Minggu, Agustus 31, 2008

Sumber Elsinta 7/5/2008 1:14 WIB

DPRD Kabupaten Bandung Tolak Rencana Kenaikan BBM


Atep Abdillah - Bandung, Komisi B DPRD Kabupaten Bandung menolak rencana Pemerintah Pusat yg akan menaikan harga BBM, pada bulan Juni depan. Kenaikan tersebut dikhawatirkan akan semakin menaikan angka kemiskinan. Demikiann ditegaskan anggota Komisi B DPRD Kabupaten Bandung, Tubagus Raditya.

Menurut Tubagus, jika kenaikan harga minyak dunia lebih disebabkan oleh bertambahnya demand minyak hal itu merupakan cara pandang yang salah, karena kenaikan minyak dunia lebih merupakan permainan spekulan kontrak berjangka komoditas yang mengerek spekulan mendapat keuntungan besar.

Tubagus mengkhawatirkan kenaikan harga BBM akan berdampak pada terjadinya inflasi yang besar dan tak terkendali yang berdampak pada harga komoditas lain, hingga menyebabkan daya beli masyarakat yang kurang. Hal ini tentunya akan juga dirasakan di daerah. (sik)
Tiga Sekolah Terancam Disegel Warga


TribunJabar Online, 07/07/08

BANJARAN, TRIBUN - Menjelang tahun ajaran baru 2008/2009, tiga sekolah negeri di Kabupaten Bandung terancam disegel oleh warga karena menempati lahan yang bermasalah. Ketiga sekolah tersebut yaitu SMP Negeri 3 Lembang, SMP Negeri 2 Banjaran dan SMA Negeri 2 Banjaran. Ketiganya menempati tanah yang belum jelas siapa pemiliknya karena belum bersertifikat.

Berdasarkan hasil studi dari Komisi B DPRD Kabupaten Bandung, ketiga sekolah milik pemerintah tersebut menempati tanah yang masih disengketakan kepemilikannya antara warga yang mengaku sebagai hak waris dan pemerintah yang "keukeuh" menyatakan tanah itu hasil wakaf dari warga.

"Ini terjadi karena pemerintah dulunya tidak pernah melakukan pendataan dan sertifikasi tanah tersebut, sehingga akhirnya bermasalah dan terancam terjadi penyegelan oleh pemilik tanah," jelas anggota Komisi B DPRD Kabupaten Bandung, Tubagus Raditya, kemarin (6/7).

Ancaman penyegelan tersebut bukan hanya isapan jempol. Terbukti beberapa pemilik tanah atau hak waris tanah pernah menyegel secara sepihak beberapa waktu lalu. Jika tidak diselesaikan , dalam waktu dekat ketiga sekolah tersebut akan kembali disegel secara sepihak oleh pemilik tanah.

Raditya mencontohkan kasus SDN Pamucatan Arjasari, Februari lalu, yang sempat disegel dan digembok oleh pemilik tanah, Suparwan. Kemudian SDN Ciodeng Baleendah juga mengalami hal serupa setelah pemilik tanah Jaja meminta hak-haknya sebagai pemilik tanah seluas 30 tumbak yang dijadikan sekolah tersebut dikembalikan.

"Kami mengusulkan perlunya dibentuk pansus untuk mendata aset-aset daerah, terutama bangunan sekolah, agar masyarakat mengetahui berapa besar kondisi aset pemkab sebenarnya sehingga tidak akan timbul permasalahan di kemudian hari," jelasnya.

Saat diminta tanggapannya, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung, Drs Wachdan MSi, mengatakan pihaknya akan mengecek secepatnya. "Kami akan segera mengeceknya," jawabnya singkat. (tor)

Lahan Bermasalah
• SMP Negeri 3 Lembang
• SMP Negeri 2 Banjaran
• SMA Negeri 2 Banjaran
Kasus Penyegelan
• SDN Pamucatan Arjasari disegel dan digembok pemilik tanah, Suparwan
• SDN Ciodeng Baleendah disegel pemilik tanah Jaja
Rabu, 9 Juli 2008 - Republika -

Kursi DPRD Makin Mahal

Kursi DPRD Makin Mahal Untuk bisa jadi anggota DPRD minimal perlu dana Rp 500 juta hingga Rp 750 juta.

SOREANG -- Untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Kabupaten Bandung, seorang calon anggota legislatif (caleg) harus merogoh kocek yang sangat dalam. Berbagai proses pemilihan umum anggota DPRD, mulai dari persiapan, logistik, hingga kampanye, akan menelan dana yang sangat besar.

''Minimal, dibutuhkan dana antara Rp 500 juta hingga Rp 750 juta,'' ujar politisi dari Partai Golkar, Tubagus Raditya, yang saat ini berstatus sebagai anggota DPRD Kabupaten Bandung, Selasa (8/7). Menurut Didit, panggilan akrab Tubagus Raditya, mahalnya ongkos menjadi seorang anggota DPRD Kabupaten Bandung ini terjadi akibat adanya perubahan konsep pemilu legislatif.

Perubahan konsep yang sangat penting, kata dia, adalah mengenai penetapan anggota legislatif (aleg) berdasarkan perolehan 30 persen suara bilangan pembagi pemilih (BPP). Sedangkan pada sebelumnya, keterpilihan caleg menjadi anggota legislatif disyaratkan harus memenuhi 100 persen BPP. Jika syarat ini tak terpenuhi, maka penentuan anggota legislatif didasarkan pada nomor urut caleg.

''Pemilu anggota DPRD menjadi lebih dominan pada personal, bukan lagi pada partai,''cetus Didit. Dengan adanya persyaratan ini, kata Didit, penentuan nomor urut kecil ataupun nomor besar, menjadi tidak menentukan. Selama caleg bisa memperoleh 30 persen BPP, maka caleg tersebut akan terpilih menjadi anggota legislatif.

Akibat dari persyaratan ini, kata Didit, tingkat kompetisi di kalangan internal partai menjadi sangat ketat. ''Itu belum termasuk persaingan dengan caleg dari luar partai,'' ujar dia menjelaskan.

Dalam satu daerah pemilihan (dapil), kata Didit, satu partai bisa menempatkan 10 calegnya untuk bersaing memperebutkan kursi legislatif. Kalau misalnya terdapat 34 parpol yang terdaftar sebagai peserta pemilu, berarti akan terdapat 340 caleg yang akan berkompetisi dalam satu dapil. Sedangkan dalam satu dapil versi KPUD Kabupaten Bandung, terdapat tiga sampai lima kecamatan.

Faktor lain yang akan membengkakkan biaya untuk meraih kursi DPRD, kata Didit, adalah lamanya jadwal kampanye yang ditetapkan KPU Pusat. ''Jadwal kampanye itu dimulai dari 12 Juli 2008 hingga 5 April 2009,'' ungkap dia.

Untuk memprediksi besaran biaya yang harus dikeluarkan, Didit memberikan sedikit gambaran. Menurut dia, harga kaos untuk kampanye dengan bahan paling jelek bernilai Rp 5.000 per helai. Jika BPP untuk Kabupaten Bandung ditetapkan sebanyak 62 ribu pemilih, Didit menambahkan, berarti 30 persen dari BPP itu mencapai 18.600 suara.

Kalau dikalikan Rp 5.000, tambah Didit, berarti biaya untuk pembuatan kaos sebanyak 18.600 helai mencapai Rp 93 juta. Itu belum termasuk biaya pembuatan poster dan stiker yang bisa mencapai Rp 20 juta.

Dengan kampanye yang mencapai 10 bulan, Didit memperhitungkan, adanya biaya tatap muka atau silaturrahim yang mencapai minimal Rp 20 juta per bulan.
Banjir Baleendah
Situ Andir Ditawarkan Jadi Solusi


BANDUNG Kompas - 08 Agustus 2008

Balai Besar Wilayah Sungai atau BBWS Citarum menawarkan konsep pembuatan situ atau danau kecil di wilayah Kelurahan Andir, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung. Kehadiran situ itu diyakini menjadi salah satu solusi untuk mengendalikan banjir yang rutin terjadi saat musim hujan.

Demikian dikatakan Kepala Seksi Program dan Perencanaan BBWS Citarum Hendra Ahyadi, Kamis (7/8). Menurut dia, konsep itu belum disertai dengan rancangan teknis tentang lokasi, jumlah biaya pembuatan, dan desain situ. Luas situ berkisar 40-50 hektar yang menggunakan area sawah tadah hujan.

Awalnya, pembangunan situ diusulkan sejumlah masyarakat Andir. Setelah konsep disusun, BBWS Citarum melakukan sosialisasi kepada seluruh masyarakat Kelurahan Andir.

"Kami ingin mengetahui sejauh mana keinginan, penerimaan, dan dukungan masyarakat Andir atas pembangunan situ tersebut. Jangan sampai hasil kajian menunjukkan positif, tetapi justru masyarakat menolak," kata Hendra.

BBWS Citarum juga telah membentuk tim kajian teknis yang meliputi para konsultan untuk menganalisis kelayakan proyek tersebut. Ada tiga opsi yang berkembang. Pertama, situ akan dibangun sesuai konsep di lokasi yang telah ditentukan. Kedua, situ tetap dibangun, tetapi lokasinya dipindah. Ketiga, situ tidak layak dibangun di Kecamatan Andir. Kajian teknis selesai sebelum akhir Desember 2008," kata Hendra.

Alokasikan dana

Sekretaris Komisi B DPRD Jawa Barat Maman Abdurachman menegaskan, sosialisasi bukan memberikan harapan yang pasti direalisasikan dalam waktu satu-dua tahun mendatang. Banyak tahapan yang akan dilakukan sebelum situ terlaksana.

"Untuk membebaskan tanah seluas 50 hektar pasti dibutuhkan waktu. Belum lagi mengatur pembagian peran Pemerintah Provinsi Jabar dan Pemerintah Kabupaten Bandung dalam pembebasan tanah," ujar Maman.

Anggota Komisi B DPRD Kabupaten Bandung, Tubagus Raditya, mengungkapkan, Pemkab Bandung jangan beralasan tidak memiliki dana karena kerugian yang ditimbulkan akibat banjir setiap tahun diperkirakan besar. Bahkan, Pemkab Bandung belum memiliki perhitungan yang pasti meski terjadi setiap tahun.

Raditya menjelaskan, Pemkab Bandung memiliki dana penyertaan modal Rp 170 miliar dengan dividen Rp 30 miliar. Lebih baik dana penyertaan modal itu digunakan untuk kepentingan penanggulangan banjir.

Menurut Ketua Forum RW Kelurahan Andir Kris Sumbawan, terdapat muara pertemuan Sungai Cisangkuy dari arah Pangalengan dan Citarum dari arah Majalaya di Kelurahan Andir. Kalau dua sungai itu alirannya deras, bisa dipastikan wilayah tersebut tergenang. (eld)

Sumber: Harian Umum Kompas. Jumat, 8 Agustus 2008

Minggu, Agustus 24, 2008

Suasana Panas Terjadi di Desa Pameuntasan Kab. Bandung
OP Minyak Tanah Kacau


Pembagian gas

Dihubungi terpisah, anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung dari Partai Golkar, Tb. Raditya mengatakan, sebelum adanya penarikan mitan di masyarakat, seharusnya semua sudah memastikan program konversi sudah berjalan.

"Untuk itu aparat terkait harus proaktif memberitahu. Sehingga bila di masyarakat masih belum ada yang menerima kompensasi dari pengalihan minyal ke gas, harus tetap mengajukan agar mitan tetap disuplai," ujarnya.

Disebutkannya, bila penarikan mitan dilakukan, tapi tidak ada solusi penggantinya, hanya akan membuat masyarakat sengsara. "Dengan harga mitan nonsubsidi, jelas akan membuat masyarakat menjerit," urai Raditya. (B.110/B.89)**

Tuntut Pertamina

Kekurangan minyak tanah ternyata tak hanya dialami oleh Kec. Kutawaringin. Menurut anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung, Tubagus Radhitya, ia menerima banyak sekali keluhan masyarakat terkait penarikan minyak tanah untuk masyarakat. Ia bahkan berencana untuk mengajukan class action kepada Pertamina jika minyak tanah tetap tak ada di pasaran.

"Pembagian kompor gas ternyata belum merata di Kab. Bandung. Saya mendesak Pertamina untuk membatalkan penarikan minyak tanah di masyarakat," kata Radhitya.

Selasa, Agustus 19, 2008

Lahan 389.978 m2 Belum Jadi Aset Pemkab Bandung
Pengembang Belum Serahkan Fasum



SOREANG, (GM).-
Seluruh pengembang perumahan di Kab. Bandung belum menyerahkan lahan fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum) kepada Pemkab Bandung. Akibatnya setidaknya lahan seluas 389.978 m2 belum tercatat sebagai aset Pemkab Bandung.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam resume hasil pemeriksaan atas kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dalam kerangka pemeriksaan LKPD Tahun Ajaran 2007, menyebutkan, berdasarkan data site plan dari Dinas Permukiman dan Tata Wilayah Kab. Bandung, terdapat 49 pengembang yang memiliki penguasaan lahan untuk perumahan dan permukiman dengan luas lahan seluruhnya mencapai 4.763.984 m2.

Berdasarkan pemeriksaan dengan membandingkan dokumen site plan dan daftar aset tetap berupa tanah yang dimiliki Pemkab Bandung, tanah fasos dan fasum seluas minimal 389.978 m2 belum diserahkan pengembang untuk dicatat sebagai aset Pemkab Bandung.

Menurut hasil pemeriksaan BPK tersebut, hal itu disebabkan Tim Koordinasi Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Daerah (TKP4D) Pemkab Bandung tidak melaksanakan tugas pokok dan fungsi (tupoksi). Sesuai ketentuan, tim ini bertugas melaksanakan serah terima fasos dan fasum, mencatatnya, dan me-masukkannya dalam daftar inventarisasi aset pemerintah daerah.

Untuk itu, BPK RI menyarankan kepada Bupati Bandung agar dinas terkait meminta para pengembang segera melakukan penyerahan fasos dan fasum tersebut.

Segera bentuk tim

Menanggapi hal tersebut, anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung, Tb. Raditya mengatakan, pemkab harus segera membuat tim terpadu untuk menyelesaikan temuan BPK tersebut. "Aset tersebut hendaknya menjadi sebuah kekayaan bagi Pemkab Bandung. Karena itu, secepatnya dibentuk tim terpadu yang bisa segera menuntaskannya sehingga tahun ini bisa diselesaikan," ujarnya.

Diungkapkan, para pengembang juga selayaknya bersikap proaktif. "Dengan kerja sama yang dilakukan, bukan hal sulit masalah ini bisa segera dituntaskan. Akhirnya aset ini menjadi sebuah modal yang besar bagi pemkab demi kesejahteraan warganya," papar Raditya.

Setelah aset tersebut diserahkan, lanjutnya, Pemkab Bandung segera melengkapinya dengan bukti kepemilikan yang sah sehingga tidak menjadi masalah di kemudian hari.

Selain itu, aset berupa tanah harus dikelola pemkab. Jika dikelola pihak lain, harus jelas aturan kerja samanya. "Bila aset tanah tersebut dikelola pihak lain, harus melalui persetujuan DPRD dan pendapatannya dimasukkan ke kas derah," katanya.

Pansus aset

Menyinggung rencana pembentukan panitia khusus (pansus) oleh DPRD untuk menangani masalah aset, Raditya mengungkapkan, pansus dibentuk setelah melihat hasil pendataan yang dilakukan eksekutif. "Saat ini sedang dilakukan pendataan, kita lihat dulu hasilnya seperti apa. Bila memang diperlukan, pansus bisa saja dibentuk," katanya.

Masalah aset tanah juga pernah dilontarkan anggota Komisi B dari Partai Amanat Nasional, A. Najib Qodratullah. Menurutnya, pengelolaan aset berupa tanah di Kab. Bandung masih tidak jelas. "Banyak aset milik pemkab berupa tanah yang pengelolaannya patut dipertanyakan," katanya.

Disebutkan Najib, bila pemanfaatan tanah tersebut dilakukan warga, hal itu sah-sah saja. Namun harus dibedakan ketika dimanfaatkan pihak lain yang bisa mendatangkan keuntungan. "Karena itu aset daerah, pendapatan yang bisa dihasilkan dari aset itu harus dikembalikan ke kas daerah," katanya. (B.89)**

Kamis, Agustus 07, 2008

Ratusan Pedagang Bangkrut


Thursday, 07 August 2008
BANDUNG (SINDO) – Ratusan pedagang di sejumlah pasar tradisional di Kabupaten Bandung terpaksa menutup kios milik mereka lantaran omzet terus menurun.

Berdasarkan data yang dihimpun dari DPRD Kabupaten Bandung, sebanyak 80 pedagang di Pasar Cicalengka menutup usahanya, demikian pula 80 pemilik kios di Pasar Soreang dan 70 pedagang di Pasar Banjaran. ”Para pedagang mengeluh omzet menurun karena masyarakat yang berbelanja ke pasar pun makin berkurang seiring maraknya pendirian pasar modern,” ungkap anggota Komisi B DPRD Kabupaten Bandung Tubagus Raditya kemarin.

Menurut dia,Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung tidak serius melindungi keberadaan pasar tradisional di tengah maraknya pasar modern. Ini mengakibatkan pedagang memutuskan untuk tidak meneruskan usaha mereka. Karena itu, DPRD Kabupaten Bandung berinisiatif menyusun peraturan daerah (perda) tentang perlindungan dan pemberdayaan pasar tradisional dengan mengatur zonasi pembangunan pasar modern.

Para pelaku pasar tradisional pun kini banyak mengeluhkan banyaknya pedagang kakilima(PKL) yangdibiarkan berjualan di sepanjang trotoar bahkan badan jalan. Keberadaan PKL ini sangat berpengaruh terhadap hasil penjualan dari pemilik kios yang berada di dalam pasar. Kondisi ini ditengarai menjadi penyebab masyarakat malas masuk ke pasar dan memilih membeli kebutuhannya di PKL.

Sementara itu, Ketua Ikatan Pasar Cicalengka Agus Buniarto mengakui keberadaan PKL di sekitar Pasar Cicalengka sangat mempengaruhi omzet para pedagang di pasar. ”Kami minta perhatian serius dari Pemkab Bandung untuk mengatasi masalah PKL ini. Jika tidak akan makin banyak pedagang yang menutup kiosnya,” ungkap Agus.

Dia menandaskan, keberadaan Pasar Cicalengka seolah mati perlahan karena kalah bersaing dengan beberapa pasar modern di sekitarnya. (iwa ahmad sugriwa)
Pemkab Bandung Menjamin Transparansi
Menjaring Investor Melalui PPTSP



SOREANG, (GM).-
Pemkab Bandung akan melakukan launching Pusat Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP) pada Selasa (26/8) mendatang. Dengan pelayanan tersebut, para pemohon izin bisa menghemat waktu dengan pembiayaan yang lebih transparan.

Kepala Badan Penanaman Modal dan Perizinan (BPMP) Pemkab Bandung, Agus Suratman mengatakan, BPMP sebenarnya sudah melakukan pelayanan perizinan dengan konsep satu pintu. Namun secara resmi baru akan dilakukan pada Selasa pekan depan. "Kita akan undang seluruh stake holder agar lebih diketahui bagaimana upaya mempermudah perizinan," ujarnya.

Dikatakan, dengan mempermudah proses perizinan, diharapkan bisa memancing para investor untuk menanamkan modalnya di Kab. Bandung. "Jika selama ini perizinan selalu dikeluhkan, maka melalui pelayanan satu pintu mudah-mudahan menjadi solusi untuk kemudahan mereka berinvestasi," paparnya.

Dijelaskan Agus, dalam mengurus perizinan, para pemohon diberi kepastian waktu pengurusan, dengan catatan semua persyaratan dilengkapi.

"Kalau semua syarat lengkap satu hari pun izin yang dimohonkan bisa kita selesaikan," ungkapnya.

Agus menegaskan, yang penting dalam PPTSP, adanya kepastian besaran biaya untuk pengurusan izin. "Masyarakat hanya perlu membayar biaya sesuai izin yang diajukannya. Pemohon tidak perlu lagi mengeluarkan biaya tambahan lainnya. Jadi hitung sendiri dan bayar sendiri," tegasnya seraya mengatakan, pemohon melakukan semua transaksi di bank.

Hemat Rp 60 juta

Dihubungi terpisah, anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung, Tb. Raditya mengatakan, melalui konsep PPTSP tersebut, setidaknya ada penghematan uang masyarakat sekitar Rp 60 juta/hari. "Uang yang dikeluarkan masyarakat lebih besar untuk biaya yang tidak perlu, bukan untuk proses perizinan. Bila izin yang diajukan dalam sehari bisa mencapai 30-60, setidaknya Rp 60 juta tidak melayang percuma karena masuk ke saku calo," tegasnya.

Dikatakan, untuk mempercepat proses, BPMP hendaknya menyediakan counter di tempat loket pelayanan. DPRD juga mengingatkan para pelayan di PPTSP untuk tidak berbuat nakal. "Kita harapkan para pegawai di sana tidak membawa pradigma lama, tetapi lebih mengedepankan pelayanan publik," katanya. (B.89)**