Kamis, Juli 02, 2009

Walikota Bandung Syok atas Ancaman Suplai Air

Walikota Bandung Syok atas Ancaman Suplai Air 

22 Juni 2009


Bandung (Seputar-Indonesia.com 22/06/09) – Wali Kota Bandung Dada Rosada kaget. Dia mengaku belum mendapat laporan ancaman penghentian pasokan air dari DPRD Kabupaten Bandung jika pihaknya tidak segera menyelesaikan kisruh kompensasi air.

”Saya belum tahu ada ancaman seperti itu. Mudah-mudahan ancaman itu tidak benar-benar dilakukan. Kalau benar dihentikan, maka Kota Bandung tidak punya air dan kita akan kekurangan air bersih karena selama ini didapat dari sana (Kabupaten Bandung),” kata Dada kemarin.

Sebelumnya, kalangan anggota DPRD Kabupaten Bandung mengancam akan menghentikan pasokan air jika Pemkot Bandung dan PDAM setempat tidak segera menyelesaikan kompensasi atas penggunaan sumber mata air di wilayah mereka. Untuk mengantisipasinya, Dada mengaku akan segera menginventarisasi permasalahan itu.

Secara pribadi, dia tidak mengetahui persis permasalahan yang dikeluhkan DPRD Kabupaten Bandung yang mendatangi PDAM Kota Bandung beberapa waktu lalu. Pihaknya mengaku belum mendapat laporan dari Direksi PDAM Kota Bandung terkait kedatangan rombongan anggota DPRD Kabupaten Bandung ke PDAM Kota Bandung terkait aturan kompensasi penggunaan bahan baku air.

Setelah diinventarisasi, Pemkot Bandung pun siap mengambil tindakan untuk penyelesaian kisruh air bersih ini. ”Kita inventarisasi dulu semua yang diminta pihak Kabupaten Bandung. Lalu dilihat kembali apa yang sudah dilakukan dan yang belum”. ”Kalau ada yang belum dilakukan oleh pemkot, berarti harus dilakukan,”ujar Dada.

Bahkan, Dada mengaku tidak akan segan-segan memenuhi semua tuntutan DPRD Kabupaten Bandung asalkan pasokan air bersih dari sana tidak dihentikan. ”Apa yang diminta, ya harus dituruti supaya kita tidak kekurangan air bersih karena kasihan warga Kota Bandung kalau kekurangan air,”ungkapnya.

Seperti diberitakan,Wakil Ketua Komisi B DPRD Kabupaten Bandung Asep Anwar mendatangi PDAM Kota Bandung untuk meminta kejelasan terkait retribusi yang harus dibayarkan atas penggunaan sumber mata air di wilayah Kabupaten Bandung.

”Kami hanya ingin tahu, apakah Kota Bandung sudah memberikan kontribusi pada kami atau belum,baik soal pengambulan air bersih maupun kompensasi instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Ternyata kata mereka sudah membayar pajak ke provinsi (Pemprov Jabar).

Berarti sekarang kami akan mempertanyakan hal ini kepada pihak provinsi,” ungkap Asep di Kantor PDAM Kota Bandung,Jalan Badaksinga. Setelah melakukan komunikasi intensif dengan pihak PDAM Kota Bandung, Asep dan rombongan berencana akan mendatangi Pemprov Jabar. Menurut dia, seharusnya ada pembagian 30% untuk provinsi dan 70% untuk pemerintah yang mata airnya diambil oleh PDAM.

Sayangnya, selama ini provinsi kurang transparan. ”Sebenarnya selama ini kami menerima, hanya tidak ada kejelasan seberapa besarannya,” tuturnya. Sementara itu,anggota Komisi B DPRD Kabupaten Bandung Tubagus Raditya mengungkapkan, Kabupaten Bandung siap untuk menggelar negosiasi guna menyelesaikan persoalan dan mendapatkan apa yang menjadi tujuan, yakni kompensasi air dari Kota Bandung.

”Ini memang diperlukan dan Pemprov sudah memastikan bahwa negosiasi bisa dilakukan. Kami akan segera merekomendasikan agar Pemkab Bandung membentuk tim negosiasi itu,” papar Raditya saat melakukan audiensi dengan Biro Otonomi Daerah dan Kerja Sama Setda Pemprov Jabar di Gedung Sate beberapa waktu lalu.

Selama ini, kata dia, Kabupaten Bandung tidak mendapatkan apa-apa dari Kota Bandung. Padahal, Kota Bandung mengambil air dari Situ Cileunca, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, dan mata air di Kecamatan Cimenyan. Sementara, pajak sebesar Rp63 juta per bulan masuk ke Pemprov Jabar,bukan ke Kabupaten Bandung.

Pasokan air baku dari wilayah Kabupaten Bandung ke Kota Bandung mencapai 1.500 m3 per detik, dengan rincian 1.400 m3 per detik dari mata air di Situ Cileunca dan 100 m3 per detik dari mata air di Cimenyan, Kawasan Bandung Utara (KBU). Raditya melanjutkan, berdasarkan perhitungan Komisi B DPRD Kabupaten Bandung,kompensasi yang harus dibayarkan Kota Bandung sebesar Rp100 per m3.

Dengan jumlah itu, Kabupaten Bandung dapat memperoleh pendapatan hingga Rp4 miliar. Saat ini, PAD Kabupaten Bandung sebesar Rp1,4 miliar. ”Jelas jika mendapatkan kompensasi, sangat menguntungkan kita. Ini bisa menambah PAD. Hasil dari kompensasi dapat digunakan untuk memberdayakan masyarakat di hulu mata air itu.

Hal ini agar masyarakat mendukung reboisasi hutan dan juga menjaga hutan di sekitarnya supaya kualitas air semakin baik,” paparnya. Untuk pembuangan dan pengolahan air kotor, Kabupaten Bandung meminta kompensasi dalam bentuk perbaikan infrastruktur.

Selama ini, pengolahan air kotor hasil pembuangan Kota Bandung dilakukan di Desa Bojongsari, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung. Instalasi pengolahan dilakukan di atas lahan milik Pemkab Bandung seluas 85 ha.

Kabupaten Bandung Usulkan Pengembangan Kotabaru Tegalluar

Sumber : admintaru_100609



Jakarta – Pemerintah Kabupaten Bandung saat ini telah menyelesaikan penyusunan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) Kota Tegalluar. Pada lokasi tersebut pemerintah Kabupaten Bandung memiliki rencana untuk membuat danau buatan yang akan difungsikan sebagai kawasan resapan air untuk wilayah Bandung Timur. Kawasan sekitar danau tersebut direncanakan akan digunakan untuk pariwisata, permukiman, dan industri non polutan. Demikian disampaikan Tubagus Raditya selaku ketua Tim DPRD Kabupaten Bandung dalam acara kunjungan ke Departemen Pekerjaan Umum (4/6).

Sehubungan dengan hal tersebut, Firman M. Hutapea mewakili Direktur Penataan Ruang Wilayah II menyampaikan bahwa DPRD Kabupaten Bandung perlu mengevaluasi dengan cermat apakah RDTR yang disusun sudah sejalan dengan kebijakan Tencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Barat, yang antara lain menetapkan Kota Tegalluar sebagai pusat kegiatan industri dan pariwisata. Firman juga menambahkan, DPRD juga perlu mengevaluasi apakah sudah terdapat kegiatan-kegiatan lain untuk penunjang kegiatan industri dan pariwisata yang direncanakan.

Lebih lanjut Firman mengungkapkan bahwa Rencana Tata Ruang, baik untuk RTRW maupun RDTR, perlu disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD sebelum dimintakan persetujuan substansi ke provinsi maupun pusat. 

”Jika pemerintah daerah dan DPRD belum sepakat, dikhawatirkan pada saat akan disahkan menjadi Perda, RTRW maupun RDTR tersebut masih akan berubah-ubah lagi. Hal tersebut dapat memperlama proses pengesahan Perda RTRW maupun RDTR. Terlebih lagi, Tegalluar merupakan kawasan yang cepat berkembang sehingga perlu segera dibuat payung hukum untuk perijinan pemanfaatan lahan di kawasan tersebut”, ujarnya menambahkan.

Firman juga mengungkapkan, di dalam RDTR juga harus sudah direncanakan jaringan utilitas lingkungan meliputi jaringan air bersih, listrik, air buangan, drainase, dan sebagainya. ”Terkait hal tersebut, perlu diyakini bahwa sudah ada komitmen kesanggupan dari instansi terkait, misalnya : PDAM, PLN, DPU Bina Marga, dsb”, ujar Firman menegaskan.

Pada kesempatan yang sama, Kepala Seksi Pembinaan Rencana Tata Ruang Kabupaten Linda Muniarty mengingatkan bahwa penetapan KDB dan KLB harus disesuaikan dengan daya dukung lingkungan di kawasan tersebut. Ia menambahkan bahwa tutupan lahan untuk kawasan industri tidak boleh sampai mengganggu fungsi peresapan air. 

Selain itu, zoning regulation sempadan danau juga harus benar-benar diperhatikan. ”Jangan sampai terulang peristiwa seperti bencana Situ Gintung”, ujar Linda menegaskan. (wrd/djw)
Untuk Pendidikan, Kesehatan, dan Lingkungan Hidup BJB Soreang Kucurkan Rp 4,1 M untuk CSR  

Selasa, 28 April 2009 

  Bank Jabar Banten (BJB) Cabang Soreang tahun ini mengalokasikan dana sebesar Rp 4,1 miliar untuk program community social responsibility (CSR) bagi warga Kab. Bandung. Dana tersebut dikhususkan untuk bidang pendidikan, kesehatan, dan lingkungan hidup.

  Pimpinan BJB Cabang Soreang, Agus Riswanto saat ditemui, usai rapat kerja dengan DPRD Kab. Bandung, Senin (27/4) mengatakan, alokasi dana sebesar itu telah disiapkan sesuai perhitungan laba yang diperoleh BJB Cabang Soreang. Tahun ini yang pertama kali, tahun-tahun sebelumnya dilakukan, hanya saja namanya sumbangan.

  Dijelaskan Agus, peruntukan dana CSR tersebut sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah. Pemerintah daerah minta untuk dialokasikan ke mana kita tunggu, hanya saja penyalurannya kita fokuskan pada tiga hal, yaitu pendidikan, kesehatan, dan lingkungan hidup.

  Sementara itu, anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung, Asep Anwar Mahfudin mengatakan, meskipun banyak perusahaan di Kab. Bandung, namun belum semuanya melaksanakan program CSR. Program ini seharusnya kewajiban perusahaan sebagai tanggung jawab terhadap lingkungan sekitar. 

  Anggota Komisi B lainnya, Tubagus Raditya mengatakan, apa yang dilakukan BJB Cabang Soreang diharapkan menjadi lokomotif bagi perusahaan-perusahaan lain yang ada di Kab. Bandung. Apa yang dilakukan ini seharusnya bisa ditiru perusahaan lain, karena meskipun CSR itu kewajiban perusahaan, kita menengarai masih banyak perusahaan yang belum melakukannya.

  Ditambahkannya, DPRD menyarankan agar dalam menyalurkan dana tersebut, dibentuk sebuah forum yang terdiri atas berbagai elemen masyarakat. Dana tetap dipegang bank, sementara untuk menyalurkannya melalui forum tersebut dengan program yang diusulkan sesuai kebutuhan masyarakat. 

 

Sumber : Harian Umum Galamedia, Selasa 28 April 2009
Aset-aset Pemkab Perlu Segera Ditata  

Selasa, 12 Mei 2009 

  Pemerintah Kabupaten Bandung perlu segera menata kembali aset-aset yang dimiliki agar tidak jatuh ke pihak-pihak lain. 

  Dari hasil appraisal (penilaian aset), per 31 Desember 2007 Pemkab Bandung memiliki aset tetap senilai Rp 3,343 triliun, kata anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung, Tubagus Raditya, Senin (11/5). Aset-aset itu terdiri atas tanah Rp 681,31 miliar, peralatan dan mesin Rp 188,59 miliar, dan gedung/bangunan Rp 1.063 triliun. Aset lainnya berupa jalan, irigasi, dan jaringannya senilai Rp 1,288 triliun, aset tetap lainnya Rp 78,107 miliar, dan konstruksi dalam pengerjaan Rp 42,765 miliar.

  Namun, Raditya mengatakan, dari hasil pemeriksaan terhadap dokumen barang milik Pemkab Bandung, ada beberapa masalah akibat ketidaktertiban dalam pengelolaan barang milik daerah. Misalnya, laporan dari appraisal tidak diteruskan kepada seluruh satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) sebagai penguasa aset sehingga masing-masing SKPD tidak mengetahui nilai aset-asetnya.

  Pemkab Bandung juga tidak memiliki data mutasi horisontal antar-SKPD berupa perpindahan aset dari satu SKPD satu ke SKPD yang lain. Apalagi beberapa kali terjadi perubahan struktur organisasi tata kerja (SOTK) Pemkab Bandung.

  Selain itu, tidak sedikit aset daerah yang belum dinilai pada saat appraisal, seperti 187 mobil dan sepeda motor. Pada 10 SKPD, terdapat aset berupa 10 mobil, 26 sepeda motor, dan 10 bidang tanah yang tercatat di kartu inventaris barang (KIB) SKPD, tetapi tidak tercantum dalam laporan appraisal.

  Demikian pula hasil penelitian appraisal ternyata tidak tercantum dalam KIB SKPD. Tidak terdapat catatan yang dapat menjelaskan keberadaan barang-barang tersebut. Menurut Raditya, ketidaktertiban pengelolaan aset-aset daerah itu antara lain disebabkan oleh luasnya wilayah, keterbatasan SDM serta sarana dan prasarana penunjang. Akibatnya, fungsi pengamanan barang milik daerah baik secara administrasi, pengamanan fisik maupun hukum belum biasa dilaksanakan secara optimal.

 

Sumber : Harian Umum Pikiran Rakyat, Selasa 12 Mei 2009

Warga Mengeluhkan Bau tidak Sedap IPAL Bojongsoang  

Senin, 08 Juni 2009 


Warga Desa Bojongsoang dan Bojongsari, Kec. Bojongsoang, Kab. Bandung, mengeluhkan dampak pengoperasian instalasi pengolahan air limbah (IPAL) milik Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Bandung. Warga mengeluhkan bau tak sedap dan tercemarnya air sumur, terutama di RW 10 Desa Bojongsari.  

  Kalau sedang musim halodo (kemarau.) bau tak sedap amat mengganggu. IPAL Bojongsoang mengolah air kotor kiriman warga Kota Bandung, kata warga Desa Bojongsoang, Anas, Minggu (7/6). Kepala Desa Bojongsari, Ujang Ruhiat, mengakui banyaknya keluhan terhadap bau menyengat dari IPAL ketika musim kemarau. Bau itu sebagai akibat dari pengolahan air kotor rumah tangga ataupun kotoran manusia dari Kota Bandung yang bermuara ke IPAL Bojongsoang.

  Selain itu, sebagian warga RW 10 yang sumurnya berada paling dekat dengan IPAL mengeluhkan air sumurnya bau. Meski warnanya terlihat jernih, tetapi muncul bau kurang sedap. Kami belum bisa memastikan mutu air sumur warga apakah layak konsumsi atau tidak, sebab harus ada penelitian.

  Keluhan lainnya adalah rusaknya Jln. Kampung Lembang Kuntit sepanjang sekitar delapan ratus meter dan lebar tiga meter yang mengelilingi kawasan IPAL. Jalan itu merupakan akses warga dari Bojongsari menuju Bojongsoang. Pengelola IPAL sudah menyerahkan penanganan jalan itu ke pihak desa, tetapi terlalu berat kalau mengandalkan dana desa.

  Dari hasil penelitian mahasiswa Program Studi Teknik Lingkungan ITB pada tahun 2006 diketahui sistem pengolahan air limbah di IPAL Bojongsoang terhitung konvensional. Hanya mengadalkan proses alami, tanpa bantuan teknologi yang rumit dan bantuan bahan kimia. IPAL seluas 85 hektare ini mengolah air limbah melalui dua proses utama, yaitu proses fisik dan biologi. Proses fisik memisahkan air limbah dari sampah-sampah, pasir, dan padatan lainnya sehingga proses pengolahan biologi tidak terganggu. 

  Salah satu permasalahan yang dialami adalah IPAL Bojongsoang hanya didesain untuk mengolah air limbah rumah tangga. Kenyataannya, IPAL ini sering menerima air limbah yang berasal dari industri kecil dan industri rumah tangga yang tidak memiliki IPAL mandiri dan langsung membuang air limbahnya ke IPAL Bojongsoang.

  Anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung, H. Tubagus Raditya mengatakan, saat ini dengan bantuan pemerintah pusat sedang dibangun jaringan pipa air kotor sehingga air kotor Kota Bandung seluruhnya masuk ke IPAL Bojongsoang. Sebelumnya, IPAL itu baru menangani air limbah dari wilayah Bandung Timur dan Bandung Tengah bagian selatan. Dari kapasitas pengolahan 80.000 meter kubik/hari baru menangani setengahnya.

  Komisi B meminta PDAM Kota Bandung untuk menangani persoalan dampak samping IPAL dan memberikan kontribusi kepada kas daerah. Dari penuturan warga dan aparat desa, ternyata kontribusinya baru sebatas pemberian makanan tambahan kepada balita, pengobatan gratis, dan sumbangan insidental hari-hari besar.

  

Sumber : Harian Umum Pikiran Rakyat, Senin 8 Juni 2009
Perda Pasar Butuh Peraturan Bupati  

Selasa, 23 Juni 2009 

  Sejumlah peraturan daerah (perda) menjadi "macan kertas" akibat belum adanya peraturan bupati (perbup), sebagai petunjuk pelaksanaannya. Salah satunya adalah perda pengaturan, pembinaan, dan pembangunan pasar sebagai solusi penataan pasar tradisional dan pasar modern di Kab. Bandung.

  Perda pasar merupakan inisiatif anggota DPRD Kab. Bandung, yang dibahas pada akhir 2008 dan disahkan Januari 2009 lalu. Namun, sampai kini baru sebatas macan kertas, karena tidak ada aturan pelaksanaannya, kata anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung H. Tubagus Raditya, Senin (22/6).

  Selain perda pasar, perda diniyah takmiliyah yang disahkan Oktober 2008 juga belum memiliki perbup. Seharusnya, wajib diniyah takmiliyah berjalan tahun ajaran 2009/2010, tetapi diundur akibat belum ada perbup, kata Kasi Pekapontren Kandepag Kab. Bandung H. Sjavrizal Rivai.

  Perbup pasar harus segera dikeluarkan, agar penataan pasar-pasar bisa secepatnya dilakukan. Sudah lama pasar-pasar tradisional di Kab. Bandung tidak tertata dengan baik. Kondisi pasar tradisional memprihatinkan. Sebab kumuh, penuh sampah, rawan kebakaran, sehingga ditinggalkan pembeli.

  Dalam perda pasar, kata Raditya, ditekankan pentingnya pengelolaan pasar dari, oleh, dan untuk para pedagang melalui koperasi pasar. Dengan demikian, para pedagang merasa ikut memiliki pasar tersebut. Sedangkan Pemkab Bandung sebatas fasilitator dan regulator pasar. Koperasi pasar bersama para pedagang bisa berunding untuk merencanakan pembangunan kembali pasar.

  Apabila modal untuk merehabilitasi pasar tidak mencukupi, koperasi bisa menggandeng pihak perbankan. Saya merasa yakin, bank akan membantu para pedagang, karena kredit kepemilikan kios rata-rata berjalan lancar seiring perputaran uang di pasar. Kalau pasar-pasar sudah tertata dengan baik, maka pembeli pun akan datang dengan sendiri.

  

Sumber : Harian Umum Pikiran Rakyat, Selasa 23 Juni 2009
Pemkab Harus Kreatif Menggali Potensi PAD  

Selasa, 16 Juni 2009 

  Untuk mengatasi keterbatasan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), Pemkab Bandung seharusnya lebih kreatif dalam menggali sumber-sumber pendapatan. Salah satu sumber pendapatan potensial adalah dari bagi hasil Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung, H. Tubagus Raditya mengatakan Banyak pengusaha kelas menengah dan besar yang memiliki pabrik di Kab. Bandung, namun membayar pajaknya ke DKI Jakarta atau Kota Bandung.

Menurut Raditya, sejak lama para pengusaha yang memiliki pabrik di Kab. Bandung membayarkan PPh pasal 21, PPh pasal 23, dan PPN ke kantor pajak di luar Kab. Bandung. Kalau kantor pusat pabriknya di Jakarta, para pengusaha membayarkan pajaknya ke Jakarta. Tidak sedikit pula pengusaha yang pabriknya di Kab. Bandung, namun tinggal di Kota Bandung sehingga membayar pajaknya di Kota Bandung.

Dengan UU Pajak No. 28/ 2007, pemerintah pusat akan menyerahkan bagi hasil pajak berdasarkan nomor kode yang ada di kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Tiap kartu NPWP dilengkapi dengan nomor kode tempat tinggal wajib pajak tersebut. Nantinya bagi hasil pajak berdasarkan kode wilayah NPWP.

Kota Cilegon, Banten, kata Raditya, berhasil mendapatkan pendapatan baru sebesar Rp 40 miliar karena mengalihkan kode wilayah NPWP ke kode Cilegon. Wajib pajak bisa membayar pajaknya di mana pun, tetapi kode wilayahnya sudah Cilegon sesuai dengan lokasi pabriknya. Wajib pajak tidak terkena pajak ganda karena kode NPWP-nya diubah.

Dengan cara seperti itu, kata Raditya, pengusaha yang tinggal di luar Kota Cilegon, namun pabriknya di Cilegon tidak keberatan kode NPWP-nya diubah. Akhirnya Kota Cilegon memperoleh pendapatan sampai Rp 40 miliar. Pemkab Bandung bisa meniru Kota Cilegon dengan melakukan pendekatan ke kantor-kantor pajak. 

Meski begitu, Raditya menyayangkan, tidak ada satu pun kantor pajak yang berada di wilayah Kab. Bandung. Namanya Kantor Pajak Majalaya, tetapi lokasi kantornya di Jln. Lingkar Selatan, Kota Bandung, untuk melayani warga Kab. Bandung di daerah timur dan utara. Warga Kab. Bandung di wilayah tengah dan selatan dilayani kantor pajak di Cimareme, Kab. Bandung Barat.

Sumber : Harian Umum Pikiran Rakyat, Edisi Selasa 16 Juni 2009 

Lelang Projek Kurang Transparan Sekda, "Tahun Depan, Lelang Dilakukan Secara Online"  

Jumat, 19 Juni 2009 

  Kabupaten Bandung sampai kini belum menerapkan proses lelang secara online (e-procurement) sehingga tertinggal dengan proses lelang di kabupaten/kota lainnya. Kondisi tersebut juga dinilai rawan tindak korupsi akibat proses lelang kurang transparan.

  Sekretaris Daerah (Sekda) Kab. Bandung, Ir. H. Sofian Nataprawira membenarkan, sampai saat ini Pemkab Bandung belum menerapkan lelang online seperti yang telah dilakukan Pemprov Jabar dan kabupaten/kota lainnya.Kami berencana membuat lelang online tahun depan, kata Sofian seusai sosialisasi lelang online dan e-government, di Bale Sawala Pemkab Bandung, Soreang, Rabu (17/6).

  Namun, ia membantah apabila proses lelang berjalan tertutup akibat belum adanya lelang online. Kami sudah mengumumkan keberadaan projek-projek jalan, jembatan, dan lain-lain melalui media massa Jakarta maupun Jawa Barat. Para pengusaha dari Kab. Bandung maupun daerah-daerah lainnya di seluruh Indonesia bisa mengikuti lelang.

  Sementara itu, Kepala Dinas Bina Marga Kab. Bandung Sofian Sulaeman mengatakan, dari 41 paket projek jembatan tahun 2009, sebanyak 34 paket projek di antaranya dimenangkan pengusaha Kab. Bandung. Sedangkan untuk projek jalan, 45 paket sudah ada pemenangnya, tetapi belum kami rekap sehingga belum diketahui asal pengusahanya. Namun tidak benar kalau pemenang lelang sebagian besar dari luar Kab. Bandung. 

  Belum transparannya proses lelang juga dikeluhkan Ketua DPRD Kab. Bandung, H. Agus Yasmin sehingga ia mengirim surat kepada Pemkab Bandung. Dalam surat No. 170/ 597/Hukum tertanggal 15 Juni 2009, Agus Yasmin, meminta agar pelaksanaan lelang dilakukan sesuai dengan Keppres No. 80/2003.

  Lelang juga harus dibuka kepada masyarakat sehingga terjamin transparansinya, apalagi Kab. Bandung memiliki Perda No. 6/2004 tentang transparansi dan partisipasi dalam pembangunan. DPRD Kab. Bandung juga mengimbau agar dalam penentuan pemenang tender tidak hanya berpedoman kepada harga penawaran terendah, tetapi kualitas dan waktu pelaksanaan. Sementara itu, bagi perusahaan yang kalah tender agar mendapatkan penjelasan sehingga tidak memunculkan masalah.

  Anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung, Tubagus Raditya mengatakan, adanya surat dari ketua DPRD Kab. Bandung yang sifatnya penting bisa diartikan ada dugaan penyimpangan dalam proses tender. Tender merupakan proses krusial dalam pembangunan Kab. Bandung sehingga harus benar-benar dipilih kontraktor yang baik kualitasnya.

  Raditya mensinyalir pemenang tender, terutama pekerjaan jalan dan jembatan, didominasi pengusaha dari luar Kab. Bandung. Padahal, kalau pemenangnya pengusaha Kab. Bandung bisa berdampak banyak untuk penerimaan pajak dan penyerapan tenaga kerja lokal.

disadur dari Pikiran Rakyat

H. Tubagus Raditya Indrajaya
Dewan Harus Melek Iptek

KAHATUR, sampurasun, assalamuallaikum warahmatullah wabarakatuh. Pun sapun neda paralun, ka karuhun luluhur Bandung, luluhur jalan rundayan, palias ngaluluhuran, ka sasaka sukapura, amit neda pangampura, kanu calik neda suka, bade miwuruk mitutur, ka nu nembe janten wakil rahayat.

Itulah penggalan pesan dalam bahasa Sunda yang ditulis seorang anggota DPRD Kab. Bandung, H. Tubagus Raditya Indrajaya, ketika kita membuka blog miliknya di www.tubagusraditya.co.cc. Sebuah bentuk permohonan restu untuk mengemban tugas sebagai wakil rakyat di lembaga legislatif.

Pria kelahiran Bandung, 5 Juni 1973 ini menjadi anggota DPRD Kab. Bandung sebagai pengganti antarwaktu (PAW) dari Partai Golkar pada November 2007. Saat itu, beberapa anggota dewan dari partai tersebut ada yang berpindah ke DPRD Kab. Bandung Barat, sesuai amanat undang-undang pemekaran wilayah. 

Kendati datang "paruh waktu" ke lembaga yang terhormat tersebut, namun keberadaannya cukup membawa angin perubahan terhadap kinerja para anggota dewan lainnya. Contoh kecil saat dirinya belum lama dilantik sebagai anggota dewan PAW, sebuah usulan yang selama ini seperti tidak pernah terpikirkan muncul, yaitu membuka jaringan internet hot spot.

"Siapa pun tidak bisa menghindari kemajuan teknologi, termasuk kebutuhan akan internet. Karena itu, untuk mendukung kinerja di Gedung DPRD, harus segera ada jaringan internet yang bisa dikases siapa pun," kata bapak dua anak ini saat itu kepada "GM".

Tak heran setelah gagasannya tersebut dipenuhi, tidak sedikit dari para anggota dewan Kab. Bandung yang sebelumnya gagap teknologi (gaptek), berlomba belajar menguasai teknologi tersebut.

"Alhamdulillah, meski bukan maksud untuk menyombongkan diri, hampir semua anggota dewan kini memiliki blog sendiri. Bahkan tidak ketinggalan saling berinteraksi melalui facebook," papar suami dari Nia Kurniasih ini.

Bagi Raditya, blog adalah sarana untuk menyampaikan apa yang telah dilakukannya selama menjadi anggota dewan sebagai bentuk "pertanggungjawaban" kepada masyarakat.

"Saya pun sudah minta izin kepada rekan-rekan wartawan agar statement saya yang dimuat di surat kabar disimpan dalam blog agar bisa diakses siapa pun," katanya.

Kini setelah tidak terpilih kembali menjadi anggota DPRD periode 2009-2014, ia mengaku akan kembali menekuni pekerjaannya sebagai wiraswastawan. 

"Meski begitu saya tetap akan mendukung rekan-rekan lainnya demi kemajuan Kabupaten Bandung," tandasnya. (rano n. anwar/"GM")**