Kamis, Juli 24, 2008

RADITYA : WAWASAN KEBANGSAAN DIPANDANG PERLU

Soreang—Anggota fraksi Partai Golkar kabupaten Bandung Tubagus Raditya memandang perlu sekolah Melakukan upaya kembali menanamkan rasa kebangsaan “saya khawatir dengan dengan perkembangan yang terjadi sekarang bahwa pemahaman anak-anak tentang rasa kebangsaan semakin hari semakin luntur, ini terjadi ketika saya melihat banyak anak-anak yang tidak hapal tentang lagu-lagu kebangsaannya , mereka lebih hapal lagu-lagu dsari Nidji, Peter Pan, The Titans, ini salah satu bentuk kongkret yang terjadi di anak-anak sekarang” katanya.

Maka dari itu menurutnya, untuk menumbuhkan rasa nasionalisme harus ada upaya semenjak dini melalui sekolah-sekolah sebagai institusi pendidikan formal “banyak hal yang bisa dilakukan untuk menumbuhkan rasa kebangsaan, asalkan itu dilakukan semenjak dini”. katanya . Oleh karena itu dia menghimbau kepada Gubernur Jawa Barat dan para Bupati khususnya Bupati Bandung, yang sekarang kebetulan tahun ajaran baru dapat menginstruksikan bagi para siswa SD kelas 1 sampai 3 agar setelah masuk kelas terus berdoa dapat bersama-sama menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya serta setelah mau pulang sekolah setelah berdoa dapat menyanyikan lagu padamu negeri karena usia anak tersebut sangat ideal untuk dilakukan penanaman rasa kebangsaan , dan saya yakin hal tersebut dapat dijadikan sebagai investasi pembentukan rasa kebangsaan, nasionalisme, cinta tanah air dan patriotik yang berimbas kepada pembentukan karakter nasional bangsa yang telah mulai luntur.

Dan hal tersebut menjadi tak bisa di tawar-tawar lagi dan harus dilakukan semenjak dini dari sekarang agar nanti di kemudian hari dapat kita petik hasilnya. Saya sangat prihatin dengan kondisi yang ada sekarang ini dimana setelah melihat rasa kebangsaan mulai luntur di kalangan anak-anak, apalagi pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) serta PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) sudah tidak ada lagi, dan apabila tidak dilakukan penanaman kembali rasa kebangsaan semenjak dini maka kita suatu saat akan melihat para pemuda kita yang tidak mencintai negeri ini lagi. Dan kalau ini terjadi kita hanya dapat menunggu saatnya kejatuhan Negara Persatuan Republik Indonesia.

Oleh Karena itu mari kita bersama-sama menanamkan kembali rasa patriotic, cinta tanah air serta nasionalisme kepada anak anak kita sebelum kita menyesal ketika suatu saat Negara persatuan ini akan hancur, “Tidak ada kata terlambat “ katanya. Disadur dari Radar Bandung (18/07/08) cecefz

Rabu, Juli 23, 2008

Pendataan Aset Pemkab Dilakukan Pansus


SOREANG, (GM).-
DPRD Kab. Bandung memutuskan, untuk pendataan aset milik Pemkab Bandung yang belum tuntas akan dilakukan oleh panitia khusus (pansus). Untuk itu, lembaga ini meminta pihak eksekutif segera memberikan laporan pendataan yang sudah dilakukan.

Penetapan pansus ini dibenarkan salah seorang anggota DPRD Kab. Bandung dari Fraksi Golkar, Tb. Raditya saat dihubungi "GM" di Soreang, Sabtu (19/7). "Dalam sidang paripurna Senin (14/7), disepakati bahwa untuk melakukan pendataan aset, DPRD akan membentuk pansus. Tim pansus yang terpilih nanti akan segera melakukan koordinasi dengan pihak eksekutif," ujarnya.

Menurutnya, pembentukan pansus ini diharapkan bisa menyelesaikan masalah pendataan aset milik Pemkab Bandung yang dinilai rawan bermasalah. "Untuk itu segera lakukan identifikasi aset, mana saja yang sudah menjadi milik pemkab, yang sedang dalam proses sertifikasi atau yang masih bermasalah," jelasnya.

Dikatakannya, aset-aset yang telah dimiliki dengan disertai bukti kepemilikan sah merupakan modal bagi pemerintah daerah itu sendiri. "Masih banyaknya aset milik pemkab yang tersebar di beberapa tempat dan belum disertai bukti kepemilikan, dikhawatirkan akan menjadi permasalahan," papar Raditya.

Anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung ini mencontohkan, aset-aset Pemkab Bandung di bekas pusat pemerintahan dulu (Baleendah, red), banyak yang belum memiliki sertifikat kepemilikan. Selain itu, hasil kunjungan Komisi B ke Balai Benih Ikan (BBI) di Kec. Ciparay, lahan seluas 3,4 hektare masih belum dimiliki secara sah oleh Pemkab Bandung. "Kondisi ini mungkin salah satu contoh saja, karena bukan tidak mungkin juga terjadi pada aset-aset lainnya," ungkapnya.

Ditambahkannya, untuk pendataan dan sertifikasi aset, setiap tahunnya telah dianggarkan dana sebesar Rp 1 miliar di APBD. "Pemkab katanya telah membentuk tim. Kami pun ingin tahu sudah sejauh mana tim yang dibentuk tersebut melakukan pendataan aset milik pemkab," tandasnya.

Sementara itu, Asisten Administrasi Setda Kabupaten Bandung, Drs. Djamu Kertabudi, M.Si. mengakui, masalah pendataan aset barang milik daerah di Kabupaten Bandung, sangat kompleks. Namun demikian, sejalan dengan program nasional "Sensus Barang Daerah", pada pertengahan bulan ini pendataan aset akan selesai dilakukan, sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 17 Tahun 2007 tentang pedoman teknis pengelolaan barang milik daerah. (B.89)**

Jumat, Juli 18, 2008

Dishub Diminta Tertibkan Bus Karyawan


SOREANG, (PRLM).- Komisi B DPRD Kab. Bandung meminta agar Dinas Perhubungan (Dishub) Kab. Bandung segera melakukan razia terhadap bus pengangkut karyawan. Diduga, banyak bus pengangkut karyawan yang beroperasi di Kab. Bandung tidak mengantongi izin dari Dishub.

Anggota Komisi B, Tb. Raditya, Jumat (27/6), mengatakan, pihaknya telah didatangi oleh anggota Serikat Pekerja Transportasi Indonesia (SPTI) Kab. Bandung, yang melaporkan penghasilan anggotanya dari unsur sopir angkot menurun drastis. SPTI melaporkan, bahwa penurunan penghasilan anggotanya sebagai akibat banyaknya perusahaan bus angkutan karyawan yang beroperasi di Kab. Bandung.

Selain menggangu penghasilan sopir angkutan umum di Kab. Bandung, Raditya menemukan, penghasilan daerah dari retribusi bus angkutan karyawan ternyata sangat kecil. Karena itu Komisi B meminta Dishub untuk melakukan razia dan memeriksa seberapa banyak bus angkutan karyawan yang mengantongi izin beroperasi di wilayah kab. Bandung.

"Kalau dilihat dari jumlah riil, seharusnya penghasilan daerah dari retribusi bus angkutan karyawan besar. Tapi dari data yang saya lihat, penghasilan daerah dari retribusi itu sangat kecil," kata Raditya.

Menurut Raditya, akibat banyaknya bus angkutan karyawan yang beroperasi di wilayah Kab. Bandung, banyak jalur angkot yang nyaris mati. Akibatnya, sopir angkot memprotes beroperasinya angkutan-angkutan liar itu.

"Bus angkutan karyawan itu tidak disediakan oleh perusahaan tempat karyawan bekerja. Bus itu di-outsource dari perusahaan penyewaan bus, dan karyawan yang menggunakan jasanya juga ditarik bayaran," ujar Raditya.

Kadishub Kab. Bandung, Deni Asmara Hadi mengatakan, bus angkutan karyawan yang memiliki izin beroperasi di Kab. Bandung jumlahnya hanya sekitar 150 buah. Dishub sendiri belum mengetahui jumlah bus yang secara riil beroperasi di lapangan.

Menurut dia, untuk menertibkan bus angkutan karyawan, bukan persoalan sederhana, karena merupakan isu lintas wilayah. Setidaknya diperlukan koordinasi dengan Pemkot Bandung, dan Pemprov Jabar.

Koordinasi itu diperlukan, karena banyak bus yang beroperasi di Kab. Bandung tapi domisili perusahaan busnya ada di Kota Bandung. Karena itu izin operasinya dikeluarkan oleh Pemkot Bandung. Dan karena merupakan isu lintas wilayah, dibutuhkan koordinasi dengan Pemprov Jabar.(A-132/A-147)***
Terkait Rencana TPBUN
Lahan Nagreg untuk Fasos-Fasum



SOREANG, (GM).-
Meskipun dari segi perizinan rencana pembangunan tempat pemakaman bukan umum nonmuslim (TPBUN) di Kec. Nagreg dinilai masih mentah, berdasarkan rencana tata ruang tata wilayah (RTRW) terbaru Kab. Bandung, lahan di kawasan tersebut diperuntukkan bagi fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum). RTRW Kab. Bandung sendiri saat ini masih dikaji di Bagian Hukum Pemprov Jabar, setelah disahkan pemerintah pusat.

Dikatakan mantan anggota panitia khusus (pansus) RTRW DPRD Kab. Bandung, Tatan Bambang kepada "GM" di Soreang, Kamis (17/7), menyikapi pro kontra pendirian TPBUN di tiga desa di Kec. Nagreg, rencana pendirian TPBUN tersebut sudah muncul sejak lama.

"Ketika pemakaman Cikadut yang saat itu masuk wilayah Kab. Bandung secara administrtaif menjadi wilayah Kota Bandung dan ada wacana untuk mencari penggantinya," ujarnya.

Disebutkan anggota dewan dari Fraksi Golkar ini, untuk menggantikan lahan tersebut di dalam rapat dimunculkan wilayah Kec. Nagreg sebagai pilihan lokasi dan kemudian dituangkan dalam RTRW.

"Berdasarkan RTRW perubahan yang baru disahkan, lokasi tersebut memang diperuntukkan bagi fasos dan fasum. Sedangkan detailnya mengacu pada rencana detail tata ruang kecamatan (RDTRK)," ujarnya.

Dijelaskannya, dengan telah tertuangnya rencana tersebut dalam RTRW, dilihat dari segi aturan tidak ada yang menyalahi peruntukannya.

"Selanjutnya untuk lebih detail akan dikaji dinas terkait untuk dikeluarkan izin pemanfaatan tanah (IPT), selain juga peninjauan dari aspek sosial dan umumnya. Sedangkan perizinan selanjutnya akan diproses oleh bagian perizinan," jelasnya.

Lihat aturan

Sedangkan dikatakan anggota Fraksi Golkar lainnya, Tb. Raditya, jika RTRW sudah disahkan dan segala prosedur ditempuh, tidak ada alasan untuk pemkab menahan perizinan. "Yang terpenting sesuai RTRW dan masyarakat dilibatkan sehingga dapat memberikan muliplier effect pada masyarakat sekitar," jelasnya.

DPRD Kab. Bandung sendiri saat ini masih menunggu RTRW tersebut karena masih dalam pembahasan bagian hukum provinsi.

"Yang dikhawatirkan adalah menyalahi tata ruang, karena berdasarkan Undang-undang No. 26/2007 tentang Tata Ruang bila menyalahi peruntukannya, siapa pun yang mengizinkan akan dikenai hukum pidana selain juga denda," tegasnya.

Sementara itu, anggota DPRD dari Partai Amanat Nasional (PAN), M. Najib Qodratullah menyatakan, selain menempuh proses perizinan yang harus dilakukan, perlu dikaji pula efek lain yang bisa ditimbulkan.

"Bagaimana efek sosial nantinya serta efek ekonomi yang mungkin bisa dirasakan masyarakat. Sehingga jika memang sudah sesuai, kenapa tidak dilakukan pembangunan," urainya.

Dalam perizinan, lanjut Najib, harus juga melibatkan masyarakat sehingga tidak terjadi pro kontra yang akhirnya merugikan semua pihak. (B.89)**

Kamis, Juli 17, 2008

Siswa Miskin Dibariskan di Lapangan



SUDAH beberapa kali Siti Maesaroh dipanggil oleh pihak sekolah, dibariskan di lapangan basket bersama siswa miskin lainnya, lalu diberi tahu bahwa mereka tidak bisa mengikuti ujian sekolah, karena mereka belum melunasi SPP, DSP, dan lain-lain. Setiap sesudah menerima peringatan yang menyakitkan itu, siswa kelas X sebuah SMA negeri di Cicalengka itu, pulang ke rumah sambil menangis, dan mengadukan rasa malu yang ditanggungnya kepada kedua orang tuanya.

Untuk bisa mengikuti ujian tengah semester dan ujian akhir semester, orang tua Maesaroh harus datang ke sekolah. Setelah berdebat dan mengiba, kartu ujian untuk Maesaroh baru bisa didapatkan orang tuanya.

Bukan itu saja yang dilakukan sekolah itu, kepada Maesaroh dan siswa miskin lainnya. Sejak semester pertama sampai semester kedua, mereka tidak diberi buku rapor. Alasannya sama, mereka belum menyelesaikan pembayaran uang ke sekolah.

"Padahal, saya memasukkan anak saya ke sekolah itu dengan menyertakan surat keterangan tidak mampu dari kelurahan dan kecamatan. Kenapa anak saya masih terus ditagih uang dan tidak diberi hak untuk mendapatkan buku rapor?" kata ayah Maesaroh, Wawan Setiawan (53), saat ditemui, Rabu (16/7).

Warga Kp. Cikopo, Desa Babakan Peuteuy, Kec. Cicalengka, Kab. Bandung itu merasa heran dengan sikap pengelola sekolah. Sejak awal memasukkan anaknya ke sekolah itu, dia sudah mendaftarkan diri sebagai orang tidak mampu, dan menyertakan semua dokumen yang mengesahkannya sebagai orang tidak mampu. Namun, pihak sekolah menutup mata atas keadaannya, dan terus menagih uang atas biaya pendidikan Siti Maesaroh di sekolah itu. Jumlah tagihannya saat ini mencapai Rp 2, 428 juta.

"Sudah berkali-kali saya menghadap ke sekolah, dan mengatakan kalau saya orang tidak mampu, dan memasukkan anak saya ke sekolah itu melalui jalur orang tidak mampu, tetapi pihak sekolah tidak mau mendengar. Kata mereka, kalau saya ingin mendapatkan raport anak saya, saya harus melunasi semua tunggakan yang ditagihkan sekolah kepada saya," kata Wawan.

Wawan sangat menyesalkan sikap pengelola sekolah yang sangat arogan. Setiap kali dia meminta untuk bertemu dengan kepala sekolah, selalu ditolak. Bahkan, ketika berbicara dengan seorang staf tata usaha sekolah itu, dia diberi tahu, wajar jika anaknya tidak bisa mendapatkan raport karena belum melunasi semua tagihan dari sekolah. Perkataan yang sangat menyakitkan hati Wawan.

"Katanya, saya hanya berhak untuk mendapatkan fotokopi dari raport anak saya, jika saya belum melunasi tagihan itu. Padahal setahu saya, saat daftar ulang anak saya harus mengembalikan buku raport yang sudah diketahui orang tuanya. Ini sama saja dengan memberi tahu bahwa anak saya tidak bisa mendaftar ulang di sekolah itu," ujar Wawan.

Dengan perasaan kecewa, Wawan membuat surat terbuka kepada Bupati Bandung, Obar Sobarna. Surat itu dia serahkan langsung ke tangan bupati, seusai salat Zuhur di Gedung Moh. Toha, Pemkab Bandung, Rabu (16/7). Tetapi, Obar belum bisa menjanjikan apa pun kepada Wawan.

DPRD geram


Wawan juga mengadukan nasibnya ke DPRD Kab. Bandung. Mendengar kisah Wawan, Ketua DPRD Agus Yasmin dan anggota Komisi B Tb. Raditya, merasa geram atas sikap sekolah. "Kepala sekolahnya harus ditarik ke Dinas Pendidikan dan dibina kembali. Melakukan diskriminasi terhadap siswa miskin sangat menyakitkan hati rakyat," kata Agus Yasmin.

Pada saat yang bersamaan, Raditya menelefon Kabid SMA Dinas Pendidikan Kab. Bandung, Hudaya, untuk menanyakan persoalan itu. Hudaya menjawab, pihaknya akan segera mengatasi persoalan itu, dan menanyakan nomor induk Siti Maesaroh untuk penanganan lebih lanjut.

"Menjejerkan siswa tidak mampu di lapangan itu tindakan yang sangat tidak manusiawi. Apa sekolah tidak memiliki cara lain dalam memperlakukan siswa tidak mampu? Saya curiga kejadian ini tidak hanya terjadi pada Siti Maesaroh dan teman-temannya," tutur Raditya.

Agus Yasmin menegaskan, DPRD Kab. Bandung akan menerjunkan anggotanya ke lapangan untuk melakukan pemeriksaan. "Saya sendiri akan ikut turun ke lapangan," kata Agus Yasmin. (Zaky Yamani/"PR")***
Pemkab Bandung Diminta Keluarkan Aturan


SOREANG, (GM).-
Komisi B DPRD Kab. Bandung menyarankan agar Bupati Bandung segera mengeluarkan aturan yang jelas dalam hal pendirian tower. Sejauh ini pemkab belum memilikinya sehingga rawan terjadi konflik dan ketidakpastian investasi bagi para pengusaha telekomunikasi.

Dikatakan anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung, Tb. Raditya kepada "GM" di Soreang, Rabu (16/7), bupati bisa mengeluarkan aturan tersebut apa pun bentuknya. Sehingga bisa dijadikan panduan jelas bagi semua.

"Bupati bisa keluarkan peraturan bupati (perbup) atau juga peraturan daerah, yang mengatur hal ini. Selain akan mengatur pendirian tower, juga akan memberikan kepastian investasi bagi pengusaha," ungkapnya.

Dilanjutkan anggota dewan dari Partai Golkar ini, bila eksekutif masih belum melakukan hal tersebut, DPRD bisa saja memberlakukan perda inisiatif. "Sudah hampir setahun aturan yang mengatur pendirian tower ini tidak jelas. Padahal banyak investor yang menanti kepastian aturan agar tidak menjadi masalah saat tower sudah didirikan," ujar Raditya.

Disebutkannya, jika aturan tidak segera dikeluarkan, dikhawatirkan antara warga dan pengusaha terjadi konflik akibat ketidaktegasan batasan-batasan yang harus dipatuhi.

"Pada akhirnya antara warga dan pengusaha, memiliki persepsi sendiri-sendiri yang akhirnya memancing permasalahan di lapangan," papar Raditya.

Selain itu, lanjutnya, antara warga dengan pengusaha memiliki kewajiban masing-masing yang harus dipenuhi. "Warga pun berhak atas jasa layanan komunikasi dan pengusaha memiliki hak untuk menyediakan jasa layanan tersebut," ujarnya.

Selain memberikan kepastian antara warga dan pengusaha dengan terbitnya aturan, pemerintah pun memiliki kekuatan menegakkan aturan.

"Terlebih dengan akan diberlakukannya rencana tata ruang dan tata wilayah, aturan-aturan terhadap peruntukan lahan menjadi lebih jelas dan jika melanggar, sanksi menjadi lebih tegas," ujarnya.

Menyinggung tentang konsep pendirian tower yang akan dipergunakan bersama, langkah tersebut adalah upaya penertiban sesuai aturan dari pusat. "Pada prinsipnya kita harus meliliki aturan sendiri yang mengacu pada keputusan pusat tersebut," ujarnya.

Selain itu, katanya, dalam proses pendirian tower para pengusaha harus melibatkan masyarakat dan masyarakat tidak dirugikan. (B.89)**
Izin TPBU Nonmuslim di Nagreg Masih Mentah


NAGREG, (GM).-
Kepala Badan Penanaman Modal dan Perizinan Pemkab Bandung, Drs. Agus Suratman, Senin (16/7) menegaskan, izin rencana pendirian Tempat Pemakaman Bukan Umum Nonmuslim (TPBUN) masih mentah karena terjadi pro kontra di masyarakat.

Menurutnya Pemkab Bandung belum merekomendasikan apa pun terhadap perizinan tersebut dan saat ini masih dibahas.

Sedangkan anggota Komisi B DPRD Kabupaten Bandung, Tb. Raditya menegaskan agar pemkab tidak mengeluarkan perizinan apa pun sebelum melihat rencana tata ruang dan tata wilayah (RTRW). "RTRW baru saja disahkan, lihat dulu apakah betul wilayah tersebut telah sesuai dengan peruntukannya atau tidak," tegas anggota dewan dari Partai Golkar tersebut.

Sementara itu, sejumlah tokoh masyarakat yang mengatasnamakan partai politik, Majelis Ulama Indonesia (MUI), aparat desa, Forum Masyarakat Peduli Nagreg, Kosgoro, Generasi Masyarakat Daerah Indonesia, Karang taruna, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Kec. Nagreg, Kab. Bandung menyatakan, mendukung dan tidak keberatan terhadap rencana pembangunan TPBUN di tiga desa di kecamatan tersebut. Bentuk dukungan dari sejumlah elemen masyarakat itu, dibuktikan secara akurat dalam sebuah tulisan tanda tangan di atas kertas berikut cap dari masing-masing elemen.

Rencana pembangunan TPBUN pada lahan seluas 40 hektare (bukan 300 ha) itu, tersebar di Desa Nagreg, Ciherang, dan Desa Bojong. Maka untuk menghindari terjadinya polemik dan pemahaman yang berbeda di lapangan, mereka meminta Bupati Bandung segera mengeluarkan izin pengelolaan dan peruntukan tanah (IPPT).

"Sebenarnya, di lapangan sudah tidak ada masalah. Sebagian besar masyarakat mendukung rencana pembangunan TPBUN, selama pembangunan itu tidak merugikan warga setempat. Jadi yang menyatakan warga Nagreg itu resah, sebenarnya tidak benar. Itu merupakan sebuah bentuk kebohongan publik," kata Ketua PAC PDI Perjuangan Kec. Nagreg, Iri Suhaeri diamini sesepuh Nagreg, Dadang, Sekretaris MUI Kec. Nagreg, pengurus karang taruna, dan tokoh masyarakat/pemuda lainnya di Kantor Camat Nagreg, Selasa (15/7).

Menurut mereka, yang membuat resah itu hanya ulah segelintir orang setelah memberikan pernyataan ke media massa. "Jadi, siapa yang resah itu gapoktan atau masyarakat? Sedangkan di masyarakat sendiri, hingga saat ini belum ada reaksi atau masalah, apalagi terjadi keresahan. Hingga saat ini, di tengah masyarakat masih tetap kondusif," tutur Iri.

Karena itu, imbuh Dadang, rencana pembangunan TPBUN itu merupakan sebuah bentuk tindakan positif. Karena secara ekonomi dapat membantu warga setempat, selain dapat menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran.

Ketua Karang Taruna Desa Nagreg, Nanang Rihana menyatakan, lahan seluas 40 ha yang akan digunakan TPBUN itu, berada pada lahan tidak produktif atau lahan tidur. Lahan seluas itu ditumbuhi eurih.

"Daripada tidak produktif, lebih baik digunakan untuk pemakaman. Dengan harapan, pemakaman nonmuslim yang saat ini ditempatkan di Nagreg tidak tercecer. Intinya, kami mendukung pembangunan itu atas dasar kepentingan umat," kata Nanang. Di tempat sama, Sekretaris MUI Kec. Nagreg, Dedi Suhaedi mengakui, rencana pembangunan TPBUN ini sempat dibahas dan dikaji di jajaran MUI Kec. Nagreg. (B.105/B.89)**
HU GALAMEDIA

Senin, Juli 14, 2008

Perda Zonasi Pasar



SOREANG, (GM).-
DPRD Kab. Bandung akan mengajukan peraturan daerah (perda) inisiatif tentang pengaturan zonasi keberadaan pasar modern di tengah pasar tradisional. Perda yang segera akan dilakukan pembahasan dengan eksekutif tersebut, juga akan mengatur pengelolaan pasar oleh pihak swasta.

Menurut anggota panitia khusus (pansus) pembahasan perda ini, Tb. Raditya, di Soreang, Senin (14/7), keberadaan pasar modern yang terus menjamur diharapkan tidak mematikan usaha pasar tradisional. "Untuk itu kita di pansus akan melakukan pembahasan yang lebih dititikberatkan kepada masalah zonasi yang nantinya mengatur lebih jelas berapa jarak yang diperbolehkan untuk mendirikan pasar modern dari pasar tradisional," ujarnya.

Dijelaskan anggota dewan dari Partai Golkar tersebut, pembahasan perda yang saat ini masih dalam rancangan peraturan daerah (raperda), ditargetkan selesai sebelum pengesahan Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW) Kab. Bandung di tingkat pusat. "Raperda yang sempat tertahan dua tahun tersebut, sejalan dengan pengesahan RTRW, harus segera dimasukkan ke rencana tata ruang kecamatan," jelas Raditya.

Imbauan

Dihubungi terpisah, Kepala Dinas Perdagangan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Kabupaten Bandung, Abeng K. Husen mengatakan menyambut baik usulan raperda dari dewan tersebut. "Dengan tidak menghalangi kesempatan berusaha, yang terpenting adalah mengatur zonasinya sehingga ada batasan jelas dalam radius berapa pasar modern bisa berdampingan dengan pasar tradisional," ujarnya.

Ditambahkannya, pasar-pasar tradisional harus dilindungi dari semakin maraknya pasar modern. Meskipun saat ini Pemkab Bandung sudah melakukan imbauan. "Kami sekarang ini hanya bisa memberikan imbauan agar sebelum mendirikan pasar modern seperti minimarket-minimarket, karena jika melarang ada aturan yang berarti dilanggar," ungkap Abeng. (B.89)**From Rano Galamedia

Jumat, Juli 04, 2008

DPRD Sarankan Revisi Perbup KUKM

Thursday, 03 July 2008

BANDUNG(SINDO) – Komisi B DPRD Kabupaten Bandung menyarankan agar Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 20 tahun 2007 tentang Penyertaan Modal bagi Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah (KUKM) di Kabupaten Bandung direvisi.

Sebab,tingkat penyaluran kredit hingga saat ini baru mencapai 21%. Revisi tersebut diperlukan mengingat selama ini penyaluran modal sebesar Rp10 miliar di BRI Cabang Majalaya yang bersumber dari APBD Kabupaten Bandung 2007 untuk kredit KUKM itu masih terkendala beberapa hal. Salah satu kendala tersebut yakni dalam penyaluran kredit tersebut hanya bisa dilakukan di BRI Cabang Majalaya,tidak untuk unit BRI di kecamatan lain.

”Kami juga menyarankan agar syarat permohonan kredit tidak terlalu ketat, meski BRI tetap harus memegang azas prudent (kehati-hatian). Ini untuk meningkatkan realisasi penyaluran kredit untuk KUKM,”kata anggota Komisi B DPRD Kabupaten Bandung, Tubagus Raditya kepada wartawan kemarin.

Raditya menilai,kredit tersebut sangat membantu KUKM dengan bunga flat7% per tahun.Sementara,4% di antaranya untuk bank penyalur kredit, 1% untuk penyertaan pemanfaatan modal, dan 2% dikembalikan ke pihak KUKM untuk meringankan bunga bank.

”Program Pemkab Bandung ini lebih baik dari program kredit usaha rakyat (KUR) dari pemerintah pusat. Hanya saja, masih banyak KUKM yang belum mengerti bagaimana cara mengajukan kredit ini.Karena itu,BRI dan Dinas KUKM Kabupaten Bandung perlu menggiatkan sosialisasi tentang program ini,” tandas Raditya.

Kendati demikian, masih terdapat kekurangan ketika plafon kredit yang diberikan untuk koperasi maksimal berkisar Rp50 juta dan untuk UKM individu sekitar Rp25 juta.Karena itu,lanjut dia,hal lain yang perlu direvisi dalam Perbup tersebut adalah peningkatan plafon kredit yang bisa disalurkan ke KUKM.Hal ini penting agar dapat merealisasikan program tersebut.

Pimpinan Cabang BRI Majalaya Supardi Sartono membeberkan, dari Rp10 miliar yang disimpan di BRI Majalaya, Rp9 miliar di antaranya disimpan di rekening BRI konvensional, dan Rp1 miliar di BRI Syariah.

”Yang menggembirakan adalah penyaluran kredit yang bersumber dari rekening syariah penyalurannya sudah mencapai 55%. Bahkan, ada pengembalian modal dari KUKM ke BRI hingga mencapai Rp700 juta,”ungkap Sartono. (iwa ahmad sugriwa) Sindo



 

Rabu, Juli 02, 2008

DPRD Minta Pemda Data Ulang Aset

SOREANG, (PR).-
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kab. Bandung minta supaya Pemkab Bandung segera mendata ulang aset-asetnya dan membuat sertifikasinya. Salah satu aset yang belum dibuat sertifikasinya adalah kompleks Pemkab Bandung dan DPRD Kab. Bandung.

"Ini membuat aset yang dimiliki pemkab menjadi rawan konflik dengan masyarakat," kata anggota Komisi B, Tb. Raditya, Rabu (2/7).

Menurut Raditya, pendataan aset pun harus dilakukan secara berkesinambungan, mengingat perubahan situasi yang bisa terjadi setiap saat.

"Misalnya, setelah Bandung Barat berpisah dari kita, bagaimana nasib aset kita yang masih ada di sana? Pemerintah juga harus memberitahu masyarakat, seberapa banyak aset yang kita miliki," kata Raditya.

Selain gedung dan kantor pemerintahan, sekolah-sekolah negeri yang ada di Kab. Bandung juga banyak yang belum disertifikasi. Misalnya, SMP 3 Lembang dan SMPN 2 Banjaran.

Dipegang sekda

Raditya mengatakan, DPRD tidak pernah diberi data mengenai aset yang ada. Selama ini data mengenai aset hanya dipegang oleh Sekretariat Daerah Kab. Bandung.

"Bukan hanya bangunan dan tanah yang harus didata. Tetapi juga kendaraan, fasilitas kantor seperti meja, kursi, komputer, dan lainnya. Selama ini data aset itu tercecer di mana-mana. Seharusnya ada juga data tentang berapa nilai aset itu jika dirupiahkan, setelah dihitung penurunan nilainnya," kata Raditya.

Sementara itu, tokoh masyarakat Kab. Bandung, Lili Muslihat mengatakan, kepedulian Pemkab Bandung atas aset yang dimilikinya sangat rendah. Sikap tidak peduli itu, kata Lili, bisa membuat pihak-pihak tertentu seenaknya mengklaim aset pemkab.

"Kita tahu nilai tanah itu naik terus. Kalau Pemkab Bandung tidak melakukan sertifikasi atas aset tanahnya, kita khawatir akan ada klaim dari pihak-pihak tertentu," kata Lili. (A-132)***
DPRD Kab Bandung Pertanyakan PPJU


SOREANG, (GM).-
Komisi B DPRD Kab. Bandung mempertanyakan penyelesaian masalah pajak penerangan jalan umum (PPJU) Pendopo Kota Bandung yang dibayarkan Pemkab Bandung, karena setelah kasus ini mencuat setahun lalu, DPRD Kab. Bandung belum menerima laporan perkembangan terakhirnya, baik dari PLN maupun Pemkab Bandung.

Dikatakan salah seorang anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung, M. Najib Qodratullah di Soreang, Rabu (2/7), masalah tersebut seharusnya menjadi pembicaraan antara kedua pemerintah daerah dengan melibatkan PLN. "Masalah ini pernah kami bawa hingga ke PLN Pusat dan PLN menyarankan agar diselesaiakan oleh daerah dengan melibatkan PLN area jaringan di daerah tersebut," ujarnya.

Menurut wakil ketua harian panitia anggaran ini, jika memang selama ini terdapat tagihan PPJU Kota Bandung yang dibayarkan Pemkab Bandung, kedua pemerintahan ini tinggal menghitung pengembalian uang yang sudah disetorkan. "Hingga saat ini kami belum menerima laporannya, meskipun sejak kasus ini ramai dibicarakan, katanya ada pembicaraan antara Kota dan Kab. Bandung," jelasnya.

Potensi PPJU

Dalam kesempatan yang sama, anggota Komisi B lainnya, Tb. Raditya mengatakan, dalam setiap rapat kerja dengan dinas terkait di Pemkab Bandung, berapa potensi PPJU yang ada di wilayah Kab. Bandung tidak pernah tersaji dalam data. "Belakangan kami mengetahui dari pihak PLN bahwa dinas pun tidak pernah meminta kepada PLN potensi tersebut, padahal PLN memiliki data-datanya," ungkap Raditya.

Ditambahkan, jika potensi saja tidak diketahui, dasar perhitungan apa yang dilakukan untuk membayar PPJU tersebut. "Berapa penggunaan listrik Pemkab Bandung per bulannya bila ditambahkan dengan PJU jelas tidak terhitung dengan benar, apakah PJU yang mati pun dalam hal ini turut dihitung?" ujarnya. (B.89)**
KUD Kelistrikan Tuntut Upah Pungut Rp 250 juta

SOREANG, (PR).-
Forum Koperasi Unit Desa (KUD) Kelistrikan Bandung Raya (FKKBR) menuntut upah pungut (UP) kepada pemerintah kabupaten (pemkab) Bandung senilai Rp 250 juta. Upah tersebut merupakan jasa atas setruk rekening pajak penerangan jalan umum (PPJU) konsumen yang dibayarkan melalui KUD.

Tuntutan itu disampaikan oleh FKKBR kepada Komisi B DPRD Kab. Bandung dalam pertemuan di ruang rapat Komisi B di Soreang, Selasa (1/7).

Sekretaris FKKBR Ijan Jaelani mengungkapkan, hingga saat ini KUD di Kab. Bandung tetap memungut pajak seperti biasa. "Dari nominal pembayaran tenaga listrik (PTL/rekening listrik untuk PLN-red.), tiga persennya merupakan PPJU. Upah setiap struknya adalah Rp 100,00. Namun, sejak pemerintah bekerja sama dengan bank, akhir tahun 2007, UP tersebut tidak pernah dibayarkan dari Januari sampai Juni. Kalau dijumlahkan sekitar Rp 250 juta untuk Kab. Bandung," ujar Ijang.

Ijang menambahkan, sejak akhir 2007 itu pula, pemkab memutuskan secara sepihak tentang ketentuan pembayaran melalui KUD. Pemutusan itu tertuang dalam surat pemberitahuan tertanggal 14 April 2008 yang ditandatangani oleh Wakil Bupati Bandung Yadi Srimulyadi.

Namun, FKKBR tetap menekankan kepada pemkab untuk segera menyelesaikan pembayaran itu. "Ada seribuan pekerja KUD di Kab. Bandung yang harus dibayar," kata Ijang.

Menanggapi tuntutan itu , Anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung Tubagus Raditya mengatakan, pemkab harus membayar sejumlah utang upah pungutan tersebut kepada FKKBR. "Dinas Pendapatan Daerah juga harus terbuka mengenai pengeluaran listrik di lingkungan pemkab. Pihak PLN sendiri sudah mau terbuka," ucapnya.

Raditya mengimbau kepada pemerintah memperbesar alokasi APBD untuk penerangan. "Selama ini kan 5%-15%. Coba 20% agar masyarakat lebih merasakan. Pajak PPJU ini merupakan pajak daerah terbesar. Tahun 2007 mencapai Rp 53,2 miliar," katanya. (CA-167)***
Penulis: