Sabtu, Maret 28, 2009

Pembangunan Dibiayai Uang Rakyat

Asas Manajerial Pemerintahan


          Sebuah negara seharusnya diperlakukan layaknya sebuah perusahaan. Namun, bukan dalam hal mencari keuntungan sebesar-besarnya yang dapat diraih dari uang masyarakat, melainkan dalam hal manajerial pemerintahan. Jika saja manajerial pemerintahan dilakukan oleh seorang manajer handal yang dapat mengendalikan aparat pemerintah dan wilayah layaknya mengelola perusahaan, maka hampir dipastikan daerah itu akan maju dan menyejahterakan seluruh masyarakatnya.

          Masalah keuangan adalah hal penting yang seharsnya dapat dipahami seluruh aparat negara dalam pemerintahan. Semua uang yang digunakan untuk pembangunan bahkan menggaji seluruh aparat pemerintahan pada hakikatnya adalah uang rakyat. Satu hal yang selalu dianggap salah kaprah dalam kenyataannya. Karena menganggap uang yang datang jatuh dari langit atau nenek moyangnya, maka tak heran banyak aparat negara yang menyalahgunakan keuangan negara. Masyarakat sebagai penyandang dana pembangunan pun dilupakan hingga sasaran pembangunan untuk menyejahterakan masyarakat tak tercapai.
          Sebagai contoh nyata, Raditya memberikan salah satu contoh penggunaan uang rakyat oleh aparat yang justru akan mengiris perasaan masyarakatnya sendiri. Pertangahan Desember 2008 lalu, ia sempat memberikan usulan kepada Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan (DPPK) Kab. Bandung untuk melakukan rasionalisasi biaya makan dan minum semua SKPD di Pemerintahan Kabupaten Bandung. Seperti diketahui, biaya hanya untuk makan minum seluruh SKPD dapat mencapai miliaran rupiah.
          Raditya menilai dana makan minum yang diajukan dalam rancangan APBD 2009 itu sebenarnya dapat ditekan 15% hingga 20%. Ia bahkan memberikan usulan agar menetapkan standar harga yang sama dan yang berlaku di pasaran agara efisiensi dapat dilakukan. Ia yakin efisiensi dapat dilakukan dan dana bisa dialokasikan untuk belanja modal serta dapat dikurangi belanja langsung sub-belanja barang dan jasa. Dengan demikian, belanja modal yang berhubungan dengan program di masyarakat diharapkan bisa meningkat dengan rasionalisasi itu. Khususnya tentang manajerial pemerintahan, Raditya memberikan perumpamaan yang seharusnya dipahami oleh seluruh komponen masyarakat, terutama pejabat pemerintahan.
Berikut adalah perumpamaan itu:
         
          Pemerintahan daerah adalah sebuah perusahaan induk. Perusahaan itu bersifat terbuka dan bergerak dalam bidang pelayanan dan informasi yang menjadi bisnis intinya (core bussiness). Saham dari perusahaan ini seluruhnya dimiliki oleh masyarakat. Dengan demikian, masyarakat bersifat sebagai stakeholders dalam perusahaan besar ini. Segala produk perusahaan yang menyediakan pelayanan dan informasi itu dilakukan untuk kepentingan para pemilik sahamnya. 
Kepala daerah adalah CEO dari perusahaan itu. Sementara, seluruh anggota DPRD adalah komisaris perusahaan. Untuk menampung semua aspirasi stakeholders maka CEO akan bergantung pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapeda) yang menjadi Research and Development (R&D) perusahaan itu. 
         
          Raditya menilai, struktur perusahaan ini sangat logis jika diterapkan dalam pemerintahan. Sebenarnya, tak ada belitan birokrasi yang melelahkan nalar masyarakat selama ini jika dijalankan dengan benat. Ia bahkan tak habis pikir jika banyak pejabat pemerintahan yang sama sekali tak mengutamakan kepentingan masyarakat dalam pelayanan yang sudah seharusnya dilakukan mereka. Masyarakat yang telah menyisihkan uangnya untuk jalannya pembangunan, bahkan menggai seluruh aparat pemerintahan, sudah seharusnya ditempatkan pada posisi yang tinggi, melebihi kepentingan pribadi dan golongannya.
         
          Lalu, apa yang selama ini terjadi? Raditya melihat adanya kerancuan. Pemerintahan sekarang terlihat cenderung tertutup. Para pejabat pemerintahan selalu menginginkan rakyat yang harus melayani kepentingan mereka hingga tak berani melakukan pembaruan dengan cara mengubah sistem birokrasi menjadi lebih terbuka dan transparan dalam hal apapun. 
Salah satunya mekanisme rapat umum pemegang saham (RUPS) yang seharusnya dilakukan oleh pengelola pemerintahan. CEO harus memberikan pertanggungjawaban atas jalannya perusahaan yang telah dipercayakan oleh stakeholders dalam bentuk RUPS tersebut. RUPS harus dilaksanakan secara terbuka dan dapat diketahui oleh seluruh masyarakat selaku pemegang saham pembangunan. Karena belum ada mekanisme yang mengatur masalah itu, maka seharusnya kepala daerah berinisiatif untuk melakukan survei kepuasan masyarakat. Tujuannya hanya satu: sejauh mana masyarakat dapat terlayani dengan baik oleh pemerintah yang diberikan amanat untuk mengelola keuangan mereka?
          Raditya menganalisis, yang tejadi selama ini adalah stakeholders sudah tak merasa memiliki lagi perusahaan yang telah ia biayai karena salah kaprah para pengelola perusahaannya. Dalam artian, masyarakat sudah tak lagi mempunyai rasa memiliki pemerintahannya sendiri. Salah satu alasannya yaitu masyarakat tak mengetahui sejauh mana yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam melayani keinginan mereka.
Raditya sadar, masyakakat yang harus dilayani oleh pemerintah terdiri dari banyak sekali kelompok dan golongan. Adalah sebuah perbuatan mustahil jika semua keinginan dan kepentingan seluruh kelompok dan golongan itu dapat terlayani dengan optimal. Namun, minimal, apa yang dilakukan oleh pemerintah dapat memberikan manfaat bagi kebanyakan masyarakat yang menjadi stakeholdersnya.
Khususunya di Pemerintah Kabupaten Bandung, Raditya menilai, saat ini memerlukan seorang General Affair Manager. Tugas manajer ini yang seharusnya dipegang oleh Bagian Humas yaitu dapat mengomunikasikan kepada masyarakat tentang apa-apa saja yang harus dilakukan mereka. Selain itu, juga seharusnya dapat memberikan gambaran kepada masyarakat tentang apa saja yang telah diraih oleh masyarakat.
          Dalam kondisi masyarakat madani, segala keperluan masyarakat dapat dipenuhi oleh pemerintahnya. Sebaliknya, masyarakat juga akan punya rasa memiliki terhadap wilayah dan pemerintahannya. Hal penting lainnya adalah tingkat kepercayaan yang tinggi antara masyarakat dengan pemerintahnya. Kebijakan apapun yang diberlakukan pemerintah akan disambut baik oleh masyarakatnya karena percaya bahwa kebijakan itu akan memberikan keuntungan dan mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakatnya.
 Salah satu contoh negara yang telah menjalankan asas manajerial pemerintahan dengan baik itu adalah Kanada, Jepang, dan Denmark. Mungkin pemerintahan di tanah air, khususnya pemerintahan Kabupaten Bandung, belum dapat mencapai porsi ideal seperti negara-negara tadi. Namun, jika kita tak berbuat dari sekarang, niscaya semua itu hanyalah impian. Sadar akan peran masing-masing adalah sikap tersederhana yang dapat dilakukan untuk melakukan perubahan besar itu.


Minggu, Maret 22, 2009

10 Perusahaan Buang Limbah Sembarangan


SOREANG, (PRLM).- Sampai saat ini Kab. Bandung belum memiliki fasilitas pengolahan limbah B3. Namun, kawasan untuk pengolahan itu sudah disosialisasikan, dan masih menunggu hasil amdal dari Kementerian Lingkungan Hidup.

Anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung Tb. Raditya, Rabu (4/3), mengatakan, akibat belum adanya fasilitas pengolahan limbah B3, banyak perusahaan membuang limbah itu secara sembarangan. Padahal, sanksi yang bisa dikenakan kepada mereka yang membuang mencakup pidana dan administrasi.

“Pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan limbah B3 tidak bisa sembarangan. Semua tahapan itu harus memiliki izin dari Kementerian Lingkungan Hidup,” kata Raditya.

Terhadap pelanggaran aturan limbah B3, Raditya berharap, polisi bisa ikut serta melakukan penegakkan hukum. Pasalnya, pelanggaran aturan limbah B3 adalah pelanggaran terhadap UU lingkungan hidup.

Pekan lalu, inspeksi yang dilakukan bersama antara Komisi C DPRD Kab. Bandung dan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Kab. Bandung menemukan 10 perusahaan yang membuang limbah batu bara sembarangan. Limbah batu bara itu dibuang di sekitar pemukiman penduduk, dan telah mencemari Sungai Citarum.

Sekretaris Komisi C, M. Ikhsan mengatakan, DPRD sudah membuat perda inisiatif tentang pengelolaan limbah. Dengan adanya perda tersebut, diharapkan pembuangan limbah secara sembarangan bisa dihentikan. Perda itu juga akan menentukan sanksi kepada para pelanggarnya. “Yang harus disiapkan adalah bagaimana penegakan hukumnya,” kata Ikhsan.

Sementara itu, Kasubdit B3 BPLH Kab. Bandung, H. Acib mengatakan, kawasan pengolahan limbah B3 sudah disiapkan oleh Pemkab Bandung. Persoalan tata ruang kawasan pengolahan limbah terpadu itu pun sudah diselesaikan. “Sekarang tinggal menunggu amdal dari Kementerian Lingkungan Hidup,” kata Acib. (A-132/A-147)***

Limbah Batu Bara Cemari Citarum
Kabupaten Bandung Tak Punya Pengolah Limbah B3

Bandung - Hingga saat ini Kabupaten Bandung belum memiliki fasilitas pengolahan limbah bahan beracun berbahaya (B3) karena masih menunggu hasil analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dari Kementerian Lingkungan Hidup, padahal sebenarnya kawasan untuk pengolahan itu sudah ada.
Anggota Komisi B DPRD Kabupaten Bandung, Tubagus Raditya, kepada SH di Gedung DPRD Kabupaten Bandung, Soreang, baru-baru ini mengatakan, akibat belum adanya fasilitas pengolahan limbah B3, banyak perusahaan yang membuang limbah itu secara sembarangan. Padahal, mereka bisa terkena sanksi pidana dan administrasi.
“Pengangkutan, penyimpanan dan pengolahan limbah B3 tidak bisa sembarangan. Semua tahapan itu harus memiliki izin dari Kementerian Lingkungan Hidup,” kata Raditya. Ia mengharapkan polisi ikut serta melakukan penegakan hukum, termasuk pelanggaran aturan limbah B3 dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup.
Pekan lalu, inspeksi yang dilakukan DPRD Kabupaten Bandung dan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Kabupaten Bandung menemukan sepuluh perusahaan telah membuang limbah batu bara secara sembarangan. Limbah batu bara itu dibuang di sekitar permukiman penduduk dan Curug Jompong sehingga mencemari Sungai Citarum.
Menurut Raditya, Pemkab Bandung perlu membuat perda inisiatif tentang pengelolaan limbah yang akan menentukan sanksi kepada pelanggarnya. “Pemkab Bandung sudah saatnya memikirkan sanksi yang berat kepada pembuang limbah B3 sembarangan, karena akan berdampak kepada kesehatan masyarakat sekitarnya,” jelas Raditya.
Sementara itu, Kasubdit B3 BPLH Kabupaten Bandung, H Acib, mengatakan kawasan pengolahan limbah B3 sudah disiapkan Pemkab Bandung. Persoalan tata ruang kawasan pengolahan limbah terpadu itu pun sudah diselesaikan. “Sekarang kami tinggal menunggu amdal dari Kementerian Lingkungan Hidup,” lanjutnya.
Dia mengatakan, pengelolaan limbah merupakan persoalan yang kompleks. Walaupun banyak perusahaan di Kabupaten Bandung yang sudah menjadi klien perusahaan pengangkutan dan pengolah limbah berizin, namun masih ada yang tidak melakukan kerja sama itu. “Yang tidak melakukan kerja sama itulah yang diduga melakukan pembuangan limbah sembarangan,” tegas Acib.
Namun, tidak menutup kemungkinan ada juga perusahaan pengangkutan dan pengelolaan limbah berizin yang melakukan pembuangan sembarangan. Jika hal itu terbukti, Pemkab Bandung bisa menjatuhkan sanksi administratif dan merekomendasikan agar izin perusahaan itu dicabut, serta polisi bisa mengusut kasus pidananya. “Kami memiliki keterbatasan untuk melakukan pengawasan secara keseluruhan. Tenaga yang kami miliki terbatas sehingga lebih banyak mengandalkan laporan-laporan dari masyarakat,” ungkap Acib.
Seorang tokoh masyarakat di Banjaran, Kabupaten Bandung, Tio Satria Wirya, mengemukakan masyarakatnya resah dengan banyaknya limbah batu bara yang dibuang serampangan oleh pengusaha di lahan-lahan kosong perkampungannya. “Malah limbah yang masih panas juga mereka buang. Pernah ada seorang anak hangus terbakar kakinya saat menendang-nendang bongkahan limbah sehingga dilarikan ke rumah sakit. Untungnya pengusaha ikut bertanggung jawab,” jelasnya. (saufat endrawan) 

GAKIN DITOLAK RSHS

SOREANG--Seorang warga miskin (gakin) asal Kabupaten Bandung ditolak saat akan berobat ke Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Alasan penolakan dari pihak RSHS dinilai tidak masuk akal.

Pasien gakin ini bernama Yayan Sofyan (33), warga Kampung Bojong Buah, Desa Cilampeni, Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung.''Yayan ditolak dioperasi di RSHS karena permohonannya tidak di acc (ditandatangani,re) direktur RSHS,''ujar Dadi Haryanto, sanak saudara Yayan, saat mengadu ke DPRD Kabupaten Bandung , Selasa (10/3).

Menurut Dadi, lima bulan lalu, Yayan mengalami kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan tulang pinggangnya patah. Saat itu, Yayan pernah dibawa ke bengkel tulang.Tapi, kata dia, kondisi kesehatan Yayan belum juga membaik. Yayan, kata Dadi, saat itu tidak berani memeriksakan diri ke rumah sakit. Pasalnya, Yayan tidak memiliki uang.

Pada akhir Februari lalu, Yayan diantar Dadi, memberanikan diri untuk berobat ke RSHS. Menurut Dadi, Yayan berbekal surat keterangan gakin daerah.

Ditambahkan Dadi, Yayan mendatangi RSHS untuk meminta dilakukannya operasi bedah tulang. Itupun disertai rujukan dari puskesmas dan dukun tulang. Sesampainya disana, Yayan, kata Dadi, diminta oleh petugas di RSHS, mengajukan protokol penandatanganan direktur supaya operasi bisa dilakukan.''Tapi ternyata protokol itu tidak ditandatangani oleh direktur karena direktur tidak menyetujui,''jelas Dadi.

Dalam penjelasannya, kata Dadi, RSHS meminta supaya Yayan terlebih dahulu mencoba melakukan operasi di rumah sakit terdekat. Padahal, kata Dadi, rumah sakit terdekat dengan rumah Yayan adalah RSU Soreang. Sedangkan dari fasilitas, kata dia, RSU Soreang tidak memadai untuk operasi bedah tulang.

Hingga kini, Yayan masih mengalami kesakitan di wilayah sekitar pinggang karena tulangnya masih patah. ''Makanya, kami mengadukan kepada dewan supaya Yayan bisa cepat diperiksa,''jelas Dadi.

Sementara itu, anggota Komisi B DPRD Kabupaten Bandung, Tubagus Raditya, yang menerima pengaduan Yayan dan Dadi, mengaku prihatin dengan kondisi ini.''Dalam satu minggu ini saja, saya sudah dapat dua pengaduan seperti ini,''cetus Raditya.

Menurut Raditya, harusnya RSHS menerima permintaan pengobatan yang dilakukan pasien Gakinda. Selain itu, kata Raditya, dirinya meminta supaya fasilitas kesehatan di RSU Soreang dan rumah sakit milik pmerintah daerah lainnya ditingkatkan kualitasnya. Dengan demikian, kata Raditya, para pasien gakin dari daerah tidak perlu lagi ke RSHS dan mengantri lama untuk memperoleh pengobatan. rfa/kpo

Sabtu, Maret 07, 2009

Banyak Warga yang Belum Kebagian Kompor dan Tabung Gas 3 kg

Pertamina Harus Tuntaskan Konversi


MARGAHAYU,(GM)-
DPRD Kab. Bandung meminta Pertamina untuk tidak menghentikan program konversi minyak tanah ke gas elpiji, sebelum alokasi yang telah diajukan terpenuhi. DPRD mensinyalir masih banyak warga di Kabupaten Bandung yang belum mendapatkan kompor dan tabung gas elpiji program konversi. 

Anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung, Tb. Raditya mengaku telah menerima pengaduan dari warga di wilayah Kecamatan Margahayu yang belum mendapatkan kompor dan tabung gas elpiji program konversi. Karena itu, dewan meminta Pertamina untuk melanjutkan program konversi hingga tuntas. 

"Kami mendapatkan laporan di Kecamatan Margahayu saja ada sekitar 900 kepala keluarga yang sudah diajukan mendapatkan tabung dan kompor gas, namun hingga sekarang belum juga mendapatkan," kata Raditya kepada "GM", Jumat (6/3). 

Sebelumnya, lanjut Raditya, masih ada sekitar 7 kecamatan di Kabupaten Bandung yang warganya belum semua mendapatkan kompensasi dari program pemerintah tersebut. Sebelum memutuskan untuk menghentikan program konversi di suatu wilayah, Pertamina hendaknya harus memastikan bila apa yang dilakukan telah benar-benar dituntaskan. 

"Setidaknya Pertamina dengan aparat pemerintah setempat saling berkoordinasi karena masih sering terjadi perbedaan antara data dengan kondisi di lapangan," terangnya.

Raditya juga mempertanyakan program pemberian kompor gas bagi para pelaku usaha kecil dan menengah. Para pedagang harus diberikan jenis kompor berbeda dengan rumah tangga, sesuai dengan mobilitas mereka saat menjalankan usahanya. 

"Bila jenis kompor yang digunakan sama dengan rumah tangga, kondisinya akan memberatkan. Di samping juga tidak efisien," ungkap Raditya.

Agar semua berjalan tepat sasaran, lanjut Raditya, pendataan harus melibatkan pemerintah setempat sehingga tidak terjadi kembali penyaluran yang tidak sesuai sasarannya. "Cukup banyak pelaku UKM yang membutuhkan sehingga jangan sampai terhambat penyalurannya," tambah Raditya.

Dihubungi terpisah Camat Dayeuhkolot, Drs. Tata Irawan mengakui, masih ada warganya yang belum mendapatkan kompensasi program tersebut. "Di atas kertas memang dinyatakan sudah selesai. Tapi di lapangan masih ada yang belum. Kecamatan Dayeuhkolot sendiri mendapatkan jatah sekitar 2.500 kepala keluarga penerima," tuturnya. (B.89)**

Rabu, Maret 04, 2009

Koordinasi PPJU Diberikan pada Pemda

DIPONEGORO,(GM)-
PLN memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah daerah untuk melakukan koordinasi penarikan pajak penerangan jalan umum (PPJU) terhadap pelanggan PLN yang berada di perbatasan antardaerah. PLN juga menjamin warga tak akan salah membayar PPJU, kendati mereka terdaftar sebagai pelanggan di luar domisilinya.

Demikian dikatakan Deputy Manager Communication PLN Distribusi Jawa Barat-Banten (DJBB), Adang Dzarkasih kepada wartawan di kawasan Jln. Diponegoro Bandung, Rabu (4/3). 

Menurut Adang, PLN telah memiliki sistem. Meskipun seorang pelanggan tinggal di Kabupaten Bandung dan terdaftar sebagai pelanggan area pelayanan jaringan di Kota Bandung, namun pembayaran PPJU-nya sesuai dengan aturan di mana pelanggan itu tinggal. "Jadi tidak akan salah," ungkapnya.

Dikatakannya, setiap daerah memiliki aturan sendiri untuk besaran PPJU yang akan dipungut. Besaran PPJU ditetapkan melalui peraturan daerah (perda). 

Disebutkannya, PLN hanya bertugas melakukan pungutan melalui rekening listrik yang dibayarkan dan pemerintah daerah telah memiliki database siapa saja warganya yang tercatat sebagai pelanggan di luar area pelayanan jaringan PLN di wilayahnya. 

"Kedua pemerintah daerah telah memiliki kesepakatan, berapa besaran pajak yang nantinya diberikan dan dibagikan antara kedua daerah perbatasan tersebut," bebernya.

Seperti diketahui, Komisi B DPRD Kabupaten Bandung pernah mendapatkan pengaduan dari warga yang tinggal di perbatasan antara Kota Bandung dan Kabupaten Bandung. Mereka khawatir PPJU yang selama ini dibayarkan masuk ke kas daerah Kota Bandung, karena mereka terdaftar sebagai pelanggan di kantor area pelayanan jaringan di Kota Bandung.

Mereka juga mengkhawatirkan rencana kenaikan PPJU Kota Bandung menjadi 5 persen yang dinilai akan memberatkan. Padahal, sesuai dengan perda di Kabupaten Bandung, besaran PPJU Kabupaten Bandung yang dibebankan bersama tagihan listrik adalah 3,5 persen.

Anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung, Tb. Raditya mengungkapkan, sistem komputerisasi yang sudah dilakukan PLN hendaknya mulai menata pelanggan mereka sesuai dengan eksisting tempat tinggal pelanggan. (B.89)**

Banyak Pabrik Buang Limbah Batu Bara Sembarangan
Kab. Bandung Butuh Instalasi Limbah B3


SOREANG,(GM)-
Meski banyak pabrik yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakarnya, namun sampai sekarang belum ada fasilitas pengolahan limbah B3 di Kab. Bandung. Akibatnya banyak pabrik di Kab. Bandung yang menyimpan dan membuang limbah batu bara secara sembarangan. 

Tubagus Raditya, salah seorang anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung kepada "GM", Rabu (4/3) mengatakan, selama ini banyak pabrik yang menggunakan batu bara yang membuang limbahnya sembarangan. Padahal limbah batu bara ini sangat berbahaya bagi masyarakat.

"Untuk limbah batu bara ini sangat ketat perizinannya. Jangankan untuk mengolah, untuk pengangkutan dan penyimpanannya saja tidak sembarangan, harus ada izin dari Kementerian Lingkungan Hidup. Jadi jika disimpan atau dibuang begitu saja, sangat berbahaya," tegasnya. 

Pelanggaran tersebut, lanjut Raditya, bukan hanya menjadi tugas Pemkab Bandung untuk menindaknya. Kepolisian juga perlu andil sebab telah melanggar Undang-undang Lingkungan Hidup.

Dikatakan Raditya, banyaknya pabrik yang membuang limbah batu bara di antaranya disebabkan belum adanya fasilitas pengolahan limbah batu bara di Kab. Bandung. "Dulu memang sudah ada rencana pembuatan kawasan untuk pengolahan limbah batu bara di daerah Majalaya. Tapi hingga kini belum ada realisasinya," ujarnya.

Hal yang sama dikatakan Moch. Ikhsan, salah seorang anggota Komisi C DPRD Kab. Bandung, beberapa waktu lalu. Menurut Ikhsan, hampir 99% pabrik di Kab. Bandung bermasalah dalam membuang limbah batubara. 

"Kita pernah survei dan hampir semua pabrik tidak mempunyai tempat pembuangan sementara (TPS) limbah batu bara yang semestinya," katanya.

Tunggu uji amdal

Sementara itu Kasubdit B3 Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Kab. Bandung, H. Acib mengatakan, pembangunan kawasan pengolahan limbah B3 sudah disiapkan oleh Pemkab Bandung. "Sekarang kita tinggal menunggu amdal dari Kementerian Lingkungan Hidup," kata Acib.

Persoalan pengelolaan limbah, lanjut Acib, merupakan persoalan yang kompleks. Walaupun banyak perusahaan di Kab. Bandung yang sudah menjadi klien perusahaan pengangkutan dan pengolahan limbah berizin, namun masih ada yang tidak melakukan kerja sama itu.

"Yang tidak melakukan kerja sama itulah yang diduga melakukan pembuangan limbah sembarangan," kata Acib.

Menurut Acib, tidak menutup kemungkinan ada juga perusahaan pengangkutan dan pengelolaan limbah berizin yang membuang limbah secara sembarangan. Jika hal itu terbukti, Pemkab Bandung bisa menjatuhkan sanksi administratif dengan merekomendasikan agar izin perusahaan itu dicabut. Sedangkan polisi dapat mengusut kasus pidananya. (B.97)**