Kamis, Juli 02, 2009

Walikota Bandung Syok atas Ancaman Suplai Air

Walikota Bandung Syok atas Ancaman Suplai Air 

22 Juni 2009


Bandung (Seputar-Indonesia.com 22/06/09) – Wali Kota Bandung Dada Rosada kaget. Dia mengaku belum mendapat laporan ancaman penghentian pasokan air dari DPRD Kabupaten Bandung jika pihaknya tidak segera menyelesaikan kisruh kompensasi air.

”Saya belum tahu ada ancaman seperti itu. Mudah-mudahan ancaman itu tidak benar-benar dilakukan. Kalau benar dihentikan, maka Kota Bandung tidak punya air dan kita akan kekurangan air bersih karena selama ini didapat dari sana (Kabupaten Bandung),” kata Dada kemarin.

Sebelumnya, kalangan anggota DPRD Kabupaten Bandung mengancam akan menghentikan pasokan air jika Pemkot Bandung dan PDAM setempat tidak segera menyelesaikan kompensasi atas penggunaan sumber mata air di wilayah mereka. Untuk mengantisipasinya, Dada mengaku akan segera menginventarisasi permasalahan itu.

Secara pribadi, dia tidak mengetahui persis permasalahan yang dikeluhkan DPRD Kabupaten Bandung yang mendatangi PDAM Kota Bandung beberapa waktu lalu. Pihaknya mengaku belum mendapat laporan dari Direksi PDAM Kota Bandung terkait kedatangan rombongan anggota DPRD Kabupaten Bandung ke PDAM Kota Bandung terkait aturan kompensasi penggunaan bahan baku air.

Setelah diinventarisasi, Pemkot Bandung pun siap mengambil tindakan untuk penyelesaian kisruh air bersih ini. ”Kita inventarisasi dulu semua yang diminta pihak Kabupaten Bandung. Lalu dilihat kembali apa yang sudah dilakukan dan yang belum”. ”Kalau ada yang belum dilakukan oleh pemkot, berarti harus dilakukan,”ujar Dada.

Bahkan, Dada mengaku tidak akan segan-segan memenuhi semua tuntutan DPRD Kabupaten Bandung asalkan pasokan air bersih dari sana tidak dihentikan. ”Apa yang diminta, ya harus dituruti supaya kita tidak kekurangan air bersih karena kasihan warga Kota Bandung kalau kekurangan air,”ungkapnya.

Seperti diberitakan,Wakil Ketua Komisi B DPRD Kabupaten Bandung Asep Anwar mendatangi PDAM Kota Bandung untuk meminta kejelasan terkait retribusi yang harus dibayarkan atas penggunaan sumber mata air di wilayah Kabupaten Bandung.

”Kami hanya ingin tahu, apakah Kota Bandung sudah memberikan kontribusi pada kami atau belum,baik soal pengambulan air bersih maupun kompensasi instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Ternyata kata mereka sudah membayar pajak ke provinsi (Pemprov Jabar).

Berarti sekarang kami akan mempertanyakan hal ini kepada pihak provinsi,” ungkap Asep di Kantor PDAM Kota Bandung,Jalan Badaksinga. Setelah melakukan komunikasi intensif dengan pihak PDAM Kota Bandung, Asep dan rombongan berencana akan mendatangi Pemprov Jabar. Menurut dia, seharusnya ada pembagian 30% untuk provinsi dan 70% untuk pemerintah yang mata airnya diambil oleh PDAM.

Sayangnya, selama ini provinsi kurang transparan. ”Sebenarnya selama ini kami menerima, hanya tidak ada kejelasan seberapa besarannya,” tuturnya. Sementara itu,anggota Komisi B DPRD Kabupaten Bandung Tubagus Raditya mengungkapkan, Kabupaten Bandung siap untuk menggelar negosiasi guna menyelesaikan persoalan dan mendapatkan apa yang menjadi tujuan, yakni kompensasi air dari Kota Bandung.

”Ini memang diperlukan dan Pemprov sudah memastikan bahwa negosiasi bisa dilakukan. Kami akan segera merekomendasikan agar Pemkab Bandung membentuk tim negosiasi itu,” papar Raditya saat melakukan audiensi dengan Biro Otonomi Daerah dan Kerja Sama Setda Pemprov Jabar di Gedung Sate beberapa waktu lalu.

Selama ini, kata dia, Kabupaten Bandung tidak mendapatkan apa-apa dari Kota Bandung. Padahal, Kota Bandung mengambil air dari Situ Cileunca, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, dan mata air di Kecamatan Cimenyan. Sementara, pajak sebesar Rp63 juta per bulan masuk ke Pemprov Jabar,bukan ke Kabupaten Bandung.

Pasokan air baku dari wilayah Kabupaten Bandung ke Kota Bandung mencapai 1.500 m3 per detik, dengan rincian 1.400 m3 per detik dari mata air di Situ Cileunca dan 100 m3 per detik dari mata air di Cimenyan, Kawasan Bandung Utara (KBU). Raditya melanjutkan, berdasarkan perhitungan Komisi B DPRD Kabupaten Bandung,kompensasi yang harus dibayarkan Kota Bandung sebesar Rp100 per m3.

Dengan jumlah itu, Kabupaten Bandung dapat memperoleh pendapatan hingga Rp4 miliar. Saat ini, PAD Kabupaten Bandung sebesar Rp1,4 miliar. ”Jelas jika mendapatkan kompensasi, sangat menguntungkan kita. Ini bisa menambah PAD. Hasil dari kompensasi dapat digunakan untuk memberdayakan masyarakat di hulu mata air itu.

Hal ini agar masyarakat mendukung reboisasi hutan dan juga menjaga hutan di sekitarnya supaya kualitas air semakin baik,” paparnya. Untuk pembuangan dan pengolahan air kotor, Kabupaten Bandung meminta kompensasi dalam bentuk perbaikan infrastruktur.

Selama ini, pengolahan air kotor hasil pembuangan Kota Bandung dilakukan di Desa Bojongsari, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung. Instalasi pengolahan dilakukan di atas lahan milik Pemkab Bandung seluas 85 ha.

Kabupaten Bandung Usulkan Pengembangan Kotabaru Tegalluar

Sumber : admintaru_100609



Jakarta – Pemerintah Kabupaten Bandung saat ini telah menyelesaikan penyusunan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) Kota Tegalluar. Pada lokasi tersebut pemerintah Kabupaten Bandung memiliki rencana untuk membuat danau buatan yang akan difungsikan sebagai kawasan resapan air untuk wilayah Bandung Timur. Kawasan sekitar danau tersebut direncanakan akan digunakan untuk pariwisata, permukiman, dan industri non polutan. Demikian disampaikan Tubagus Raditya selaku ketua Tim DPRD Kabupaten Bandung dalam acara kunjungan ke Departemen Pekerjaan Umum (4/6).

Sehubungan dengan hal tersebut, Firman M. Hutapea mewakili Direktur Penataan Ruang Wilayah II menyampaikan bahwa DPRD Kabupaten Bandung perlu mengevaluasi dengan cermat apakah RDTR yang disusun sudah sejalan dengan kebijakan Tencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Barat, yang antara lain menetapkan Kota Tegalluar sebagai pusat kegiatan industri dan pariwisata. Firman juga menambahkan, DPRD juga perlu mengevaluasi apakah sudah terdapat kegiatan-kegiatan lain untuk penunjang kegiatan industri dan pariwisata yang direncanakan.

Lebih lanjut Firman mengungkapkan bahwa Rencana Tata Ruang, baik untuk RTRW maupun RDTR, perlu disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD sebelum dimintakan persetujuan substansi ke provinsi maupun pusat. 

”Jika pemerintah daerah dan DPRD belum sepakat, dikhawatirkan pada saat akan disahkan menjadi Perda, RTRW maupun RDTR tersebut masih akan berubah-ubah lagi. Hal tersebut dapat memperlama proses pengesahan Perda RTRW maupun RDTR. Terlebih lagi, Tegalluar merupakan kawasan yang cepat berkembang sehingga perlu segera dibuat payung hukum untuk perijinan pemanfaatan lahan di kawasan tersebut”, ujarnya menambahkan.

Firman juga mengungkapkan, di dalam RDTR juga harus sudah direncanakan jaringan utilitas lingkungan meliputi jaringan air bersih, listrik, air buangan, drainase, dan sebagainya. ”Terkait hal tersebut, perlu diyakini bahwa sudah ada komitmen kesanggupan dari instansi terkait, misalnya : PDAM, PLN, DPU Bina Marga, dsb”, ujar Firman menegaskan.

Pada kesempatan yang sama, Kepala Seksi Pembinaan Rencana Tata Ruang Kabupaten Linda Muniarty mengingatkan bahwa penetapan KDB dan KLB harus disesuaikan dengan daya dukung lingkungan di kawasan tersebut. Ia menambahkan bahwa tutupan lahan untuk kawasan industri tidak boleh sampai mengganggu fungsi peresapan air. 

Selain itu, zoning regulation sempadan danau juga harus benar-benar diperhatikan. ”Jangan sampai terulang peristiwa seperti bencana Situ Gintung”, ujar Linda menegaskan. (wrd/djw)
Untuk Pendidikan, Kesehatan, dan Lingkungan Hidup BJB Soreang Kucurkan Rp 4,1 M untuk CSR  

Selasa, 28 April 2009 

  Bank Jabar Banten (BJB) Cabang Soreang tahun ini mengalokasikan dana sebesar Rp 4,1 miliar untuk program community social responsibility (CSR) bagi warga Kab. Bandung. Dana tersebut dikhususkan untuk bidang pendidikan, kesehatan, dan lingkungan hidup.

  Pimpinan BJB Cabang Soreang, Agus Riswanto saat ditemui, usai rapat kerja dengan DPRD Kab. Bandung, Senin (27/4) mengatakan, alokasi dana sebesar itu telah disiapkan sesuai perhitungan laba yang diperoleh BJB Cabang Soreang. Tahun ini yang pertama kali, tahun-tahun sebelumnya dilakukan, hanya saja namanya sumbangan.

  Dijelaskan Agus, peruntukan dana CSR tersebut sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah. Pemerintah daerah minta untuk dialokasikan ke mana kita tunggu, hanya saja penyalurannya kita fokuskan pada tiga hal, yaitu pendidikan, kesehatan, dan lingkungan hidup.

  Sementara itu, anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung, Asep Anwar Mahfudin mengatakan, meskipun banyak perusahaan di Kab. Bandung, namun belum semuanya melaksanakan program CSR. Program ini seharusnya kewajiban perusahaan sebagai tanggung jawab terhadap lingkungan sekitar. 

  Anggota Komisi B lainnya, Tubagus Raditya mengatakan, apa yang dilakukan BJB Cabang Soreang diharapkan menjadi lokomotif bagi perusahaan-perusahaan lain yang ada di Kab. Bandung. Apa yang dilakukan ini seharusnya bisa ditiru perusahaan lain, karena meskipun CSR itu kewajiban perusahaan, kita menengarai masih banyak perusahaan yang belum melakukannya.

  Ditambahkannya, DPRD menyarankan agar dalam menyalurkan dana tersebut, dibentuk sebuah forum yang terdiri atas berbagai elemen masyarakat. Dana tetap dipegang bank, sementara untuk menyalurkannya melalui forum tersebut dengan program yang diusulkan sesuai kebutuhan masyarakat. 

 

Sumber : Harian Umum Galamedia, Selasa 28 April 2009
Aset-aset Pemkab Perlu Segera Ditata  

Selasa, 12 Mei 2009 

  Pemerintah Kabupaten Bandung perlu segera menata kembali aset-aset yang dimiliki agar tidak jatuh ke pihak-pihak lain. 

  Dari hasil appraisal (penilaian aset), per 31 Desember 2007 Pemkab Bandung memiliki aset tetap senilai Rp 3,343 triliun, kata anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung, Tubagus Raditya, Senin (11/5). Aset-aset itu terdiri atas tanah Rp 681,31 miliar, peralatan dan mesin Rp 188,59 miliar, dan gedung/bangunan Rp 1.063 triliun. Aset lainnya berupa jalan, irigasi, dan jaringannya senilai Rp 1,288 triliun, aset tetap lainnya Rp 78,107 miliar, dan konstruksi dalam pengerjaan Rp 42,765 miliar.

  Namun, Raditya mengatakan, dari hasil pemeriksaan terhadap dokumen barang milik Pemkab Bandung, ada beberapa masalah akibat ketidaktertiban dalam pengelolaan barang milik daerah. Misalnya, laporan dari appraisal tidak diteruskan kepada seluruh satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) sebagai penguasa aset sehingga masing-masing SKPD tidak mengetahui nilai aset-asetnya.

  Pemkab Bandung juga tidak memiliki data mutasi horisontal antar-SKPD berupa perpindahan aset dari satu SKPD satu ke SKPD yang lain. Apalagi beberapa kali terjadi perubahan struktur organisasi tata kerja (SOTK) Pemkab Bandung.

  Selain itu, tidak sedikit aset daerah yang belum dinilai pada saat appraisal, seperti 187 mobil dan sepeda motor. Pada 10 SKPD, terdapat aset berupa 10 mobil, 26 sepeda motor, dan 10 bidang tanah yang tercatat di kartu inventaris barang (KIB) SKPD, tetapi tidak tercantum dalam laporan appraisal.

  Demikian pula hasil penelitian appraisal ternyata tidak tercantum dalam KIB SKPD. Tidak terdapat catatan yang dapat menjelaskan keberadaan barang-barang tersebut. Menurut Raditya, ketidaktertiban pengelolaan aset-aset daerah itu antara lain disebabkan oleh luasnya wilayah, keterbatasan SDM serta sarana dan prasarana penunjang. Akibatnya, fungsi pengamanan barang milik daerah baik secara administrasi, pengamanan fisik maupun hukum belum biasa dilaksanakan secara optimal.

 

Sumber : Harian Umum Pikiran Rakyat, Selasa 12 Mei 2009

Warga Mengeluhkan Bau tidak Sedap IPAL Bojongsoang  

Senin, 08 Juni 2009 


Warga Desa Bojongsoang dan Bojongsari, Kec. Bojongsoang, Kab. Bandung, mengeluhkan dampak pengoperasian instalasi pengolahan air limbah (IPAL) milik Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Bandung. Warga mengeluhkan bau tak sedap dan tercemarnya air sumur, terutama di RW 10 Desa Bojongsari.  

  Kalau sedang musim halodo (kemarau.) bau tak sedap amat mengganggu. IPAL Bojongsoang mengolah air kotor kiriman warga Kota Bandung, kata warga Desa Bojongsoang, Anas, Minggu (7/6). Kepala Desa Bojongsari, Ujang Ruhiat, mengakui banyaknya keluhan terhadap bau menyengat dari IPAL ketika musim kemarau. Bau itu sebagai akibat dari pengolahan air kotor rumah tangga ataupun kotoran manusia dari Kota Bandung yang bermuara ke IPAL Bojongsoang.

  Selain itu, sebagian warga RW 10 yang sumurnya berada paling dekat dengan IPAL mengeluhkan air sumurnya bau. Meski warnanya terlihat jernih, tetapi muncul bau kurang sedap. Kami belum bisa memastikan mutu air sumur warga apakah layak konsumsi atau tidak, sebab harus ada penelitian.

  Keluhan lainnya adalah rusaknya Jln. Kampung Lembang Kuntit sepanjang sekitar delapan ratus meter dan lebar tiga meter yang mengelilingi kawasan IPAL. Jalan itu merupakan akses warga dari Bojongsari menuju Bojongsoang. Pengelola IPAL sudah menyerahkan penanganan jalan itu ke pihak desa, tetapi terlalu berat kalau mengandalkan dana desa.

  Dari hasil penelitian mahasiswa Program Studi Teknik Lingkungan ITB pada tahun 2006 diketahui sistem pengolahan air limbah di IPAL Bojongsoang terhitung konvensional. Hanya mengadalkan proses alami, tanpa bantuan teknologi yang rumit dan bantuan bahan kimia. IPAL seluas 85 hektare ini mengolah air limbah melalui dua proses utama, yaitu proses fisik dan biologi. Proses fisik memisahkan air limbah dari sampah-sampah, pasir, dan padatan lainnya sehingga proses pengolahan biologi tidak terganggu. 

  Salah satu permasalahan yang dialami adalah IPAL Bojongsoang hanya didesain untuk mengolah air limbah rumah tangga. Kenyataannya, IPAL ini sering menerima air limbah yang berasal dari industri kecil dan industri rumah tangga yang tidak memiliki IPAL mandiri dan langsung membuang air limbahnya ke IPAL Bojongsoang.

  Anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung, H. Tubagus Raditya mengatakan, saat ini dengan bantuan pemerintah pusat sedang dibangun jaringan pipa air kotor sehingga air kotor Kota Bandung seluruhnya masuk ke IPAL Bojongsoang. Sebelumnya, IPAL itu baru menangani air limbah dari wilayah Bandung Timur dan Bandung Tengah bagian selatan. Dari kapasitas pengolahan 80.000 meter kubik/hari baru menangani setengahnya.

  Komisi B meminta PDAM Kota Bandung untuk menangani persoalan dampak samping IPAL dan memberikan kontribusi kepada kas daerah. Dari penuturan warga dan aparat desa, ternyata kontribusinya baru sebatas pemberian makanan tambahan kepada balita, pengobatan gratis, dan sumbangan insidental hari-hari besar.

  

Sumber : Harian Umum Pikiran Rakyat, Senin 8 Juni 2009
Perda Pasar Butuh Peraturan Bupati  

Selasa, 23 Juni 2009 

  Sejumlah peraturan daerah (perda) menjadi "macan kertas" akibat belum adanya peraturan bupati (perbup), sebagai petunjuk pelaksanaannya. Salah satunya adalah perda pengaturan, pembinaan, dan pembangunan pasar sebagai solusi penataan pasar tradisional dan pasar modern di Kab. Bandung.

  Perda pasar merupakan inisiatif anggota DPRD Kab. Bandung, yang dibahas pada akhir 2008 dan disahkan Januari 2009 lalu. Namun, sampai kini baru sebatas macan kertas, karena tidak ada aturan pelaksanaannya, kata anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung H. Tubagus Raditya, Senin (22/6).

  Selain perda pasar, perda diniyah takmiliyah yang disahkan Oktober 2008 juga belum memiliki perbup. Seharusnya, wajib diniyah takmiliyah berjalan tahun ajaran 2009/2010, tetapi diundur akibat belum ada perbup, kata Kasi Pekapontren Kandepag Kab. Bandung H. Sjavrizal Rivai.

  Perbup pasar harus segera dikeluarkan, agar penataan pasar-pasar bisa secepatnya dilakukan. Sudah lama pasar-pasar tradisional di Kab. Bandung tidak tertata dengan baik. Kondisi pasar tradisional memprihatinkan. Sebab kumuh, penuh sampah, rawan kebakaran, sehingga ditinggalkan pembeli.

  Dalam perda pasar, kata Raditya, ditekankan pentingnya pengelolaan pasar dari, oleh, dan untuk para pedagang melalui koperasi pasar. Dengan demikian, para pedagang merasa ikut memiliki pasar tersebut. Sedangkan Pemkab Bandung sebatas fasilitator dan regulator pasar. Koperasi pasar bersama para pedagang bisa berunding untuk merencanakan pembangunan kembali pasar.

  Apabila modal untuk merehabilitasi pasar tidak mencukupi, koperasi bisa menggandeng pihak perbankan. Saya merasa yakin, bank akan membantu para pedagang, karena kredit kepemilikan kios rata-rata berjalan lancar seiring perputaran uang di pasar. Kalau pasar-pasar sudah tertata dengan baik, maka pembeli pun akan datang dengan sendiri.

  

Sumber : Harian Umum Pikiran Rakyat, Selasa 23 Juni 2009
Pemkab Harus Kreatif Menggali Potensi PAD  

Selasa, 16 Juni 2009 

  Untuk mengatasi keterbatasan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), Pemkab Bandung seharusnya lebih kreatif dalam menggali sumber-sumber pendapatan. Salah satu sumber pendapatan potensial adalah dari bagi hasil Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung, H. Tubagus Raditya mengatakan Banyak pengusaha kelas menengah dan besar yang memiliki pabrik di Kab. Bandung, namun membayar pajaknya ke DKI Jakarta atau Kota Bandung.

Menurut Raditya, sejak lama para pengusaha yang memiliki pabrik di Kab. Bandung membayarkan PPh pasal 21, PPh pasal 23, dan PPN ke kantor pajak di luar Kab. Bandung. Kalau kantor pusat pabriknya di Jakarta, para pengusaha membayarkan pajaknya ke Jakarta. Tidak sedikit pula pengusaha yang pabriknya di Kab. Bandung, namun tinggal di Kota Bandung sehingga membayar pajaknya di Kota Bandung.

Dengan UU Pajak No. 28/ 2007, pemerintah pusat akan menyerahkan bagi hasil pajak berdasarkan nomor kode yang ada di kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Tiap kartu NPWP dilengkapi dengan nomor kode tempat tinggal wajib pajak tersebut. Nantinya bagi hasil pajak berdasarkan kode wilayah NPWP.

Kota Cilegon, Banten, kata Raditya, berhasil mendapatkan pendapatan baru sebesar Rp 40 miliar karena mengalihkan kode wilayah NPWP ke kode Cilegon. Wajib pajak bisa membayar pajaknya di mana pun, tetapi kode wilayahnya sudah Cilegon sesuai dengan lokasi pabriknya. Wajib pajak tidak terkena pajak ganda karena kode NPWP-nya diubah.

Dengan cara seperti itu, kata Raditya, pengusaha yang tinggal di luar Kota Cilegon, namun pabriknya di Cilegon tidak keberatan kode NPWP-nya diubah. Akhirnya Kota Cilegon memperoleh pendapatan sampai Rp 40 miliar. Pemkab Bandung bisa meniru Kota Cilegon dengan melakukan pendekatan ke kantor-kantor pajak. 

Meski begitu, Raditya menyayangkan, tidak ada satu pun kantor pajak yang berada di wilayah Kab. Bandung. Namanya Kantor Pajak Majalaya, tetapi lokasi kantornya di Jln. Lingkar Selatan, Kota Bandung, untuk melayani warga Kab. Bandung di daerah timur dan utara. Warga Kab. Bandung di wilayah tengah dan selatan dilayani kantor pajak di Cimareme, Kab. Bandung Barat.

Sumber : Harian Umum Pikiran Rakyat, Edisi Selasa 16 Juni 2009 

Lelang Projek Kurang Transparan Sekda, "Tahun Depan, Lelang Dilakukan Secara Online"  

Jumat, 19 Juni 2009 

  Kabupaten Bandung sampai kini belum menerapkan proses lelang secara online (e-procurement) sehingga tertinggal dengan proses lelang di kabupaten/kota lainnya. Kondisi tersebut juga dinilai rawan tindak korupsi akibat proses lelang kurang transparan.

  Sekretaris Daerah (Sekda) Kab. Bandung, Ir. H. Sofian Nataprawira membenarkan, sampai saat ini Pemkab Bandung belum menerapkan lelang online seperti yang telah dilakukan Pemprov Jabar dan kabupaten/kota lainnya.Kami berencana membuat lelang online tahun depan, kata Sofian seusai sosialisasi lelang online dan e-government, di Bale Sawala Pemkab Bandung, Soreang, Rabu (17/6).

  Namun, ia membantah apabila proses lelang berjalan tertutup akibat belum adanya lelang online. Kami sudah mengumumkan keberadaan projek-projek jalan, jembatan, dan lain-lain melalui media massa Jakarta maupun Jawa Barat. Para pengusaha dari Kab. Bandung maupun daerah-daerah lainnya di seluruh Indonesia bisa mengikuti lelang.

  Sementara itu, Kepala Dinas Bina Marga Kab. Bandung Sofian Sulaeman mengatakan, dari 41 paket projek jembatan tahun 2009, sebanyak 34 paket projek di antaranya dimenangkan pengusaha Kab. Bandung. Sedangkan untuk projek jalan, 45 paket sudah ada pemenangnya, tetapi belum kami rekap sehingga belum diketahui asal pengusahanya. Namun tidak benar kalau pemenang lelang sebagian besar dari luar Kab. Bandung. 

  Belum transparannya proses lelang juga dikeluhkan Ketua DPRD Kab. Bandung, H. Agus Yasmin sehingga ia mengirim surat kepada Pemkab Bandung. Dalam surat No. 170/ 597/Hukum tertanggal 15 Juni 2009, Agus Yasmin, meminta agar pelaksanaan lelang dilakukan sesuai dengan Keppres No. 80/2003.

  Lelang juga harus dibuka kepada masyarakat sehingga terjamin transparansinya, apalagi Kab. Bandung memiliki Perda No. 6/2004 tentang transparansi dan partisipasi dalam pembangunan. DPRD Kab. Bandung juga mengimbau agar dalam penentuan pemenang tender tidak hanya berpedoman kepada harga penawaran terendah, tetapi kualitas dan waktu pelaksanaan. Sementara itu, bagi perusahaan yang kalah tender agar mendapatkan penjelasan sehingga tidak memunculkan masalah.

  Anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung, Tubagus Raditya mengatakan, adanya surat dari ketua DPRD Kab. Bandung yang sifatnya penting bisa diartikan ada dugaan penyimpangan dalam proses tender. Tender merupakan proses krusial dalam pembangunan Kab. Bandung sehingga harus benar-benar dipilih kontraktor yang baik kualitasnya.

  Raditya mensinyalir pemenang tender, terutama pekerjaan jalan dan jembatan, didominasi pengusaha dari luar Kab. Bandung. Padahal, kalau pemenangnya pengusaha Kab. Bandung bisa berdampak banyak untuk penerimaan pajak dan penyerapan tenaga kerja lokal.

disadur dari Pikiran Rakyat

H. Tubagus Raditya Indrajaya
Dewan Harus Melek Iptek

KAHATUR, sampurasun, assalamuallaikum warahmatullah wabarakatuh. Pun sapun neda paralun, ka karuhun luluhur Bandung, luluhur jalan rundayan, palias ngaluluhuran, ka sasaka sukapura, amit neda pangampura, kanu calik neda suka, bade miwuruk mitutur, ka nu nembe janten wakil rahayat.

Itulah penggalan pesan dalam bahasa Sunda yang ditulis seorang anggota DPRD Kab. Bandung, H. Tubagus Raditya Indrajaya, ketika kita membuka blog miliknya di www.tubagusraditya.co.cc. Sebuah bentuk permohonan restu untuk mengemban tugas sebagai wakil rakyat di lembaga legislatif.

Pria kelahiran Bandung, 5 Juni 1973 ini menjadi anggota DPRD Kab. Bandung sebagai pengganti antarwaktu (PAW) dari Partai Golkar pada November 2007. Saat itu, beberapa anggota dewan dari partai tersebut ada yang berpindah ke DPRD Kab. Bandung Barat, sesuai amanat undang-undang pemekaran wilayah. 

Kendati datang "paruh waktu" ke lembaga yang terhormat tersebut, namun keberadaannya cukup membawa angin perubahan terhadap kinerja para anggota dewan lainnya. Contoh kecil saat dirinya belum lama dilantik sebagai anggota dewan PAW, sebuah usulan yang selama ini seperti tidak pernah terpikirkan muncul, yaitu membuka jaringan internet hot spot.

"Siapa pun tidak bisa menghindari kemajuan teknologi, termasuk kebutuhan akan internet. Karena itu, untuk mendukung kinerja di Gedung DPRD, harus segera ada jaringan internet yang bisa dikases siapa pun," kata bapak dua anak ini saat itu kepada "GM".

Tak heran setelah gagasannya tersebut dipenuhi, tidak sedikit dari para anggota dewan Kab. Bandung yang sebelumnya gagap teknologi (gaptek), berlomba belajar menguasai teknologi tersebut.

"Alhamdulillah, meski bukan maksud untuk menyombongkan diri, hampir semua anggota dewan kini memiliki blog sendiri. Bahkan tidak ketinggalan saling berinteraksi melalui facebook," papar suami dari Nia Kurniasih ini.

Bagi Raditya, blog adalah sarana untuk menyampaikan apa yang telah dilakukannya selama menjadi anggota dewan sebagai bentuk "pertanggungjawaban" kepada masyarakat.

"Saya pun sudah minta izin kepada rekan-rekan wartawan agar statement saya yang dimuat di surat kabar disimpan dalam blog agar bisa diakses siapa pun," katanya.

Kini setelah tidak terpilih kembali menjadi anggota DPRD periode 2009-2014, ia mengaku akan kembali menekuni pekerjaannya sebagai wiraswastawan. 

"Meski begitu saya tetap akan mendukung rekan-rekan lainnya demi kemajuan Kabupaten Bandung," tandasnya. (rano n. anwar/"GM")**

Jumat, April 03, 2009

KESEJAHTERAAN GURU HARUS DIUTAMAKAN

     Guru merupakan figur yang menjadi contoh bagi semua generasi muda. Guru dapat secara langsung memberikan kesejahteraan bagi negeri ini dengan mencetak generasi muda yang berpendidikan baik dan memiliki ilmu untuk membangun negeri. Dengan demikian, peran guru dalam pembangunan Indonesia sangatlah penting dan semua yang berkaitan dengan guru harus mendapatkan prioritas dari negara.

   Raditya mengaku sangat beruntung dilahirkan dari rahim seorang guru yang telah membesarkannya hingga sekarang. Figur seorang guru yang dilihat Raditya pada ibunda kandungnya merupakan sebuah realita yang ia lihat sehari-hari.

     Sayangnya, nasib guru yang jelas-jelas dapat memberikan sumbangsih nyata bagi kemajuan bangsa justru dipandang sebelah mata oleh pemerintah saat ini. Raditya melihat dengan jelas, banyak guru yang tergadaikan penghasilannya oleh jeratan kredit konsumtif berbunga tinggi baik dari bank pemerintah maupun bank perkreditan rakyat (BPR). Ia khawatir, jika perhatian guru bercabang dengan kebutuhan hidupnya, maka guru tak akan fokus dalam menjalankan tugas utamanya yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

     Guru, utamanya yang telah berstatus pegawai negeri sipil (PNS), seharusnya mendapatkan perhatian dari pemerintah yang ekstra tinggi. Selain penghasilan yang besar, juga berbagai kebutuhan hidupnya dipenuhi. Pemerintah juga seharusnya membuat sebuah regulasi yang mengatur agar penghasilan guru tak semuanya dapat digadaikan untuk pinjaman kredit. Difungsikannya kembali koperasi guru atau bank guru adalah bentuk ideal yang seharusnya dilakukan.

     Raditya melihat, kecenderungan saat ini yaitu banyaknya guru yang terlilit oleh jeratan kredit konsumtif, misalnya yang ditawarkan oleh Bank Jabar atau sejumlah BPR di Kabupaten Bandung. Cara pemasaran yang sangat gencar oleh mereka banyak membuat para guru tergiur untuk mengambil fasilitas kredit konsumtif itu tanpa memperhatikan dampak susulannya. Secara tak sadar, bunga tinggi yang dipatok bank akan sangat membebani para guru yang dipotong gajinya setiap bulan. Selama ini, tak ada regulasi yang mengatur tentang kelayakan gaji guru setelah dipotong cicilan kredit, hingga kenyataan di lapangan banyak guru yang ketar-ketir untuk menutup kebutuhan sehari-harinya.
     Seperti para PNS Kabupaten Bandung lainnya, kebanyakan guru “menyekolahkan” SK-nya di Bank Jabar atau sejumlah BPR untuk mendapatkan fasilitas kredit. Sayangnya, kredit itu bukanlah kredit usaha yang dapat menghasilkan keuntungan, melainkan untuk kebutuhan konsumtif seperti membeli kendaraan bermotor, memperbaiki rumah, biaya anak sekolah, dan lain-lain. 

     Celakanya, bank justru mematok bunga tinggi untuk kredit itu. Padahal, seharusnya bank mematok bunga rendah karena tingkat pengembalian kredit sangat tinggi dan pasti dengan tingkat risiko yang rendah karena setiap bulan para PNS pasti mendapatkan gajinya. Penunjukkan salah satu bank oleh pemerintah daerah juga menjadikan tak adanya persaingan yang sehat dengan bank lain hingga tingkat suku bunga tak pernah menurun. Keadaan ini akan sangat merugikan guru sebagai nasabah.

     Jika hal itu dibiarkan, maka tak akan menutup kemungkinan akan tercipta sebuah fenomena “corruption by need” atau tindakan korupsi yang disebabkan oleh mendesaknya kebutuhan sehari-hari. Guru tak akan fokus lagi dalam memberikan pengajaran kepada anak didiknya karena juga harus memikirkan penghasilan tambahan. Tak sedikit, guru yang harus memberikan les atau pelajaran tambahan kepada murid yang sebenarnya ingin mencari penghasilan tambahan. Tindakan ini, membuat para guru honorer dikedepankan dalam memberikan pengajaran meski tak sesuai porsinya. Kualitas pengajaran hampir dipastikan akan mengalami penurunan jika fenomena ini nyata terjadi.

    Raditya sama sekali tak menilai bahwa guru tak berhak atas sejumlah fasilitas kredit konsumtif itu. Minimnya penghasilan guru, akan membuat mereka berpikir keras untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari di tengah semakin tingginya harga-harga sekarang. Raditya hanya menilai ada sesuatu yang salah dengan fenomena ini. Seharusnya, guru diberikan fasilitas kredit lunak tanpa harus dibebani bunga tinggi. Selain itu, sudah seharusnya ada aturan yang menghitung agar tak semua gaji guru tergadaikan untuk membayar cicilan.

     Terdapat beberapa alternatif solusi untuk memecahkan masalah ini. Salah satunya berupa penetapan bunga rendah oleh bank untuk guru. Selain itu, payroll penghasilan guru langsung diberikan pada individu-individu guru. Biarkan guru memutuskan sendiri fasilitas pinjaman yang akan diambilnya. Raditya juga menyarankan, seharusnya tak hanya Bank Jabar yang diberikan wewenangnya oleh pemerintah daerah untuk mengelola gaji guru ini. Semua ini terkesan seperti sebuah monopoli. Seharusnya juga diberikan peluang untuk bank-bank lain. Jika dilakukan, efeknya, akan terjadi sebuah persaingan yang kompetitif antarbank dan guru sebagai nasabah yang akan diuntungkan karena setiap bank akan berlomba mematok bunga rendah untuk menarik hati nasabah.

     Satu solusi yang dinilai akan sangat efektif, menurut Raditya, yakni optimalisasi kembali koperasi guru yang selama ini terkesan mati suri. Keberadaan koperasi, khususnya koperasi guru, saat ini tergencet oleh banyak bermunculannya BPR dan institusi simpan pinjam lain yang menggurita di tengah masyarakat. Teknik pemasaran mereka yang gencar seakan mengelabui masyarakat dengan kenyataan yang ada berupa bunga yang tinggi. Koperasi yang berasaskan kekeluargaan akan memberikan kemudahan bagi guru untuk mengelola uang mereka sendiri. Alih-alih dibebani bunga yang tinggi seperti di bank, maka guru akan mendapatkan keuntungan dengan sisa hasil usaha yang akan didapat anggota secara berkala. Tinggal sekarang, para pengelolanya yang harus memiliki pengetahuan manajerial yang baik, jujur, serta dipercaya oleh anggota koperasi guru yang lain.

     Pembentukan bank guru adalah bentuk lain selain koperasi yang dirasa ideal. Raditya menilai, bank guru akan memberikan kemudahan bagi guru yang membutuhkan biaya tambahan tanpa terjerat oleh ancaman bunga yang tinggi.*


Sabtu, Maret 28, 2009

Pembangunan Dibiayai Uang Rakyat

Asas Manajerial Pemerintahan


          Sebuah negara seharusnya diperlakukan layaknya sebuah perusahaan. Namun, bukan dalam hal mencari keuntungan sebesar-besarnya yang dapat diraih dari uang masyarakat, melainkan dalam hal manajerial pemerintahan. Jika saja manajerial pemerintahan dilakukan oleh seorang manajer handal yang dapat mengendalikan aparat pemerintah dan wilayah layaknya mengelola perusahaan, maka hampir dipastikan daerah itu akan maju dan menyejahterakan seluruh masyarakatnya.

          Masalah keuangan adalah hal penting yang seharsnya dapat dipahami seluruh aparat negara dalam pemerintahan. Semua uang yang digunakan untuk pembangunan bahkan menggaji seluruh aparat pemerintahan pada hakikatnya adalah uang rakyat. Satu hal yang selalu dianggap salah kaprah dalam kenyataannya. Karena menganggap uang yang datang jatuh dari langit atau nenek moyangnya, maka tak heran banyak aparat negara yang menyalahgunakan keuangan negara. Masyarakat sebagai penyandang dana pembangunan pun dilupakan hingga sasaran pembangunan untuk menyejahterakan masyarakat tak tercapai.
          Sebagai contoh nyata, Raditya memberikan salah satu contoh penggunaan uang rakyat oleh aparat yang justru akan mengiris perasaan masyarakatnya sendiri. Pertangahan Desember 2008 lalu, ia sempat memberikan usulan kepada Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan (DPPK) Kab. Bandung untuk melakukan rasionalisasi biaya makan dan minum semua SKPD di Pemerintahan Kabupaten Bandung. Seperti diketahui, biaya hanya untuk makan minum seluruh SKPD dapat mencapai miliaran rupiah.
          Raditya menilai dana makan minum yang diajukan dalam rancangan APBD 2009 itu sebenarnya dapat ditekan 15% hingga 20%. Ia bahkan memberikan usulan agar menetapkan standar harga yang sama dan yang berlaku di pasaran agara efisiensi dapat dilakukan. Ia yakin efisiensi dapat dilakukan dan dana bisa dialokasikan untuk belanja modal serta dapat dikurangi belanja langsung sub-belanja barang dan jasa. Dengan demikian, belanja modal yang berhubungan dengan program di masyarakat diharapkan bisa meningkat dengan rasionalisasi itu. Khususnya tentang manajerial pemerintahan, Raditya memberikan perumpamaan yang seharusnya dipahami oleh seluruh komponen masyarakat, terutama pejabat pemerintahan.
Berikut adalah perumpamaan itu:
         
          Pemerintahan daerah adalah sebuah perusahaan induk. Perusahaan itu bersifat terbuka dan bergerak dalam bidang pelayanan dan informasi yang menjadi bisnis intinya (core bussiness). Saham dari perusahaan ini seluruhnya dimiliki oleh masyarakat. Dengan demikian, masyarakat bersifat sebagai stakeholders dalam perusahaan besar ini. Segala produk perusahaan yang menyediakan pelayanan dan informasi itu dilakukan untuk kepentingan para pemilik sahamnya. 
Kepala daerah adalah CEO dari perusahaan itu. Sementara, seluruh anggota DPRD adalah komisaris perusahaan. Untuk menampung semua aspirasi stakeholders maka CEO akan bergantung pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapeda) yang menjadi Research and Development (R&D) perusahaan itu. 
         
          Raditya menilai, struktur perusahaan ini sangat logis jika diterapkan dalam pemerintahan. Sebenarnya, tak ada belitan birokrasi yang melelahkan nalar masyarakat selama ini jika dijalankan dengan benat. Ia bahkan tak habis pikir jika banyak pejabat pemerintahan yang sama sekali tak mengutamakan kepentingan masyarakat dalam pelayanan yang sudah seharusnya dilakukan mereka. Masyarakat yang telah menyisihkan uangnya untuk jalannya pembangunan, bahkan menggai seluruh aparat pemerintahan, sudah seharusnya ditempatkan pada posisi yang tinggi, melebihi kepentingan pribadi dan golongannya.
         
          Lalu, apa yang selama ini terjadi? Raditya melihat adanya kerancuan. Pemerintahan sekarang terlihat cenderung tertutup. Para pejabat pemerintahan selalu menginginkan rakyat yang harus melayani kepentingan mereka hingga tak berani melakukan pembaruan dengan cara mengubah sistem birokrasi menjadi lebih terbuka dan transparan dalam hal apapun. 
Salah satunya mekanisme rapat umum pemegang saham (RUPS) yang seharusnya dilakukan oleh pengelola pemerintahan. CEO harus memberikan pertanggungjawaban atas jalannya perusahaan yang telah dipercayakan oleh stakeholders dalam bentuk RUPS tersebut. RUPS harus dilaksanakan secara terbuka dan dapat diketahui oleh seluruh masyarakat selaku pemegang saham pembangunan. Karena belum ada mekanisme yang mengatur masalah itu, maka seharusnya kepala daerah berinisiatif untuk melakukan survei kepuasan masyarakat. Tujuannya hanya satu: sejauh mana masyarakat dapat terlayani dengan baik oleh pemerintah yang diberikan amanat untuk mengelola keuangan mereka?
          Raditya menganalisis, yang tejadi selama ini adalah stakeholders sudah tak merasa memiliki lagi perusahaan yang telah ia biayai karena salah kaprah para pengelola perusahaannya. Dalam artian, masyarakat sudah tak lagi mempunyai rasa memiliki pemerintahannya sendiri. Salah satu alasannya yaitu masyarakat tak mengetahui sejauh mana yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam melayani keinginan mereka.
Raditya sadar, masyakakat yang harus dilayani oleh pemerintah terdiri dari banyak sekali kelompok dan golongan. Adalah sebuah perbuatan mustahil jika semua keinginan dan kepentingan seluruh kelompok dan golongan itu dapat terlayani dengan optimal. Namun, minimal, apa yang dilakukan oleh pemerintah dapat memberikan manfaat bagi kebanyakan masyarakat yang menjadi stakeholdersnya.
Khususunya di Pemerintah Kabupaten Bandung, Raditya menilai, saat ini memerlukan seorang General Affair Manager. Tugas manajer ini yang seharusnya dipegang oleh Bagian Humas yaitu dapat mengomunikasikan kepada masyarakat tentang apa-apa saja yang harus dilakukan mereka. Selain itu, juga seharusnya dapat memberikan gambaran kepada masyarakat tentang apa saja yang telah diraih oleh masyarakat.
          Dalam kondisi masyarakat madani, segala keperluan masyarakat dapat dipenuhi oleh pemerintahnya. Sebaliknya, masyarakat juga akan punya rasa memiliki terhadap wilayah dan pemerintahannya. Hal penting lainnya adalah tingkat kepercayaan yang tinggi antara masyarakat dengan pemerintahnya. Kebijakan apapun yang diberlakukan pemerintah akan disambut baik oleh masyarakatnya karena percaya bahwa kebijakan itu akan memberikan keuntungan dan mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakatnya.
 Salah satu contoh negara yang telah menjalankan asas manajerial pemerintahan dengan baik itu adalah Kanada, Jepang, dan Denmark. Mungkin pemerintahan di tanah air, khususnya pemerintahan Kabupaten Bandung, belum dapat mencapai porsi ideal seperti negara-negara tadi. Namun, jika kita tak berbuat dari sekarang, niscaya semua itu hanyalah impian. Sadar akan peran masing-masing adalah sikap tersederhana yang dapat dilakukan untuk melakukan perubahan besar itu.


Minggu, Maret 22, 2009

10 Perusahaan Buang Limbah Sembarangan


SOREANG, (PRLM).- Sampai saat ini Kab. Bandung belum memiliki fasilitas pengolahan limbah B3. Namun, kawasan untuk pengolahan itu sudah disosialisasikan, dan masih menunggu hasil amdal dari Kementerian Lingkungan Hidup.

Anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung Tb. Raditya, Rabu (4/3), mengatakan, akibat belum adanya fasilitas pengolahan limbah B3, banyak perusahaan membuang limbah itu secara sembarangan. Padahal, sanksi yang bisa dikenakan kepada mereka yang membuang mencakup pidana dan administrasi.

“Pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan limbah B3 tidak bisa sembarangan. Semua tahapan itu harus memiliki izin dari Kementerian Lingkungan Hidup,” kata Raditya.

Terhadap pelanggaran aturan limbah B3, Raditya berharap, polisi bisa ikut serta melakukan penegakkan hukum. Pasalnya, pelanggaran aturan limbah B3 adalah pelanggaran terhadap UU lingkungan hidup.

Pekan lalu, inspeksi yang dilakukan bersama antara Komisi C DPRD Kab. Bandung dan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Kab. Bandung menemukan 10 perusahaan yang membuang limbah batu bara sembarangan. Limbah batu bara itu dibuang di sekitar pemukiman penduduk, dan telah mencemari Sungai Citarum.

Sekretaris Komisi C, M. Ikhsan mengatakan, DPRD sudah membuat perda inisiatif tentang pengelolaan limbah. Dengan adanya perda tersebut, diharapkan pembuangan limbah secara sembarangan bisa dihentikan. Perda itu juga akan menentukan sanksi kepada para pelanggarnya. “Yang harus disiapkan adalah bagaimana penegakan hukumnya,” kata Ikhsan.

Sementara itu, Kasubdit B3 BPLH Kab. Bandung, H. Acib mengatakan, kawasan pengolahan limbah B3 sudah disiapkan oleh Pemkab Bandung. Persoalan tata ruang kawasan pengolahan limbah terpadu itu pun sudah diselesaikan. “Sekarang tinggal menunggu amdal dari Kementerian Lingkungan Hidup,” kata Acib. (A-132/A-147)***

Limbah Batu Bara Cemari Citarum
Kabupaten Bandung Tak Punya Pengolah Limbah B3

Bandung - Hingga saat ini Kabupaten Bandung belum memiliki fasilitas pengolahan limbah bahan beracun berbahaya (B3) karena masih menunggu hasil analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dari Kementerian Lingkungan Hidup, padahal sebenarnya kawasan untuk pengolahan itu sudah ada.
Anggota Komisi B DPRD Kabupaten Bandung, Tubagus Raditya, kepada SH di Gedung DPRD Kabupaten Bandung, Soreang, baru-baru ini mengatakan, akibat belum adanya fasilitas pengolahan limbah B3, banyak perusahaan yang membuang limbah itu secara sembarangan. Padahal, mereka bisa terkena sanksi pidana dan administrasi.
“Pengangkutan, penyimpanan dan pengolahan limbah B3 tidak bisa sembarangan. Semua tahapan itu harus memiliki izin dari Kementerian Lingkungan Hidup,” kata Raditya. Ia mengharapkan polisi ikut serta melakukan penegakan hukum, termasuk pelanggaran aturan limbah B3 dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup.
Pekan lalu, inspeksi yang dilakukan DPRD Kabupaten Bandung dan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Kabupaten Bandung menemukan sepuluh perusahaan telah membuang limbah batu bara secara sembarangan. Limbah batu bara itu dibuang di sekitar permukiman penduduk dan Curug Jompong sehingga mencemari Sungai Citarum.
Menurut Raditya, Pemkab Bandung perlu membuat perda inisiatif tentang pengelolaan limbah yang akan menentukan sanksi kepada pelanggarnya. “Pemkab Bandung sudah saatnya memikirkan sanksi yang berat kepada pembuang limbah B3 sembarangan, karena akan berdampak kepada kesehatan masyarakat sekitarnya,” jelas Raditya.
Sementara itu, Kasubdit B3 BPLH Kabupaten Bandung, H Acib, mengatakan kawasan pengolahan limbah B3 sudah disiapkan Pemkab Bandung. Persoalan tata ruang kawasan pengolahan limbah terpadu itu pun sudah diselesaikan. “Sekarang kami tinggal menunggu amdal dari Kementerian Lingkungan Hidup,” lanjutnya.
Dia mengatakan, pengelolaan limbah merupakan persoalan yang kompleks. Walaupun banyak perusahaan di Kabupaten Bandung yang sudah menjadi klien perusahaan pengangkutan dan pengolah limbah berizin, namun masih ada yang tidak melakukan kerja sama itu. “Yang tidak melakukan kerja sama itulah yang diduga melakukan pembuangan limbah sembarangan,” tegas Acib.
Namun, tidak menutup kemungkinan ada juga perusahaan pengangkutan dan pengelolaan limbah berizin yang melakukan pembuangan sembarangan. Jika hal itu terbukti, Pemkab Bandung bisa menjatuhkan sanksi administratif dan merekomendasikan agar izin perusahaan itu dicabut, serta polisi bisa mengusut kasus pidananya. “Kami memiliki keterbatasan untuk melakukan pengawasan secara keseluruhan. Tenaga yang kami miliki terbatas sehingga lebih banyak mengandalkan laporan-laporan dari masyarakat,” ungkap Acib.
Seorang tokoh masyarakat di Banjaran, Kabupaten Bandung, Tio Satria Wirya, mengemukakan masyarakatnya resah dengan banyaknya limbah batu bara yang dibuang serampangan oleh pengusaha di lahan-lahan kosong perkampungannya. “Malah limbah yang masih panas juga mereka buang. Pernah ada seorang anak hangus terbakar kakinya saat menendang-nendang bongkahan limbah sehingga dilarikan ke rumah sakit. Untungnya pengusaha ikut bertanggung jawab,” jelasnya. (saufat endrawan) 

GAKIN DITOLAK RSHS

SOREANG--Seorang warga miskin (gakin) asal Kabupaten Bandung ditolak saat akan berobat ke Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Alasan penolakan dari pihak RSHS dinilai tidak masuk akal.

Pasien gakin ini bernama Yayan Sofyan (33), warga Kampung Bojong Buah, Desa Cilampeni, Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung.''Yayan ditolak dioperasi di RSHS karena permohonannya tidak di acc (ditandatangani,re) direktur RSHS,''ujar Dadi Haryanto, sanak saudara Yayan, saat mengadu ke DPRD Kabupaten Bandung , Selasa (10/3).

Menurut Dadi, lima bulan lalu, Yayan mengalami kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan tulang pinggangnya patah. Saat itu, Yayan pernah dibawa ke bengkel tulang.Tapi, kata dia, kondisi kesehatan Yayan belum juga membaik. Yayan, kata Dadi, saat itu tidak berani memeriksakan diri ke rumah sakit. Pasalnya, Yayan tidak memiliki uang.

Pada akhir Februari lalu, Yayan diantar Dadi, memberanikan diri untuk berobat ke RSHS. Menurut Dadi, Yayan berbekal surat keterangan gakin daerah.

Ditambahkan Dadi, Yayan mendatangi RSHS untuk meminta dilakukannya operasi bedah tulang. Itupun disertai rujukan dari puskesmas dan dukun tulang. Sesampainya disana, Yayan, kata Dadi, diminta oleh petugas di RSHS, mengajukan protokol penandatanganan direktur supaya operasi bisa dilakukan.''Tapi ternyata protokol itu tidak ditandatangani oleh direktur karena direktur tidak menyetujui,''jelas Dadi.

Dalam penjelasannya, kata Dadi, RSHS meminta supaya Yayan terlebih dahulu mencoba melakukan operasi di rumah sakit terdekat. Padahal, kata Dadi, rumah sakit terdekat dengan rumah Yayan adalah RSU Soreang. Sedangkan dari fasilitas, kata dia, RSU Soreang tidak memadai untuk operasi bedah tulang.

Hingga kini, Yayan masih mengalami kesakitan di wilayah sekitar pinggang karena tulangnya masih patah. ''Makanya, kami mengadukan kepada dewan supaya Yayan bisa cepat diperiksa,''jelas Dadi.

Sementara itu, anggota Komisi B DPRD Kabupaten Bandung, Tubagus Raditya, yang menerima pengaduan Yayan dan Dadi, mengaku prihatin dengan kondisi ini.''Dalam satu minggu ini saja, saya sudah dapat dua pengaduan seperti ini,''cetus Raditya.

Menurut Raditya, harusnya RSHS menerima permintaan pengobatan yang dilakukan pasien Gakinda. Selain itu, kata Raditya, dirinya meminta supaya fasilitas kesehatan di RSU Soreang dan rumah sakit milik pmerintah daerah lainnya ditingkatkan kualitasnya. Dengan demikian, kata Raditya, para pasien gakin dari daerah tidak perlu lagi ke RSHS dan mengantri lama untuk memperoleh pengobatan. rfa/kpo

Sabtu, Maret 07, 2009

Banyak Warga yang Belum Kebagian Kompor dan Tabung Gas 3 kg

Pertamina Harus Tuntaskan Konversi


MARGAHAYU,(GM)-
DPRD Kab. Bandung meminta Pertamina untuk tidak menghentikan program konversi minyak tanah ke gas elpiji, sebelum alokasi yang telah diajukan terpenuhi. DPRD mensinyalir masih banyak warga di Kabupaten Bandung yang belum mendapatkan kompor dan tabung gas elpiji program konversi. 

Anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung, Tb. Raditya mengaku telah menerima pengaduan dari warga di wilayah Kecamatan Margahayu yang belum mendapatkan kompor dan tabung gas elpiji program konversi. Karena itu, dewan meminta Pertamina untuk melanjutkan program konversi hingga tuntas. 

"Kami mendapatkan laporan di Kecamatan Margahayu saja ada sekitar 900 kepala keluarga yang sudah diajukan mendapatkan tabung dan kompor gas, namun hingga sekarang belum juga mendapatkan," kata Raditya kepada "GM", Jumat (6/3). 

Sebelumnya, lanjut Raditya, masih ada sekitar 7 kecamatan di Kabupaten Bandung yang warganya belum semua mendapatkan kompensasi dari program pemerintah tersebut. Sebelum memutuskan untuk menghentikan program konversi di suatu wilayah, Pertamina hendaknya harus memastikan bila apa yang dilakukan telah benar-benar dituntaskan. 

"Setidaknya Pertamina dengan aparat pemerintah setempat saling berkoordinasi karena masih sering terjadi perbedaan antara data dengan kondisi di lapangan," terangnya.

Raditya juga mempertanyakan program pemberian kompor gas bagi para pelaku usaha kecil dan menengah. Para pedagang harus diberikan jenis kompor berbeda dengan rumah tangga, sesuai dengan mobilitas mereka saat menjalankan usahanya. 

"Bila jenis kompor yang digunakan sama dengan rumah tangga, kondisinya akan memberatkan. Di samping juga tidak efisien," ungkap Raditya.

Agar semua berjalan tepat sasaran, lanjut Raditya, pendataan harus melibatkan pemerintah setempat sehingga tidak terjadi kembali penyaluran yang tidak sesuai sasarannya. "Cukup banyak pelaku UKM yang membutuhkan sehingga jangan sampai terhambat penyalurannya," tambah Raditya.

Dihubungi terpisah Camat Dayeuhkolot, Drs. Tata Irawan mengakui, masih ada warganya yang belum mendapatkan kompensasi program tersebut. "Di atas kertas memang dinyatakan sudah selesai. Tapi di lapangan masih ada yang belum. Kecamatan Dayeuhkolot sendiri mendapatkan jatah sekitar 2.500 kepala keluarga penerima," tuturnya. (B.89)**

Rabu, Maret 04, 2009

Koordinasi PPJU Diberikan pada Pemda

DIPONEGORO,(GM)-
PLN memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah daerah untuk melakukan koordinasi penarikan pajak penerangan jalan umum (PPJU) terhadap pelanggan PLN yang berada di perbatasan antardaerah. PLN juga menjamin warga tak akan salah membayar PPJU, kendati mereka terdaftar sebagai pelanggan di luar domisilinya.

Demikian dikatakan Deputy Manager Communication PLN Distribusi Jawa Barat-Banten (DJBB), Adang Dzarkasih kepada wartawan di kawasan Jln. Diponegoro Bandung, Rabu (4/3). 

Menurut Adang, PLN telah memiliki sistem. Meskipun seorang pelanggan tinggal di Kabupaten Bandung dan terdaftar sebagai pelanggan area pelayanan jaringan di Kota Bandung, namun pembayaran PPJU-nya sesuai dengan aturan di mana pelanggan itu tinggal. "Jadi tidak akan salah," ungkapnya.

Dikatakannya, setiap daerah memiliki aturan sendiri untuk besaran PPJU yang akan dipungut. Besaran PPJU ditetapkan melalui peraturan daerah (perda). 

Disebutkannya, PLN hanya bertugas melakukan pungutan melalui rekening listrik yang dibayarkan dan pemerintah daerah telah memiliki database siapa saja warganya yang tercatat sebagai pelanggan di luar area pelayanan jaringan PLN di wilayahnya. 

"Kedua pemerintah daerah telah memiliki kesepakatan, berapa besaran pajak yang nantinya diberikan dan dibagikan antara kedua daerah perbatasan tersebut," bebernya.

Seperti diketahui, Komisi B DPRD Kabupaten Bandung pernah mendapatkan pengaduan dari warga yang tinggal di perbatasan antara Kota Bandung dan Kabupaten Bandung. Mereka khawatir PPJU yang selama ini dibayarkan masuk ke kas daerah Kota Bandung, karena mereka terdaftar sebagai pelanggan di kantor area pelayanan jaringan di Kota Bandung.

Mereka juga mengkhawatirkan rencana kenaikan PPJU Kota Bandung menjadi 5 persen yang dinilai akan memberatkan. Padahal, sesuai dengan perda di Kabupaten Bandung, besaran PPJU Kabupaten Bandung yang dibebankan bersama tagihan listrik adalah 3,5 persen.

Anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung, Tb. Raditya mengungkapkan, sistem komputerisasi yang sudah dilakukan PLN hendaknya mulai menata pelanggan mereka sesuai dengan eksisting tempat tinggal pelanggan. (B.89)**

Banyak Pabrik Buang Limbah Batu Bara Sembarangan
Kab. Bandung Butuh Instalasi Limbah B3


SOREANG,(GM)-
Meski banyak pabrik yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakarnya, namun sampai sekarang belum ada fasilitas pengolahan limbah B3 di Kab. Bandung. Akibatnya banyak pabrik di Kab. Bandung yang menyimpan dan membuang limbah batu bara secara sembarangan. 

Tubagus Raditya, salah seorang anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung kepada "GM", Rabu (4/3) mengatakan, selama ini banyak pabrik yang menggunakan batu bara yang membuang limbahnya sembarangan. Padahal limbah batu bara ini sangat berbahaya bagi masyarakat.

"Untuk limbah batu bara ini sangat ketat perizinannya. Jangankan untuk mengolah, untuk pengangkutan dan penyimpanannya saja tidak sembarangan, harus ada izin dari Kementerian Lingkungan Hidup. Jadi jika disimpan atau dibuang begitu saja, sangat berbahaya," tegasnya. 

Pelanggaran tersebut, lanjut Raditya, bukan hanya menjadi tugas Pemkab Bandung untuk menindaknya. Kepolisian juga perlu andil sebab telah melanggar Undang-undang Lingkungan Hidup.

Dikatakan Raditya, banyaknya pabrik yang membuang limbah batu bara di antaranya disebabkan belum adanya fasilitas pengolahan limbah batu bara di Kab. Bandung. "Dulu memang sudah ada rencana pembuatan kawasan untuk pengolahan limbah batu bara di daerah Majalaya. Tapi hingga kini belum ada realisasinya," ujarnya.

Hal yang sama dikatakan Moch. Ikhsan, salah seorang anggota Komisi C DPRD Kab. Bandung, beberapa waktu lalu. Menurut Ikhsan, hampir 99% pabrik di Kab. Bandung bermasalah dalam membuang limbah batubara. 

"Kita pernah survei dan hampir semua pabrik tidak mempunyai tempat pembuangan sementara (TPS) limbah batu bara yang semestinya," katanya.

Tunggu uji amdal

Sementara itu Kasubdit B3 Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Kab. Bandung, H. Acib mengatakan, pembangunan kawasan pengolahan limbah B3 sudah disiapkan oleh Pemkab Bandung. "Sekarang kita tinggal menunggu amdal dari Kementerian Lingkungan Hidup," kata Acib.

Persoalan pengelolaan limbah, lanjut Acib, merupakan persoalan yang kompleks. Walaupun banyak perusahaan di Kab. Bandung yang sudah menjadi klien perusahaan pengangkutan dan pengolahan limbah berizin, namun masih ada yang tidak melakukan kerja sama itu.

"Yang tidak melakukan kerja sama itulah yang diduga melakukan pembuangan limbah sembarangan," kata Acib.

Menurut Acib, tidak menutup kemungkinan ada juga perusahaan pengangkutan dan pengelolaan limbah berizin yang membuang limbah secara sembarangan. Jika hal itu terbukti, Pemkab Bandung bisa menjatuhkan sanksi administratif dengan merekomendasikan agar izin perusahaan itu dicabut. Sedangkan polisi dapat mengusut kasus pidananya. (B.97)**

Jumat, Februari 27, 2009

Guru Honor Diakui

Keberadaannya lewat Perda

Jumat, 27 Februari 2009

BANDUNG (Suara Karya): Sedikitnya 11 ribu guru honor yang tergabung dalam Forum Guru Honor Sekolah (FKGHS) Kabupaten Bandung bisa berlega hati. Pasalnya, nasib mereka yang selama ini terkesan tidak menentu, dalam waktu dekat keberadaan mereka akan diakui melalui peraturan daerah (perda).

  Anggota Komisi B dari Fraksi Partai Golongan Karya, DPRD Kabupaten Bandung, H Tb Raditya, menyebutkan bahwa keberadaan guru honor sekolah tak ubahnya seperti guru yang sudah menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Tugas-tugas mereka sepengetahuan Raditya sama dengan guru PNS. Bahkan, adakalanya guru honor ini melaksanakan tugas mengajar yang melebihi guru PNS.

  "Ini kondisi nyata yang terjadi di setiap sekolah. Banyak guru honor yang dipercaya memegang kelas. Kualitasnya pun tak kalah dengan guru yang sudah PNS," kata Raditya.

  Untuk memberikan pengakuan atas keberadaan guru honor itu, pihaknya kini tengah merancang peraturan daerah (perda) yang mengatur tentang keberadaan guru honor tersebut.

  Perda ini, kata Raditya, sebagai perda inisiatif. Artinya, perda tersebut diusulkan dan dirancang oleh DPRD. "Jangan kecil hati, meski belum mendapat giliran untuk diangkat menjadi PNS, mereka diatur keberadaannya oleh perda tersebut. Guru PNS dan guru honor sekolah fungsinya tidak berbeda," tutur Raditya.

  Sementara itu, Ketua FKGHS Kabupaten Bandung Indra Agustina ST menyambut baik inisiatif DPRD Kabupaten Bandung tersebut. Disebutkan, umumnya guru honor yang tergabung dalam FKGHS tidak terlalu ngotot pada persoalan status mereka. "Kami hanya ingin keberadaan kami diakui. Kalaupun Komisi B menggunakan hak inisiatif, itu sangat menggembirakan kami," tutur Indra.

  Selama ini, lanjut dia, FKGHS secara tidak langsung keberadaannya sudah diakui oleh Pemerintah Kabupaten Bandung. Namun, secara formal masih harus menunggu mekanisme yang berlaku. Menurut Indra, dengan adanya inisiatif merealisasikan perda yang khusus akan mengatur keberadaan guru honor, itu artinya pintu gerbang pengakuan sudah di depan mata.

  Pengakuan FKGHS oleh Pemkab Bandung tersebut dipaparkan Indra dengan turunnya dana bantuan untuk 11.578 guru honor yang tergabung dalam FKGHS pada tahun anggaran 2007 dan 2008. Namun, pada tahun anggaran 2009 bantuan dana tersebut tidak dianggarkan.

  Menurut Indra, karena sifat bantuan tersebut hibah dari Pemkab Bandung, maka apa pun alasannya pihak FKGHS harus menerima. "Kami tidak tahu persis aturannya.

  Namun, yang saya dengar, hibah dana tidak bisa berturut-turut tiga kali. Kami bersyukur sebab kami sudah mendapat pengakuan," kata Indra.

  Pada anggaran APBD tahun lalu, FKGHS mendapat bantuan hibah dana sebesar Rp 6,3 miliar. Dana sebesar itu sudah didistribusikan kepada guru honor yang tergabung dalam FKGHS. Dana tersebut, diungkapkan Indra, kecuali untuk para guru honor, juga untuk melakukan pendataan para guru honor. (Agus Dinar) 


Kamis, Februari 19, 2009

Guru dan Utang

MENYEDIHKAN memang, kalau benar, 85%-90% guru di Kab. Bandung terlilit utang. Tentu ini bukan kesalahan guru semata, apabila kita melihat begitu besarnya utang tersebut. Bukan pula karena ketidakmampuan guru mengendalikan keuangannya. Mungkin ada faktor lain.

Kita bisa membayangkan, kalau dari 15.000 guru di Kab. Bandung 85%-nya berutang dengan rata-rata Rp 5 juta saja, maka kurang lebih Rp 75 miliar. Dan, kalau saja pihak bank memberikan fee 1% saja dari jumlah tersebut ke oknum yang mempermudah pinjaman para guru ini, maka ada pendapatan dari pinjaman guru tersebut sebesar Rp 750 juta. Artinya, besarnya pinjaman guru tersebut bisa dipicu oleh oknum yang ada di internal instansi tersebut, yang mendapatkan untung dari penderitaan guru.

Sedih, kita memang sangat sedih melihat kondisi guru yang terlilit utang. Seorang guru SD di Kab. Bandung yang karena terlilit utang ke bank, terpaksa "menggelapkan" tabungan milik siswa didiknya. Namun akhirnya, cicilan ke bank tetap tidak terbayar, begitu pula ia dikejar-kejar orangtua siswa karena uang anaknya tidak dibayarkan. Ia kemudian dipindahkan ke SD lain dan karena sudah tidak mendapatkan gaji (habis dipotong pinjaman bank), semangat ngajar-nya hilang. Dalam satu minggu bisa dihitung jari kehadirannya di kelas. Ujung-ujungnya, ia meninggalkan pula SD tersebut karena sudah tidak bisa lagi untuk bayar angkot dan ojek ke tempatnya mengajar.

Itu masih mendingan. Cerita menggetirkan juga menimpa seorang kepala sekolah yang karena terlilit utang, ia mencari tambahan dengan menjanjikan bisa memasukkan jadi pegawai negeri sipil (PNS). Hubungannya yang luas, menjadikan ia dipercaya sejumlah orang yang ingin jadi PNS. Tarifnya antara Rp 25 juta hingga Rp 40 juta. Ujung-ujungnya, tak seorang pun yang diterima. Ia akhirnya dikejar-kejar sejumlah orang yang merasa tertipu. Ia menghilang dari rumahnya. Meninggalkan sekolahnya dan hingga sekarang entah di mana.

Guru dan utang memang seperti sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Karena instansi tempat mereka berlindung juga punya konstribusi terhadap meningkatnya utang guru. Tidak sedikit guru yang mengeluhkan tiba-tiba mendapatkan potongan untuk barang-barang yang dijual dedet dengan mengatasnamakan pimpinan instansi tempat mereka bekerja. "Kadangkala sangat menggelikan. Bayangkan, tiba-tiba ke sekolah ini didrop alat-alat untuk mandi dan pembersih toilet sekolah. Sekolahnya saja belum punya toilet, untuk apa barang-barang tersebut?" ujar seorang kepala sekolah. Tapi, barang yang sudah dikirim tidak bisa dikembalikan dan ujung-ujungnya honor kepala sekolah yang dipotong.

Jadi, apa yang dikemukakan Plt. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Kab. Bandung tentu tidak sebatas menghentikan MOU saja. Juga, harus ada upaya untuk menghentikan semua pemotongan terhadap guru untuk hal-hal yang tidak perlu. Ia tentu punya tanggung jawab untuk lebih melindungi guru agar take home pay (THP) tidak sampai di bawah 50%, bahkan kalau mungkin tidak sampai di bawah 60%. Karena, dengan 60% uang yang masih mereka bawa ke rumah, tentu mereka masih punya "energi" untuk tetap menjalankan rutinitas pekerjaannya. Yakni, menjadikan anak-anak kita lebih cerdas tidak hanya dalam pelajaran, namun dalam mengatur hidupnya sesuai dengan ajaran agamanya. **

TUNJANGAN PENGHASILAN PEGAWAI

Sistem penggajian Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diberlakukan di Indonesia mengacu kepada sistem pemberian gaji dasar yang sangat rendah, serta tidak secara langsung menyesuaikan dinamika perubahan inflasi dan biaya hidup dari tahun ke tahun. Dengan tingkat inflasi Indonesia yang relatif tinggi, mata uang rupiah terus mengalami depresiasi terhadap mata uang jangkar (US $). Kondisi tersebut berdampak terhadap semakin lemahnya daya beli masyarakat, termasuk PNS. Dengan sistem penggajian sekarang ini, mayoritas PNS di Indonesia akan merasa sulit untuk mendukung pemenuhan kebutuhan primer sehari-hari setiap bulannya, walaupun dalam kategori hidup sederhana. Sistem penggajian ini diyakini merupakan salah satu penyebab timbulnya korupsi (corruption by need). Bentuk korupsi tersebut adalah dengan melakukan penyalahgunaan wewenang dengan memanfaatkan aturan hukum yang lemah untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidup. Kenyataan bahwa gaji PNS tidak memadai menumbuhkan sikap permisif masyarakat terhadap perilaku korupstif PNS. Demikian pula, sikap toleransi PNS terhadap lingkungan kerja yang korup menjadi semakin meluas di seluruh Indonesia, seiring berkembangnya pola hidup masyarakat yang semakin konsumtif. Kondisi tersebut menjadikan Indonesia merupakan salah satu Negara yang terkorup di dunia sehingga harus segera dicarikan solusinya.

Kebijakan pemberian honorarium kepada PNS yang selama ini dilakukan hanya terbatas kepada PNS yang terlibat pada kegiatan proyek, pada unit kerja teknis tertentu justru menimbukan ketimpangan dan berpotensi menyulut kecemburuan antar PNS. Kondisi tersebut mengakibatkan demotivasi kerja bagi sebagian besar PNS. Usaha telah dilakukan oleh beberapa pemerintah daerah misalnya Kabupaten Solok (pada tahun 2003), Pemerintah Provinsi Gorontalo (pada tahun 2004) dan Pemerintah Kota Pekanbaru (pada tahun 2006) dalam mencari solusi untuk mengatasi rendahnya pendapatan PNS. Cara yang diterapkan hampir sama yaitu dengan memberikan tambahan pendapatan secara merata kepada seluruh pegawai, namun yang berbeda adalah syarat pemberian tambahan pendapatan tersebut. Pemberian tambahan pendapatan tersebut dimaksud supaya tidak menimbulkan kecemburuan diantara PNS. Berdasarkan peraturan baru yaitu Permendagri No. 13 tahun 2006, pasal 39 ayat (2) berbunyi: “Tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam rangka peningkatan kesejahteraan pegawai berdasarkan beban kerja atau tempat bertugas atau kondisi kerja atau kelangkaan profesi atau prestasi kerja”. Dengan ketentuan tersebut maka memungkinkan bagi pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota untuk memberikan tunjangan berupa tambahan penghasilan bagi PNS daerah asalkan berdasarkan kepada beban kerja atau tempat bertugas atau kondisi kerja atau kelangkaan profesi atau prestasi kerja. Pendekatan untuk memberikan tambahan penghasilan terhadap PNS diatas sebagai salah satu solusi yang obyektif dalam mengatasi rendahnya pendapatan PNS karena

Salah satu kriteria pemberiannya didasarkan atas prestasi kerja. 

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam hal ini memandang bahwa pendekatan diatas merupakan terobosan untuk mengatasi rendahnya pendapatan PNS, sebelum pemerintah mampu melakukan reformasi sistem penggajian PNS secara nasional. Harapan kebijakan Tambahan Penghasilan bagi PNS Daerah Dengan diberlakukannya kebijakan tambahan penghasilan bagi PNS daerah diharapkan berdampak kepada peningkatan kesejahteraan pegawai. Pemberian tambahan penghasilan tersebut bersifat rutin diterima pegawai per-bulan sehingga menumbuhkan keyakinan pegawai dalam menetapkan perencanaan kebutuhan hidupnya. Disisi lain pemberian tambahan penghasilan diarahkan agar seluruh PNS termasuk pegawai pada garis depan pelayanan agar dapat meningkatkan disiplin dan kinerjanya dan dapat memberikan kualitas layanan sesuai standar prosedur baku (SOP) yang ditetapkan. Pemerintah di daerah dapat memberlakukan sanksi yang tegas bagi pegawai yang menerima suap dalam memberikan layanan masyarakat. Studi ini diharapkan dapat memperoleh gambaran tentang persepsi pegawai setelah diberlakukannya pemberian tambahan penghasilan. Apakah pegawai merasa senang (sejahtera) dengan adanya kebijakan tersebut serta apakah telah terjadi peningkatan integritas pegawai dengan ditunjukkan adanya peningkatan kualitas layanan.


Terjadinya peningkatan kualitas layanan salah satunya ditandai dengan berkurangnya atau tidak adanya pungutan tambahan di luar biaya resmi. Apakah pegawai merasa penghasilannya meningkat dan kebutuhannya terpenuhi, serta apakah dengan kebijakan tersebut dapat menghilangkan rasa iri hati diantara mereka. Apabila beberapa indikator tersebut ditemukan positif dalam studi ini, maka kebijakan tambahan penghasilan ini dapat digunakan sebagai salah satu acuan untuk melakukan motivasi terhadap pegawai serta segera ditularkan ke daerah lain agar terjadi peningkatan prestasi dan produktifitas pegawai secara nasional. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penerapan tambahan penghasilan bagi PNS daerah Agar pemberlakuan kebijakan pemberian tambahan penghasilan bagi PNS daerah tidak menimbulkan kritikan dari masyarakat, maka harus didasarkan pada aspek-aspek yang secara riil dapat mendukung terhadap terwujudnya kedisiplinan dan prestasi kerja pegawai. Hal pokok lain yang perlu dipersiapkan dalam memulai untuk melaksanakan kebijakan tambahan penghasilan bagi PNS antara lain: 1) Dasar Hukum untuk dapat diterapkannya kebijakan Tambahan Penghasilan bagi PNS daerah. Dengan dasar hukum berupa Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota yang mengacu kepada ketentuan yang terdapat pada Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2005, tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, serta Permendagri tahun No. 13 tahun 2006, diharapkan dapat memberikan kepastian hukum untuk diberlakukannya kebijakan tersebut; 2) Mengidentifikasi sumberdana dan jumlah dana, khususnya identifikasi honor-honor yang diberikan kepada pegawai sebelumnya, kemudian untuk disatukan, serta tidak menciptakan anggaran baru (sub-mak baru) dari APBD yang mengarah kepada pemborosan keuangan; 3) Mengidentifikasi seluruh jumlah pegawai baik struktural maupun fungsional; 4) Menyusun dasain sistem untuk menetapkan syarat-syarat pemberian tambahan penghasilan yang jelas dan mengarah kepada kinerja; 5) Mendesain sistem pengawasan untuk memonitor pelaksanaan kebijakan tambahan penghasilan tersebut; 6) Menetapkan besaran tambahan penghasilan bagi masing-masing pegawai dengan mengacu kepada azas kepatutan sehingga tidak menimbulkan kesenjangan; 7) Menghapuskan pemberian honor yang lain: 8) Meningkatan kompetensi pegawai sesuai bidang tugas sehingga acuan pengukuran pemberian tambahan penghasilan dengan menggunakan standar pengukuran prestasi kerja dapat dipertahankan.

Selasa, Februari 10, 2009

Ditipu, Guru SD Datangi Dewan

SOREANG,(GM)-
Tiga orang guru SD negeri di Kec. Margaasih, Kab. Bandung, Senin (9/2) mendatangi DPRD Kab. Bandung. Mereka mengadukan ulah Bendahara UPTD Margaasih, AC yang meminjam uang ke bank dengan mengatasnamakan para guru. 

Kepada anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung, mereka mengungkapkan, selama ini dikejar-kejar debitur bank karena AC sudah beberapa bulan menunggak. "Kami bingung, padahal utang ke bank akibat ulah oknum UPTD yang tidak membayar," kata Heni Heryani, salah seorang guru yang datang ke dewan.

Diungkapkan Heni, sebelumnya para guru memang meminjam ke bank dan pembayarannya dipotong langsung dari gaji oleh bendahara UPTD. "Kemudian AC menawarkan lagi kepada saya untuk meminjam lagi ke bank lain. Tapi uang dan cicilannya dibagi dua," katanya.

Setelah beberapa bulan, lanjut Heni, cicilan yang harusnya dibayar AC ternyata dipotong dari gaji miliknya. "Makanya ketika gajian, saya malah minus dan harus bayar ke bank," ujarnya. Hal yang sama dikatakan Iim, guru lainnya. "Ke BPR saya pinjam Rp 20 juta, yang Rp 15 juta saya ambil dan AC ngambil Rp 5 juta. Meski menggunakan nama saya, tapi cicilan yang Rp 5 juta dibayar AC," ungkapnya.

Setelah beberapa kali membayar, lanjut Iim, ternyata cicilan yang seharusnya dibayar AC, justru dipotong dari gajinya hingga gajinya minus. "Pertama-tama cicilan yang Rp 5 juta dibayar AC. Tapi sejak bulan Desember 2008, gaji saya yang dipotong," katanya.

Menurut Iim, kasus yang menimpa dirinya ini, dialami juga oleh guru-guru lain. Diperkirakan jumlahnya sekitar 110 orang. "Bahkan setelah diselidiki, AC mempunyai utang ke bank sampai Rp 1,3 miliar. Caranya sama, yaitu dengan membujuk guru lainnya untuk meminjam ke BPR dan dia numpang. Tapi saat pembayaran, justru guru itulah yang harus menanggungnnya," jelasnya.

Menanggapi keluhan para guru tersebut, anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung, Tubagus Raditya mengatakan, permasalahan ini harus diselesaikan Dinas Pendidikan (Disdik) Kab. Bandung. Jika dibiarkan, dikhawatirkan proses mengajar akan terganggu. (B.97)**

Raditya, "Banyak yang Pulang Tidak Membawa Uang Sepeser pun"

85% Guru Terlilit Utang?

SOREANG,(GM)-

DPRD Kab. Bandung menilai, salah satu faktor menurunnya kualitas mengajar di wilayah Kab. Bandung diakibatkan para pengajar yang memiliki tunggakan ke bank. Untuk wilayah Kab. Bandung sendiri, sekitar 85-90% dari sekitar 15.000 guru PNS-nya terlilit utang ke bank.

Hal ini dikatakan H. Tubagus Raditya, anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung kepada wartawan di ruang kerjanya, Senin (9/2). Menurutnya, tidak sedikit dari para guru memiliki utang kepada lebih dari 2 bank dengan jumlah tunggakan mencapai puluhan juta. Uang tersebut rata-rata digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, juga dibelanjakan secara konsumtif. Untuk melunasinya, mereka mencicil melalui pemotongan gaji setiap bulan selama beberapa tahun.

"Akibat pinjaman yang cukup besar ini, banyak guru yang saat gajian tidak menerima seperser pun uang. Bahkan tidak sedikit gaji mereka yang minus karena sudah habis untuk membayar cicilan," katanya.

Jika ini terus berlanjut, tambah Tubagus, dikhawatirkan akan mengganggu aktivitas mengajar. Sebab terkadang mereka harus dikejar-kejar debitur yang mendatanginya hampir tiap hari.

"Seperti para guru yang datang kali ini, akibat pinjam ke bank, bahkan lebih dari satu bank, mereka dikejar-kejar debitur. Sedangkan untuk membayarnya, gaji mereka minus hingga Rp 1,8 juta. Kalau terus begini, bagaimana mereka mau mengajar dengan baik" ujarnya.

Menurut Tubagus, permasalahan ini perlu secepatnya diselesaikan oleh pihak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud). "Ini harus segera diselesaikan. Sebab merupakan kunci pokok permasalahan di Dikbud," katanya.

Diungkapkan Tubagus, permasalahan ini karena ada ketidakberesan di UPTD-UPTD setempat. Terlebih dalam aturan perbankan, pihak bank sebelum memberikan kredit tentunya melihat kemampuan atau gaji si kreditur. "Selama ini gaji guru dibagikan melalui UPTD masing-masing sehingga pihak bank langsung memotongnya. Tapi bagaimana bisa dengan gaji mereka yang sudah minim akibat potongan bank, masih tetap bisa meminjam ke bank lain dengan jumlah puluhan juta?" ujarnya penuh tanda tanya. (B.97)**

Rabu, Februari 04, 2009

Sambut Baik Raperda Penataan dan Pemberdayaan Pasar
Pedagang Tradisional Bosan Jadi Objek

SOREANG,(GM)-
Himpunan pedagang tradisional di Kab. Bandung berharap dalam Rancangan Peraturan Daerah Penataan dan Pemberdayaan Pasar yang sedang dibahas Panitia Khusus (Pansus) V DPRD Kab. Bandung, mereka tidak hanya dijadikan objek. Pihak pedagang menyambut baik usul dewan yang meminta agar mereka dilibatkan dalam pembahasan raperda tersebut.

Perwakilan dari komunitas Pasar Soreang, Maman mengatakan hal itu, usai mengikuti audiensi dengan Pansus V di Gedung DPRD Kab. Bandung, Senin (2/2). Menurut Maman, terbitnya raperda dan kemudian jadi perda tentang penataan dan pemberdayaan pasar merupakan angin segar bagi pedagang seperti mereka. 

"Kami berharap ada keberpihakan kepada pedagang tradisional, khususnya melihat kondisi persaingan ekonomi saat ini," katanya.

Dijelaskan Maman, peraturan tentang pasar yang pernah ada selama ini lebih banyak menempatkan pedagang sebagai objek. "Sudah saatnya melibatkan mereka. Melihat peraturan yang pernah ada, pedagang tradisional khususnya hanya ditempatkan sebagai pedagang, sedangkan kami berharap ada partisipasi dari pedagang terhadap peraturan yang nanti dibuat," katanya.

Selain mengakui pedagang tradisional, lanjut Maman, dalam raperda ini mereka berharap diatur mekanisme parsaingan harga antara pasar tradisional dan pasar modern. "Kami pedagang tradisional harus dilindungi dalam persaingan harga karena harus bersaing dengan yang memiliki modal besar," katanya.

Sementara itu, anggota Pansus V DPRD Kab. Bandung, Tb. Raditya mengatakan, para pedagang tradisional diberi kesempatan untuk melihat poin per poin isi dari raperda inisiatif dewan tersebut. "Bila nanti ada poin yang dinilai oleh pedagang tidak berpihak, silakan direvisi sebelum itu nanti disahkan," ujarnya.

Dikatakan Raditya, raperda tersebut diharapkan bisa dituntaskan dalam waktu dekat. "Dalam pembahasan raperda ini ada rambu-rambu yang tidak bisa kita langkahi, yaitu Peraturan Presiden (Perpres) No. 112/2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern. Sehingga raperda ini tetap bertujuan untuk melindungi pasar tradisional," ujarnya.

Dijelaskan Raditya, dalam raperda ini nantinya diatur mengenai keberadaan pasar modern agar tidak mematikan pasar tradisional, juga mendorong kerja sama antara dua jenis pasar tersebut. (B.89)**

Kamis, Januari 22, 2009

Tidak Sehat, Pemkab Bubarkan 15 PD BPR

SOREANG,(GM)-
Sebanyak 15 Perusahaan Daerah (PD) Bank Perkreditan Rakyat (BPR) milik Pemkab Bandung dibubarkan. Selanjutnya, mulai tahun ini Pemkab Bandung hanya akan memiliki satu PD BPR, dengan sistem perbankan bercabang. Masing-masing kecamatan nantinya memiliki satu kantor cabang.

Rancangan peraturan daerah (raperda) yang mengatur pembubaran seluruh BPR milik Pemkab Bandung itu, sudah selesai dibahas Panitia Khusus (Pansus) V DPRD Kab. Bandung dan akan segera disahkan melalui rapat paripurna.

Raperda inisiatif itu diberi nama Perda Kabupaten Bandung tentang "Pembubaran dan Konsolidasi Perusahaan Daerah Bank Perkreditan (PD. BPR) Kabupaten Bandung".

Menurut anggota Pansus V DPRD Kab. Bandung, H. Tb. Raditya di Soreang, Rabu (21/1), sebelum melakukan langkah itu, Komisi B yang melakukan kajian menilai bahwa sebagian besar BPR yang ada sudah tidak sehat.

"Perda itu dibuat setelah Komisi B melakukan kajian atas kinerja seluruh PD BPR Kab. Bandung. Komisi B sudah sejak lama mengetahui sebagian besar PD BPR itu tidak sehat, tapi baru kali ini usulan untuk memperbaiki kinerja PD BPR mendapatkan tanggapan," katanya.

Ditambahkan anggota Pansus V yang juga anggota Komisi B ini, di dalam raperda tentang PD BPR itu juga ditetapkan pembubaran 12 PD BPR, yang sebenarnya sudah dilakukan sejak lama. "PD BPR milik Pemkab Bandung awalnya berjumlah 27 buah. Namun, karena dianggap tidak sehat oleh Bank Indonesia, sebanyak 12 PD BPR dibubarkan beberapa waktu lalu," katanya.

Komisi B DPRD Kab. Bandung, lanjutnya, kemudian melakukan lagi pengkajian atas 15 PD BPR yang masih tersisa. Dari hasil kajian, terlihat hanya tiga BPR yang dinyatakan benar-benar sehat kinerjanya.

"Untuk membangun kinerja yang lebih efektif, akhirnya diputuskan untuk membubarkan 15 PD BPR yang tersisa, untuk kemudian asetnya dikonsolidasikan dan dibentuk PD BPR yang baru. Sampai saat ini kami belum memutuskan apa nama PD BPR, yang baru nanti dalam perda tersebut," kata Raditya.

Rp 100 miliar

Ke-12 PD BPR yang telah lebih dulu dibubarkan, adalah BPR Cipatat, BPR Cililin, BPR Lembang, BPR Cisarua, BPR Dayeuhkolot, BPR Pasir Jambu, BPR Pacet, BPR Ujungberung, BPR Buahbatu, BPR Rancaekek, BPR Cimahi, dan BPR Gununghalu.

Sedangkan 15 PD BPR yang akan dibubarkan dan dikonsolidasikan asetnya, adalah BPR Soreang, BPR Banjaran, BPR Ciwidey, BPR Cicalengka, BPR Ciparay, BPR Cikalongwetan, BPR Pameungpeuk, BPR Pangalengan, BPR Cipeundeuy, BPR Paseh, BPR Batujajar, BPR Padalarang, BPR Cicadas, BPR Sindangkerta, dan BPR Majalaya.

Selanjutnya, Pemkab Bandung hanya akan memiliki satu PD BPR dan akan beroperasi dengan menggunakan sistem cabang. Cabang-cabang itu akan dibentuk di beberapa tempat, termasuk pembentukan kas mobil, untuk memudahkan akses masyarakat pada institusi permodalan. Modal dasar PD BPR yang baru nanti, ditetapkan sebesar Rp 100 miliar.

"Dengan konsolidasi ini, PD BPR harus bisa lebih membantu UMKM dan bermain di sektor riil yang produktif," kata Raditya.

Dijelaskannya, nasabah BPR-BPR yang dibubarkan itu akan otomatis menjadi nasabah PD BPR yang baru. Demikian juga dengan kewajiban kredit atau utang piutang kepada BPR lama, akan dialihkan kepada BPR yang baru. (B.89)**

Sabtu, Januari 17, 2009

Kab. Bandung Tak Mau Menjadi "Hutan Tower"
77 "Tower" Operator Seluler Tak Berizin

SOREANG,(GM)-
Dari 277 tower operator telepon seluler yang ada di wilayah Kab. Bandung, 77 di antaranya tidak berizin. Melalui Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Penataan dan Pembangunan Tower Bersama yang sedang dibahas Panitia Khusus (Pansus) V DPRD Kab. Bandung, segera dilakukan penataan supaya Kab. Bandung tidak menjadi "hutan tower". 

Disampaikan anggota Pansus V, Tubagus Raditya di Soreang, Kamis (15/1), Raperda yang ditargetkan bisa diselesaikan dalam tahun ini juga akan mengatur retribusi yang bisa diperoleh pemerintah daerah. "Sekarang ini Pemkab Bandung hanya mendapatkan kontribusi sekali saja dari keberadaan tower tersebut, yaitu dalam pengajuan IMB (izin mendirikan bangunan). Nantinya tiap tahun pemerintah daerah harus mendapatkan pendapatan rutin," ujarnya.

Dikatakannya, Pemkab Bandung bisa menargetkan retribusi sebesar Rp 50 juta per tahun dari satu tower. "Dengan jumlah tower yang tersebar di Kabupaten Bandung, ini merupakan pemasukan bagi kas daerah yang tidak sedikit dan potensi ini harus bisa kita manfaatkan sebagai sumber pendapatan rutin daerah," jelas anggota Komisi B ini.

Pansus V, lanjut Raditya, akan mengundang para provider operator telepon seluler untuk dimintai pendapatnya terkait pembahasan Raperda tersebut. "Kita akan libatkan provider selaku pengguna nantinya, sehingga saran mereka bisa dijadikan masukan dan akhirnya mereka pun tidak merasa keberatan," paparnya. 

Hutan tower

Selain itu, kata Raditya, tower-tower yang ada harus mengikuti masterplan yang sudah disesuaikan dengan rencana tata ruang terbaru. "Bila tidak sesuai harus segera menyesuaikan karena sekarang pun banyak tower tidak berizin, tetapi sudah beroperasi. Dengan adanya perda semua harus sudah mengacu kepada aturan yang ada," katanya.

Keberadaan tower-tower itu sendiri, tambah Raditya, nantinya harus mengacu pada tower bersama yang minimal diisi 3 provider. "Nantinya cukup penyedia jasa tower saja yang mengajukan izin pendirian tower ke pemerintah dan provider lainnya melakukan kerja sama dengan penyedia jasa tersebut," katanya. 

Anggota pansus lainnya, H. Asep Anwar Mahfudin, mengatakan, tower-tower yang tidak di tempat semestinya harus siap untuk ditertibkan. "Bila sudah ada aturan , pemerintah daerah harus tegas," katanya.

Asep menduga, menjamurnya tower yang kemudian menjadi masalah akibat adanya ulah oknum yang membekingi sehingga dengan mudah tower tersebut berdiri tanpa sepengetahuan masyarakat. (B.89)**

Jumat, Januari 16, 2009

Perda Penataan Pasar Terbit Tahun Ini 
Rabu, 14 Januari 2009
SOREANG, (PR).-
Tahun ini, Kab. Bandung akan memiliki peraturan daerah yang mengatur penataan pasar modern dan pasar tradisional. Rancangan perda tentang pasar itu saat ini masih dalam pembahasan di Pansus V DPRD Kab. Bandung. 

Di dalam draf Rancangan Perda Pembangunan, Pengendalian, dan Penataan Pasar itu tercantum tentang aturan pembangungan pasar modern dengan pola zonasi. Artinya, jika ada yang akan membangun pasar modern, harus mengacu kepada aturan zona yang ditetapkan Pemkab Bandung. 

"Nanti akan diatur mengenai jarak dari perumahan, jarak antara pasar modern dan pasar tradsional, serta kemitraan pasar tradisional dengan pasar modern," kata anggota Pansus V, Tubagus Raditya, Selasa (13/1). 

Perda tentang pasar itu, kata Raditya, merupakan tanggapan atas maraknya pembangunan pasar modern seperti minimarket dan supermarket di wilayah Kab. Bandung. Selain itu, perda itu merupakan tindak lanjut yang diambil oleh Kab. Bandung, menyusul terbitnya Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Kepmenindag) No. 53 Tahun 2008, yang juga mengatur tentang pasar tradisional dan pasar modern. 

"Kami dari Pansus V ingin agar Perda Pasar di Kab. Bandung bisa lebih detail mengatur tentang hubungan pasar tradisional, pasar modern, dan UKM. Oleh karena itu, kami ingin mengundang asosiasi pedagang, koperasi pasar, dan kalangan akademisi, untuk terlibat langsung di dalam pembahasan perda ini," kata Raditya. 

Dia mengatakan, Perda Pasar itu tidak hanya mengatur tentang pembatasan pertumbuhan pasar modern. Perda itu juga diharapkan bisa mengatur perkembangan dan kemandirian pasar tradisional, dengan membuat pasar tradisional setara dengan pasar modern. 

"Bupati sudah mengusulkan program pasar bersih. Tapi kami berharap program diterjemahkan dengan memperbarui bangunan pasar," kata Raditya.
(A-132/Pikiran Rakyat)***

Senin, Januari 12, 2009

Tidak Beri ASI, Dijatuhi Sanksi
Perda Kibbla Akan Diberlakukan di Kab. Bandung

Sebagai Hadiah Buat Kaum Ibu

SOREANG, (PR).-
Rancangan Peraturan Daerah Kab. Bandung tentang Kesehatan Ibu, Bayi yang Baru Dilahirkan, dan Balita (Kibbla) akan ditetapkan akhir Januari 2009. Di antara isi raperda tersebut, setiap ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif kepada bayinya mendapat sanksi moral.

Adanya perda itu menjadikan hak-hak ibu dan bayi akan lebih dijamin pemerintah. Raperda Kibbla yang telah selesai disusun Pansus V DPRD Kab. Bandung, tinggal menunggu penetapan dalam sidang paripurna DPRD. Perda inisiatif dewan tersebut digagas bersama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Safa Institute.

Anggota Pansus V, TUBAGUS RADITYA, Minggu (11/1) mengatakan, Perda Kibbla digagas untuk mengurangi angka kematian ibu dan bayi di Kab. Bandung. Nantinya, perda mengatur hak-hak ibu yang akan melahirkan, saat melahirkan, dan pascamelahirkan.

"Yang paling penting , ada ketentuan bahwa ibu yang melahirkan harus mendapatkan pelayanan maksimal di tempat layanan kesehatan tanpa harus ditanya dulu, apakah memiliki uang atau tidak," ujarnya.

Selain itu, ibu yang melahirkan dan berasal dari keluarga miskin akan mendapat jaminan biaya melahirkan dari pemerintah. Namun, jaminan biaya itu hanya berlaku untuk anak pertama dan kedua.

Guna menjamin perda berjalan secara efektif, setiap desa di Kab. Bandung wajib membentuk tim tenaga Kibbla, termasuk harus ada seorang bidan. Tenaga Kibbla bertugas memantau dan memberikan pelayanan kepada siapa pun yang sedang hamil dan akan melahirkan.

"Tenaga Kibbla akan mendapatkan honorarium dari pemerintah kabupaten. Sementara anggarannya dari APBD," tuturnya menegaskan.

Kendati demikian, setiap ibu hamil dan akan melahirkan "dibebani" beberapa kewajiban. Pertama, tidak boleh lagi melahirkan dengan bantuan dukun beranak (paraji). Setiap kelahiran harus dilakukan bersama bidan. Sementara paraji hanya diizinkan mendampingi dan memberikan pelayanan pascakelahiran.

Selain itu, setiap ibu juga diwajibkan memberi ASI eksklusif selama enam bulan. Apabila melanggar, ada sanksi sosial, yakni akan diumumkan di ruang publik.

Terkait pemberian ASI eksklusif, instansi pemerintah, swasta dan ruang publik, wajib memiliki tempat khusus bagi ibu untuk menyusui. Dengan demikian, kata Raditya, setiap sektor harus menunjukkan kerja samanya untuk menegakkan aturan tersebut.

"Setiap balita juga berhak mendapatkan imunisasi. Petugas Kibbla harus mengawasi agar imunisasi diberikan kepada setiap anak," tuturnya lagi.

Kepala Dinas Kesehatan Kab. Bandung, dr. Achmad Kustijadi mengatakan, Perda Kibbla ditujukan untuk menjamin hak kesehatan ibu, bayi yang baru dilahirkan, dan balita. "Perda itu sudah digagas sejak lama dan usulannya sudah disosialisasikan di berbagai pertemuan stakeholder. Alhamdulillah, kebutuhan dan target kami bisa diakomodasi dalam Perda Kibbla itu," katanya. (A-132)***