaha milik daerah (BUMD). Tentu saja, bila pola lama yang digunakan, hampir bisa dipastikan BUMD kelak akan menjadi beban masyarakat lagi. Ada kecenderungan mengangkat orang-orang yang tak berkompeten di BUMD, yang memberi kontribusi besar bagi hilangnya modal masyarakat.
Oleh sebab itulah diperlukan sebuah keinginan yang kuat dari berbagai lapisan masyarakat khususnya pihak Pemda dan DPRD yang baru dilantik ini untuk dapat mengkreasikan Otonomi Daerah itu sebagai Wahana untuk melihat peluang serta mengeksplorasi potensi daerah yang pada akhirnya bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat serta jangan hanya membebani masyarakat dengan kenaikan-kenaikan dan bertambahnya subyek pajak dan retribusi yang akhirnya akan timbul back effect bagi berkembangnya kegiatan perekonomian masyarakat.
BRAL GEURA MIANG TANDANG MAKALANGAN
REFORMASI KEUANGAN DAERAH


Tuntutan demokrasi dalam pembangunan sekarang membawa pengaruh yang signifikan dalam penerapan manajemen publik untuk mengelola tata pemerintahan yang baik. Dalam ruang lingkup pengelolaan keuangan pemerintah, eksekutif diwajibkan untuk menyusun suatu perencanaan kinerja jangka menengah dan panjang yang berorientasi penuh pada hasil yakni apa keinginan masyarakat atau outcome.

Dalam jangka pendek (tahunan) pihak eksekutif bersama-sama legislatif menentukan arah dan kebijakan umum pembangunan guna menyusun strategi dan prioritas pembangunan untuk mewujudkan capaian yang akan dilaksanakan dalam satu tahun pada koridor perencanaan jangka panjang dan menengah yang ada. Prioritas disusun berdasarkan sumber ekonomi yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Proses ini disebut dengan sistem penganggaran yang disusun oleh pihak legislatif agar mendapat persetujuan.

Inti dari proses ini adalah mendapatkan suatu performance agreement antara pihak eksekutif dan legislatif. Kesepakatan ini dituangkan dalam suatu ukuran yang disebut dengan indicator kerja. Pada titik ini terdapat suatu pola perubahan yang mendasar mengenai persetujuan anggaran (Alokasi sumber daya) yang harus diberikan sesuai dengan tuntutan demokrasi. Pada tahun tahun yang lalu sistem penganggaran menganut sistem line item and incremental budgeting. Sistem tradisional ini dilakukan sesuai dengan tuntutan jaman pada saat itu yakni lebih mengutamakan kesederhanaan dan tuntutan keberhasilan untuk memakai atau menyerap anggaran sesuai kinerja yang ditawarkan akan dicapai oleh pengguna anggaran. Untuk melindungi kepentingan publik secara luas, performance agreement harus dicapai memenuhi standar pelayanan minimal hak-hak dasar masyarakat memperoleh pelayanan publik.

Salah satu point reformasi menajemen publik di Indonesia adalah dengan terbitnya Inpres No. 7 tahun 1999 tentang laporan akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Secara subtansi inpres ini mendorong setiap instansi pemerintah untuk berfokus pada hasil apa yang diinginkan masyarakat atau dalam arti lebih luas sering dikenal dengan outcome. Inpres ini adalah salah satu pengungkit (leverage) dari perubahan dalam sistem manajemen pelayanan publik. Titik berat yang lebih tentunya adalah dengan lahir apresiasi yang ditetapkan oleh pihak legislatif. Basis penganggaran harus harus berubah, ia harus mengacu pada kinerja yang ingin dicapai yang dinyatakan oleh indicator Kinerja dalam performance agreement.

Alokasi anggaran merupakan merupakan variable dari UU No. 22 dan 25 tahun 1999 yang mengatur tentang desentralisasi. Perangkat perundang-undangan ini didukung PP No. 1005/2000 dan PP No. 108/2000 serta Kepmendagri No. 29/2002. Walaupun pedoman-pedoman dan standar-standar belum dibuat sepenuhnya oleh pemerintah pusat, kita harapkan Kab Bandung harus berani menerapkan sistem manajemen pelayanan publik yang baru karena disentralisasi memaksa Pemda Kabupaten Bandung harus mampu berinovasi dengan segala sumber daya yang ada. Pemda Kabupaten Bandung harus berkreasi ada atau tidak ada pedoman yang dikeluarkan oleh Pemerintah pusat untuk itu. Dengan terbitnya UU No. 17 tahun 2003 tentang keuangan negara, banyak pihak yang mengatakan bahwa telah terjadi kontroversi peraturan dalam pengelolaan keuangan daerah. Namun dengan terbitnya UU tersebut akan menyempurnakan apa-apa yang akan dilakukan oleh Pemda Kabupaten Bandung untuk melakukan suatu strategi “melaksanakan sambil mengevaluasi”.

Tantangan implementasi yang dihadapi oleh Pemda Kabupaten Bandung adalah masalah efektifitas Kepegawaian sebagai prasyarat utama untuk dapat mewujudkan suatu “perusahaan” pelayanan publik yang sebenar-benarnya. Yang dapat diibaratkan seperti perusahaan terbuka yang bergerak di bidang public service yang kepemilikan sahamnya dimiliki oleh seluruh masyarakat Kabupaten Bandung. Kenapa masalah efektifitas kepegawaian sebagai prasyarat utama ? itu merupakan suatu konsekwensi logis yang harus dilakukan sebagai sebuah perusahaan terbuka agar dapat bergerak dengan cepat dan tepat dalam menghadapi segala persoalan yang berkembang di masyarakat (konsumen), yang akhirnya akan meningkatkan pelayanan terhadap masyarakatnya (konsumenya), bagaimana perusahaan terbuka itu dapat bergerak dengan cepat dan tepat sasaran apabila perusahaan tersebut terlalu besar didalam jumlah pegawainya ( Efektifitas).

Oleh sebab itu sebagai terobosan utama yang harus dilakukan oleh Pemda dan dipikirkan oleh pihak legislatif ialah melakukan Rasionalisasi kepegawaian, hal tersebut mutlak dilakukan diluar Guru, dan petugas kesehatan apabila ada keinginan kuat untuk maju dan mengejar ketertinggalan. Kalau dilihat dari APBD yang sekarang maupun yang telah lalu untuk membayar gaji pegawai saja hampir menyedot 40 % dari APBD.
Oleh sebab itu seharusnya pada saat memulai jabatan baik eksekutif maupun legislatif dalam rangka menyiapkan pelayanan terhadap publik, pertanyaan pertama yang harus ada dalam benak mereka ialah adalah Berapa Asset atau kemampuan keuangan dan potensi yang dimiliki oleh daerah tersebut ? itu yang harus dijadikan acuan pokok atau dasar untuk memulai suatu perencanaan keuangan bagi daerah. Apakah yang harus dijadikan suatu acuan ialah satu lembar kertas suatu catatan realisasi dari APBD pada saat itu ? satu lembar kertas yang dimaksudkan sebagai catatan kekayaan Pemerintah Kabupaten Bandung, mana mungkin di eksekutif dan khususnya legislatif yang baru mampu merumuskan kebijakan publik jika hanya mengandalkan suatu informasi keuangan yang begitu minim. Inilah suatu kenyataan yang terjadi selama ini, yang apabila dibiarkan akan terjadi disorientasi dalam penyusunan program-program pembangunan.

Untuk itulah, kita sekarang harus menyadari bahwa dengan semakin berkembangnya pola pikir serta daya kritis masyarakat, eksekutif dan khususnya Legislatif yang baru harus dapat lebih peka menghadapi tuntutan para konsumennya (masyarakatnya), karena dengan Reformasi keuangan daerah akan terjadi suatu peluang yang sangat besar didalam memperbaiki pelayanan jasa Publik.

Mari Kita Sama-sama Bangun Kabupaten Bandung dengan Silih asahan, Silih Asuhan, Silih Asihan dan Silih Wawangi.
BRAL GEURA MIANG TANDANG MAKALANGAN
Ambil Untung Rp 400 Per KK

KATAPANG, TRIBUN - Harga jual beras untuk warga miskin (Raskin) di Kabupaten Bandung ternyata dijual melebih harga normal. Harga normal Raskin adalah Rp 1.600 per kg. Namun para Ketua RT menaikkan harga hingga Rp 2.000 per kg.

Seperti diutarakan salah seorang Ketua RW di Desa Katapang, Bonang, saat melaporkan kepada anggota DRPD Kabupaten Bandung, Senin (28/1) siang kemarin, mengatakan seluruh ketua RT telah menetapkan harga jual beras raskin sebesar Rp 2.000/Kg kepada warganya. Artinya ada ambil untung Rp 400 per kepala keluarga.

Alasan pihaknya menaikkan harga Raskin tersebut, dikarenakan adanya beban biaya transportasi dan biaya pembelian karung dan kantung plastik. "Kantung plastik tidak disediakan oleh pemerintah, begitu pun dengan biaya transportasi untuk mengangkut beras, jadinya kami bebankan kepada warga," katanya.

Sebanyak 170 KK, lanjutnya, sudah membeli beras masing-masing 2 kg, namun sudah dua minggu ini Raskin belum juga datang.
Aksi menaikkan harga secara sepihak ini, terjadi hampir serempak di seluruh tingkatan RT. Anggota Fraksi Golkar, Tubagus Raditya, menyebutkan, penyebab kenaikan harga tersebut yang hampir merata di seluruh RT di Kabupaten Bandung disebabkan tidak adanya kejelasan mekanisme Raskin dari Pemprov Jabar.

"Tahun lalu, Raskin diserahkan dulu ke desa kemudian dijual kepada warga sesuai dengan harga patokan pemerintah, tapi sekarang desa harus membeli dulu beras ke Dolog, baru menjualnya ke warga," jelasnya.

Akibatnya, kata Tubagus, Kades menginstruksikan kepada seluruh Ketua RT untuk menarik dulu uang kepada warga yang akan membeli. "Pemprov dan Dolog tidak menjelaskan apakah harga patokan Rp 1.600 tersebut sudah termasuk ongkos pengiriman dan kantung plastik atau belum. Karena tidak ada kejelasan tersebut, makanya mereka berspekulasi menarik sendiri harga transport dan kantung plastik," katanya.

Dikarenakan penarikan uang raskin dari warga sudah serempak dilakukan di Kabupaten Bandung, perlu secepatnya ada penjelasan prosedur dan payung hukum sehingga tidak ada permasalahan ke depannya. "Khawatir akan ada penyalahgunaan kesempatan di tingkat RT yang seenaknya menaikan harga raskin, bahkan bisa mengarah ke korupsi," jelas Tubagus. (tor)

Dewan Pertanyakan Soal Raskin

Selasa, 29 Januari 2008
Komisi B dan D DPRD Kab. Bandung, mempertanyakan mekanisme penyaluran beras bagi keluarga miskin (raskin). Hal itu berkaitan menyusul adanya laporan dari warga Kabupaten Bandung yang mengaku dipungut uang terlebih dahulu oleh desa, sebelum mendapatkan jatah beras tersebut. Warga menilai aneh, karena biasanya mereka membayar setelah mendapatkan raskin.

Seperti dikatakan anggota Komisi B, Tb. Radithya di Soreang, Senin (28/1). Ia mendapatkan laporan dari aparat RW di Kecamatan Katapang bahwa warga diminta pungutan uang terlebih dahulu untuk mendapatkan raskin. Untuk itu kami hanya ingin meminta penjelasan, khususnya dari Bulog, bagaimana sebenarnya mekanisme penyaluran raskin ini pada warga.

Menurut Radithya, selain warga merasa janggal dengan mekanisme yang dinilai aneh tersebut, setelah uang disetor beras pun belum jelas kapan turunnya. Menurutnya, jika ditalangi dulu oleh aparat juga, itu akan memberatkan aparat di bawah, khususnya RT/RW.

Menurutnya, dengan mekanisme seperti itu, akan rawan terjadi penyelewengan karena jumlah uang yang dipungut di atas rata-rata harga per kilogram beras. Kalau betul uang tersebut sesuai dengan perhitungan antara aparat desa dengan warga, mungkin saja harga yang dibelikan ke Bulog lebih rendah dari perhitungan.

Ditambahkan anggota dewan dari Partai Golkar ini, sudah seharusnya harga beras yang diterima warga sesuai dengan harga yang ditetapkan Bulog dan bebas dari biaya lain yang hanya memberatkan warga miskin.

Kalau ada aturan bahwa pemerintah daerah harus menanggung biaya tambahan untuk mendistribusikan raskin, kami sangat mendukung, karena jika ada perbedaan harga yang diterima masyarakat sering menjadi tuduhan lain.

Sedangkan anggota Komisi D, Oman Faturohman menegaskan, dalam pendistribusian raskin seharusnya warga menerima beras dulu, baru membayar. Kalau sudah setor uang tetapi beras belum turun dan kalau kualitasnya juga tidak sesuai harus bagaimana warga nanti.

Karena itu tambah Oman, Bulog harus memberikan arahan yang jelas dalam mekanisme penyaluran raskin ini. Selain harus tepat sasaran, dalam penyalurannya jangan menjadi beban masyarakat. Kalau harus mahal, bukan lagi raskin.

Sebelumnya Sekretaris Daerah Pemprov Jabar, Lex Laksamana dalam peluncuran program raskin tingkat Jabar di Soreang, beberapa waktu lalu mengatakan, pemerintah daerah kota dan kabupaten harus mengalokasikan dana di APBD untuk menanggung biaya transportasi raskin sehingga tidak menjadi beban bagi rumah tangga miskin (RTM) yang menerima. Diakui Lex, selama ini sering terdapat perbedaan harga raskin karena biaya transportasi dihitung dan dibebankan kepada warga penerima raskin tersebut.



Sumber : Harian Umum Galamedia, Selasa 29 Januari 2008

Dewan Kecewa Plagiat Draf KUA dan Raperda SOTK

DPRD Kabupatan Bandung kecewa berat atas ditemukannya naskah plagiat pada draf raperda struktur organisasi tata kerja (SOTK) dan rancangan kebijakan umum APBD (KUA) Kab Bandung tahun 2008. Dalam pembahasan draf KUA 2008 dan Raperda SOTK di Hotel Puri Khatulistiwa, Kab Sumedang, Selasa (13/11), terungkap draf plagiat itu meniru produk KUA Kota Bandung dan Kab Bandung Barat. Data yang dihimpun Republika dari DPRD Jabar, menyebutkan dalam KUA Kab Bandung tertera sejumlah kecamatan yang kini berada di wilayah administratif Kab Bandung Barat. Di antaranya, Kecamatan Lembang, Ngamprah, dan Cikalongwetan. Selain itu, DPRD menemukan nomenklatur bupati Bandung Barat sebagai kepala daerah Kabupaten Bandung. Bahkan, dalam draf KUA 2008 Kab Bandung, disebutkan daerah yang dimaksud dalam KUA tersebut adalah Kota Bandung. Sementara pada raperda SOTK Kab Bandung, ditemukan penggabungan sejumlah dinas yang mirip dengan wajah SOTK Kab Bandung Barat. Di antaranya, penggabungan Dinas Perhubungan dengan Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan dan Dinas Kebudayaan. ''Ini jelas copy-paste dari Bandung Barat dan Kota Bandung,'' ujar anggota Pansus Raperda SOTK, DPRD Kab Bandung, M Ikhsan, kepada wartawan. Menurut dia, draf KUA dan SOTK itu langsung dikembalikan kepada Pemkab Bandung. Pihaknya tidak bisa membahas draf KUA dan raperda SOTK yang meniru dari daerah lain. Ikhsan menjelaskan, indikasi plagiat dalam pembuatan draf KUA dan raperda SOTK itu sangat tampak. Dikatakan anggota Pansus Raperda SOTK, H Tubagus Raditya, munculnya produk plagiat tersebut menunjukkan bila proses penyusunannya tidak didasari naskah akademik. Seharusnya, penyusunan raperda SOTK harus berawal dari pengkajian akademis. Dekan FISIP Unpad yang menjadi narasumber dalam pembahasan raperda SOTK Kab Bandung, Prof Dr Asep Kartiwa, menandaskan kajian akademis wajib diterapkan dalam menyusun raperda SOTK. ''Kami khawatir potensi Kab Bandung tidak tergali bila penentuan SOTK-nya tidak proporsional,'' ujar Asep.

Hot Spot Akan Hadir di DPRD Kab. Bandung

 
Rabu, 07 November 2007
JIKA Anda berjalan-jalan ke mal atau kafe, sering terpampang pemberitahuan bahwa di tempat tersebut tersedia hot spot atau jaringan internet gratis yang tidak lain untuk memanjakan para pengunjung.
Meskipun tidak semua orang bisa memanfaatkan fasilitas tersebut, setidaknya hal itu menjadi daya tarik dan nilai jual bagi tempat tersebut. Tujuannya menarik calon konsumen sebanyak-banyaknya, khususnya yang memiliki laptop dengan spesifikasi mendukung.

Lalu bagaimana jika di Gedung DPRD tersedia jaringan internet gratis? Sebagai lembaga yang mengakomodasi kepentingan masyarakat, tentunya ketersediaan hot spot akan sangat bermanfaat, minimal untuk mendukung kinerja anggota dewan.

Itulah yang saat ini sedang dirintis salah seorang anggota DPRD Kab. Bandung dari Partai Golkar, H. Tb. Raditya. Raditya yang baru menjadi anggota DPRD pada masa pergantian antarwaktu (PAW) seminggu lalu itu, ingin agar Gedung DPRD dilengkapi hot spot.

Untuk mewujudkannya, anggota Komisi B ini rela mengeluarkan uang dari koceknya sendiri. Jaringan ini bisa dimanfaatkan oleh semua, bahkan wartawan yang dituntut bekerja serbacepat. Lebih jauh ia pun mengatakan, hot spot tersebut dapat memacu setiap satuan kerja perangkat daerah (SKPD) melakukan hal serupa. Biayanya tidak mahal, sudah saatnya semua memanfaatkan teknologi sehingga cara-cara bekerja bisa lebih efektif.

Menurut Raditya, apa yang dilakukannya bukan untuk cari perhatian, tetapi karena kemajuan teknologi tidak bisa dihindari.
Sumber : Harian Umum Galamedia Rabu,7 November 2007

Hanya 3 BPR Pemkab yang Masih Hidup

 
Selasa, 15 Januari 2008
Sebanyak 12 dari 27 Badan Perkreditan Rakyat (BPR) milik Pemkab Bandung dinyatakan mati dan 12 lainnya dalam kondisi tidak sehat. Hanya 3 BPR yang dikategorikan dalam kondisi sehat, yaitu BPR Soreang, Banjaran, dan BPR Cicalengka.

Melihat kondisi BPR yang sebagian besar tidak menghasilkan keuntungan bagi Pemkab Bandung, Komisi B DPRD Kab. Bandung berniat akan mereview kebijakan yang diberikan Pemkab Bandung kepada BPR. Dikatakan anggota komisi B DPRD Kab. Bandung, Tb. Radithya Ginanajar di Soreang, Senin (14/1), disarankan BPR-BPR milik Pemkab Bandung tahun ini dimerger.

Sisa BPR yang masih ada harus kita lihat kondisinya, karena berdasarkan hasil temuan kami, dari 15 BPR yang masih ada hanya tiga dalam keadaan sehat. Sampai saat ini, lanjut anggota dewan dari Fraksi Partai Golkar ini, 12 BPR yang dinyatakan mati tidak diketahui bagaimana perhitungan aset serta utang piutangnya. Radithya mengharapkan hal tersebut tidak terulang pada BPR yang masih ada.

BPR-BPR tersebut diberikan penyertaan modal dari APBD sehingga harus jelas pertanggungjawabannya
Menyikapi kondisi tersebut, Komisi B menganjurkan agar pemkab melakukan audit oleh akuntan publik, sehingga diketahui sisa aset BPR yang masih dimiliki pemkab.

Ini menyangkut pencairan dana penyertaan modal yang akan diberikan, semua harus fair karena dana yang digunakan adalah dana rakyat. Menurut Radithya, dengan adanya audit tersebut, selain melakukan audit terhadap BPR yang sudah mati, juga bisa diketahui seperti apa masa depan BPR yang masih ada. Kami tidak ingin jika penyertaan modal diberikan ternyata BPR yang ada pun nasibnya tidak jelas.

Masih dikatakan Radithya, akibat belum dilakukannya audit, sejauh ini belum diketahui dengan pasti kondisi BPR yang masih ada. Untuk keperluan audit dan rencana penggabungan BPR, Pemkab Bandung dalam tahun anggaran 2008 telah menganggarkan dana sebesar Rp 345 juta.

Sementara itu, untuk menyelamatkan BPR yang masih ada, Radithya mengungkapkan, dewan bersama eksekutif akan membuat Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) penggabungan BPR supaya BPR yang ada bisa dioptimalkan. Dengan Raperda ini diharapkan hanya ada satu BPR dengan satu pimpinan dan nantinya dibentuk cabang-cabang. Selama ini masing-masing BPR mempunyai direktur sendiri yang pada akhirnya berbeda kebijakan.

Dengan penggabungan tersebut, tambahnya, diharapkan akan dimiliki BPR yang profesional. Jika dikelola dengan profesional bisa memberikan layanan profesional juga bagi nasabah sehingga bisa mengambil pangsa pasar yang hilang. Menurut Radithya, pangsa pasar potensial BPR adalah PNS. Seharusnya BPR bisa bisa mengambil pangsa pasar tersebut. Banyak PNS yang beralih ke bank swasta.


Sumber : Harian Umum Galamedia Selasa,15 Januari 2008

Libatkan Pedagang Saat Bangun Pasar


Senin, 10 Desember 2007
Sering munculnya masalah dalam pembangunan pasar, karena para pedagang jarang dilibatkan. Sebab itu, sudah saatnya pemerintah melepaskan pembangunan pasar kepada para pedagang.

Hal itu dikatakan anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung, H. Tb. Raditya , Minggu (9/12), melihat permasalahan pembangunan pasar, khususnya di wilayah Kab. Bandung yang kerap kisruh.

Seperti diberitakan, ratusan massa Pasar Ciwidey berunjuk rasa di Gedung DPRD, meminta agar pemerintah bersikap tegas terhadap pembangunan pasar yang tak kunjung usai dan menyisakan masalah pengembang dengan para pedagang.

Dikatakan anggota dewan dari Partai Golkar ini, permasalahan yang muncul saat pemerintah melakukan relokasi pasar ke tempat yang lebih representatif karena segala pengurusannya dipegang pemerintah. Untuk itu saya melihat bahwa sudah saatnya dalam pembangunan pasar guna merelokasi pedagang, diberikan kewenangan penuh kepada pedagang.

Masih dikatakannya, jika para pedagang diberikan keleluasaan sejak proses penahapan pembangunan, bahkan hingga pelaksanaan, akan memberikan rasa memiliki yang tinggi di antara para pedagang itu sendiri. Sehingga mereka memiliki tanggung jawab yang penuh dengan apa yang sedang dilakukan.

Dalam hal ini, lanjutnya, pemerintah cukup memberikan arahan secara garis besarnya saja agar tidak menyimpang dari rencana teknis yang diinginkan. Kalau perlu biarkan warga pasar yang menunjuk pengembang pembangunannya dan bila terjadi hal-hal yang dianggap tidak sesuai, pemerintah bisa memberikan teguran. Dilanjutkan Didit, panggilan akrabnya, saat ini pemerintah selalu mendominasi dalam hal seperti itu sehingga tidak sedikit pedagang yang kecewa. Lebih baik pemerintah memosisikan diri sebagai fasilitator saja.


Sumber : Harian Umum Galamedia Senin, 10 Desember 2007

Komisi B DPRD Kab. Bandung Menilai Wajar Tegalluar Ingin ke Kota Bandung

Senin, 17 Desember 2007
Komisi B DPRD Kab. Bandung menilai wajar, jika Desa Tegalluar, Kec. Bojongsoang, Kab. Bandung ingin bergabung dengan Kota Bandung. Sebab dilihat dari sisi investasi, mereka telah lama mendambakan investor membangun kawasan timur Kab. Bandung tersebut. Demikian dikatakan anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung, H. Tb. Raditya, Minggu (16/12).

Menurut Raditya, warga Tegalluar sudah cukup lama menanti, agar wilayah mereka segera dibangun sesuai rencana dari Pemkab Bandung. Sebab itu, ketika tidak ada ketidakpastian, mereka pun mempertanyakannya. Rencana pengembangan Kota Baru Tegalluar sudah cukup lama dirintis, tetapi ketidakpastian membuat warga di sana resah. Sedangkan Kota Bandung yang secara geografis dekat dengan wilayah tersebut, sudah ancang-ancang mengembangkan wilayahnya ke timur.

Ditambahkan anggota dewan dari Partai Golkar ini, jika investasi segera digerakkan di Tegalluar, akan memberikan dampak positif yang tidak sedikit. Tegalluar merupakan daerah yang potensial, terlebih saat Kota Bandung memfokuskan pembangunan di kawasan timur juga. Nantinya Tegalluar menjadi pendukung progam Kota Bandung sebagai Kota Jasa.

Dilanjutkannya, dengan pengembangan Kota Bandung tersebut, mau tidak mau Tegalluar juga harus mengimbangi, sehingga tidak terjadi ketimpangan percepatan pembangunan. Jangan sampai Tegalluar menjadi daerah buangan hasil produksi, yang tidak bermanfaat dari Kota Bandung nantinya.

Menyinggung status quo yang masih diterapkan kepada Desa Tegalluar, Raditya menilai, hal itu membuat desa tersebut tidak bisa mengembangkan apa pun. Seperti diberitakan, Desa Tegalluar, Kec. Bojongsoang, Kab. Bandung bersikeras untuk bergabung dengan Pemkot Bandung. Hal ini disebabkan lahan atau tanah di Desa Tegalluar tidak bisa dijadikan sebagai tempat investasi karena status quo.

Hal itu diungkapkan Kepala Desa Tegalluar, H.M. Dadang Supriatna, S.I.P. Menurutnya, sampai saat ini tidak ada kejelasan dari Pemkab Bandung tentang sampai kapan status quo lahan dan tanah di Desa Tegalluar akan berlangsung.

Kondisi ini, tambah Dadang, tentunya sangat merugikan warga yang tidak bisa menggunakan lahan atau tanah untuk investasi dengan mendirikan perusahaan atau pabrik. Sebab itu, wajar jika warga Desa Tegalluar memilih bergabung dengan Pemkot Bandung, dengan kondisi yang terjadi sekarang ini.


Sumber : Harian Umum Galamedia Senin, 17 Desember 2007

Persikab Ajukan Dana Rp 14,38 Miliar


SOREANG -- Manajemen klub sepak bola Persikab mengajukan anggaran sebesar Rp 14,38 miliar untuk musim kompetisi 2008. Pengajuan ini dua kali lipat dibanding alokasi anggaran pada 2007 lalu. ''Dan saya baru tahu kalau Persikab ternyata telah mengajukan anggaran untuk 2008,'' kata anggota Komisi B DPRD Kabupaten Bandung, Tubagus Raditya, Rabu (2/1).

Dikatakan Raditya, pengajuan anggaran tersebut tercantum dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2008. Alokasi ini, kata dia, hampir mencapai dua kali lipat dibanding alokasi yang diberikan Pemkab bandung pada 2007 sebesar Rp 7,5 miliar.

Sebagaimana pengajuan sebelumnya, kata Didit, panggilan akrab Tubagus Raditya, alokasi bantuan untuk Persikab akan digunakan untuk pendanaan seluruh operasional tim sepakbola dari Kabupaten Bandung tersebut. ''Secara pribadi saya menolak pengajuan sebesar itu. Itu terlalu besar,'' kata anggota Fraksi Golkar DPRD Kabupaten Bandung ini.

Pengajuan dana bantuan sebesar itu, lanjut Didit, hampir menyamai pengajuan bantuan Persib ke Pemkot Bandung. Padahal, kata dia, sampai saat ini Persikab belum menunjukkan prestasi yang baik untuk mengangkat nama Kabupaten Bandung. Terangkatnya Persikab ke Divisi Utama Liga Indonesia (Ligina), sambung Didit, bukan lantaran tim sepakbola berjuluk Si Jalak Harupat ini telah menoreh prestasi. Tapi, kata dia, hal ini terjadi akibat adanya perubahan sistem di PSSI.

Selain persoalan prestasi, Didit juga menilai pengajuan dana bantuan Persikab yang biasanya diakomodasi dalam pos bantuan sosial, harus dihentikan. Pasalnya, kata dia, pertanggungjawaban anggaran di pos mata anggaran ini sangat lemah. Untuk itu, Didit menambahkan, kalaupun Persikab akan diberi dana bantuan, sebaiknya dialokasikan di pos mata anggaran yang lebih jelas. ''Kalau saya sudah mengusulkan supaya anggarannya dimasukkan di mata anggaran Dinas Pemuda dan Olahraga,'' ujar dia.

Dinas yang baru dibentuk ini, kata Didit, dapat menjadikan Persikab sebagai salah satu program dalam literatur kedinasan. Dengan demikian, menurut dia, pertanggungjawabannya akan lebih jelas. Selain itu, tingkat pengawasan penggunaan anggaran juga menjadi lebih terbuka. rfa