Guru dan Utang
MENYEDIHKAN memang, kalau benar, 85%-90% guru di Kab. Bandung terlilit utang. Tentu ini bukan kesalahan guru semata, apabila kita melihat begitu besarnya utang tersebut. Bukan pula karena ketidakmampuan guru mengendalikan keuangannya. Mungkin ada faktor lain.
Kita bisa membayangkan, kalau dari 15.000 guru di Kab. Bandung 85%-nya berutang dengan rata-rata Rp 5 juta saja, maka kurang lebih Rp 75 miliar. Dan, kalau saja pihak bank memberikan fee 1% saja dari jumlah tersebut ke oknum yang mempermudah pinjaman para guru ini, maka ada pendapatan dari pinjaman guru tersebut sebesar Rp 750 juta. Artinya, besarnya pinjaman guru tersebut bisa dipicu oleh oknum yang ada di internal instansi tersebut, yang mendapatkan untung dari penderitaan guru.
Sedih, kita memang sangat sedih melihat kondisi guru yang terlilit utang. Seorang guru SD di Kab. Bandung yang karena terlilit utang ke bank, terpaksa "menggelapkan" tabungan milik siswa didiknya. Namun akhirnya, cicilan ke bank tetap tidak terbayar, begitu pula ia dikejar-kejar orangtua siswa karena uang anaknya tidak dibayarkan. Ia kemudian dipindahkan ke SD lain dan karena sudah tidak mendapatkan gaji (habis dipotong pinjaman bank), semangat ngajar-nya hilang. Dalam satu minggu bisa dihitung jari kehadirannya di kelas. Ujung-ujungnya, ia meninggalkan pula SD tersebut karena sudah tidak bisa lagi untuk bayar angkot dan ojek ke tempatnya mengajar.
Itu masih mendingan. Cerita menggetirkan juga menimpa seorang kepala sekolah yang karena terlilit utang, ia mencari tambahan dengan menjanjikan bisa memasukkan jadi pegawai negeri sipil (PNS). Hubungannya yang luas, menjadikan ia dipercaya sejumlah orang yang ingin jadi PNS. Tarifnya antara Rp 25 juta hingga Rp 40 juta. Ujung-ujungnya, tak seorang pun yang diterima. Ia akhirnya dikejar-kejar sejumlah orang yang merasa tertipu. Ia menghilang dari rumahnya. Meninggalkan sekolahnya dan hingga sekarang entah di mana.
Guru dan utang memang seperti sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Karena instansi tempat mereka berlindung juga punya konstribusi terhadap meningkatnya utang guru. Tidak sedikit guru yang mengeluhkan tiba-tiba mendapatkan potongan untuk barang-barang yang dijual dedet dengan mengatasnamakan pimpinan instansi tempat mereka bekerja. "Kadangkala sangat menggelikan. Bayangkan, tiba-tiba ke sekolah ini didrop alat-alat untuk mandi dan pembersih toilet sekolah. Sekolahnya saja belum punya toilet, untuk apa barang-barang tersebut?" ujar seorang kepala sekolah. Tapi, barang yang sudah dikirim tidak bisa dikembalikan dan ujung-ujungnya honor kepala sekolah yang dipotong.
Jadi, apa yang dikemukakan Plt. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Kab. Bandung tentu tidak sebatas menghentikan MOU saja. Juga, harus ada upaya untuk menghentikan semua pemotongan terhadap guru untuk hal-hal yang tidak perlu. Ia tentu punya tanggung jawab untuk lebih melindungi guru agar take home pay (THP) tidak sampai di bawah 50%, bahkan kalau mungkin tidak sampai di bawah 60%. Karena, dengan 60% uang yang masih mereka bawa ke rumah, tentu mereka masih punya "energi" untuk tetap menjalankan rutinitas pekerjaannya. Yakni, menjadikan anak-anak kita lebih cerdas tidak hanya dalam pelajaran, namun dalam mengatur hidupnya sesuai dengan ajaran agamanya. **
Tidak ada komentar:
Posting Komentar