KEMISKINAN
Kartu Bantuan Tunai Langsung Pun Terpaksa Digadaikan
Oktora Veriawan, Andri M Dani Tribun JabarBEGITU banyak dan makin bervariasinya fakta-fakta getir yang dialami warga miskin negeri ini. Belum lama muncul adanya istilah kemiskinan akut, menyusul ricuh antrean zakat di Pasuruan yang menewaskan 21 warga miskin.
Kejadian tersebut sepertinya nyambung dengan hasil penelitian Jeffrey D Sachs tentang masalah kemiskinan selama 30 tahun. Dalam penelitiannya itu ia menemukan setiap hari 20.000 nyawa melayang akibat kemiskinan akut. Sesuai dengan kenyataan empiris, kenyataan ini adalah satu petaka besar.
Fakta-fakta getir pun terus terjadi. Tak lama setelah tragedi kemiskinan di Pasuruan, ada kejadian yang tidak kalah memprihatinkan. Belasan kepala keluarga (KK) di Desa Bojongsoang menggadaikan kartu Bantuan Langsung Tunai (BLT) mereka kepada seseorang yang menjadi bank berjalan di desa tersebut.
Ada dugaan kuat, warga yang umumnya dari kalangan keluarga miskin tersebut itu terpaksa melakukannya karena terdesak kebutuhan menjelang Lebaran. Apalagi saat ini bukan hanya harga-harga kebutuhan pokok yang terus meroket. Warga miskin pun umumnya kelabakan untuk memasak karena mahalnya minyak tanah. Mau beli gas elpiji, uang hanya cukup untuk beli beras. Jalan pintas pun dilakukan belasan warga Desa Bojongsoang.
Jauh-jauh hari setelah kartu BLT dibagikan perangkat desa, mereka menggadaikan kartu BLT senilai Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu kepada seseorang. Padahal, kartu BLT tersebut jika dicairkan ke kantor pos nilainya Rp 400 ribu.
"Tadinya saya gadaikan kartu BLT karena saat itu saya butuh uang untuk memasak. Kalau nunggu sampai pencairan, terlalu kelamaan. Keluarga saya mau makan apa. Jadi, terpaksa kartu BLT digadaikan untuk memenuhi kebutuhan selama puasa," ungkap seorang warga di RW 05 Desa Bojongsoang.
Ia menuturkan, saat pencairan hari pertama tiba pada tanggal 15 September, belasan warga tersebut didatangi oleh seseorang yang disebut "bank kredit berjalan". Mereka disuruh mencairkan kartu BLT masing-masing ke kantor pos dan seseorang tersebut menungguinya di luar.
Setelah BLT dicairkan, uang BLT tersebut seluruhnya langsung diambil oleh orang yang menungguinya itu. Padahal saat digadaikan, jumlah uang yang dipinjam jauh lebih kecil dari besaran pencarian kredit.
Melihat kejadian ini, wakil rakyat pun angkat bicara. Anggota Komisi B DPRD Kabupaten Bandung Tubagus Raditya mengatakan, kasus penggadaian kartu BLT ini disebabkan karena pembagian kartu yang terlalu cepat, atau terlalu jauh dari tanggal pencairan.
"Kartu BLT sudah dibagikan sebulan sebelum pencairan, jadinya terbuka kesempatan bagi keluarga miskin untuk menggadaikan kartu kepada seseorang, bahkan kepada rentenir," jelasnya.
Ketua RW 05 Bojongsoang, Anas, di depan anggota Komisi B DPRD Kabupaten Bandung mengatakan, dia tidak tahu persis jumlah warganya yang menggadaikan kartu BLT. Namun kasus seperti ini terjadi hampir di semua RW di desa tersebut.
"Jumlahnya tidak terperinci, tapi hampir belasan warga di setiap RW melakukan sistem penggadaian seperti ini," ujarnya.
Komisi B DPRD Kabupaten Bandung mendesak agar perangkat desa, kecamatan, dan pihak kepolisian ikut memantau kasus seperti ini yang banyak ditemukan di Kecamatan Bojongsoang.
Masih soal BLT, nasib tragis dialami seorang warga miskin di Ciamis. Yanto Sumarno (48), warga itu, mengembuskan napas terakhir setelah antre mengambil uang BLT.
Sebelum Yanto meninggal, mendadak penyakit TBC basahnya kambuh dan kelelahan saat antre pencairan dana BLT tahap II di Kantor Pos Panawangan, di sisi jalan raya Ciamis-Cirebon, Rabu (17/9) pukul 09.30.
Yanto terpaksa dilarikan ke Puskesmas Panawangan. Namun, malang bagi warga miskin asal Dusun Cisapi RT 02/RW 03, Desa Nagarajati, Panawangan, tersebut. Ia meninggal saat mendapat pertolongan di Puskesmas Panawangan.
"Yang bersangkutan meninggal di puskesmas setelah menerima uang BLT yang menjadi jatahnya. Kebetulan korban mengidap penyakit gangguan pernapasan, TBC basah. Setelah menerima uang BLT di kantor pos sebesar Rp 400.000, penyakitnya kambuh sehingga dilarikan ke puskesmas, tapi rupanya nyawanya sudah tak tertolong lagi," terang Camat Panawangan Drs Suryatna kepada Tribun.
Ternyata, berdasarkan penuturan sejumlah warga, saat akan mencairkan dana BLT tahap II itu Yanto nekat berjalan kaki dari rumahnya di Dusun Cisapi, Desa Nagarajati, ke Kantor Pos Panawangan yang berjarak sekitar 5 km. Sekitar pukul 09.00, Yanto sudah tiba di lokasi kantor pos dan ikut antre bersama warga miskin lainnya.
Namun, rupanya Yanto tak kuat. Dudung (32), warga sekampungnya yang juga penerima BLT, kemudian memapah Yanto ke bangku ruang tunggu kantor pos. Setelah menerima jatah BLT, kondisi Yanto makin memburuk.
Napas Yanto tersengal-sengal. Penyakit sesak napas akibat penyakit TBC yang dideritanya kumat sehingga ia dari kantor pos dibawa ke puskemas. "Namun saat di puskemas nyawa warga tersebut sudah tak tertolong lagi. Sebelum meninggal ia sudah sempat menerima BLT," tutur Suryatna. (*)