SOREANG,(GM)- Sebanyak 30 kepala desa (kades) yang tersebar di tujuh kecamatan di Kab. Bandung, mendatangi Gedung DPRD di Soreang, Rabu (24/12). Mereka meminta pihak legislatif meninjau ulang Peraturan Bupati (Perbup) No. 20 Tahun 2008 tentang Dana Alokasi Desa (DAD). Para kades menyatakan, dua pasal dalam Perbup No. 20/2008 tersebut dianggap memberatkan. Dalam pasal 17 ayat 1 huruf i dan ayat 5 huruf h dijelaskan, untuk dapat mencairkan DAD, desa harus melunasi pajak bumi dan bangunan (PBB) tahun sebelumnya dan tahun berjalan. "Dana tersebut akan diberikan Pemkab Bandung bila desa telah menyetor PBB sebesar 60% tahun sebelumnya dan 35% tahun berjalan (untuk tahap I). Untuk tahap II, 75% lunas PBB tahun sebelumnya dan 40% tahun berjalan," kata salah seorang perwakilan kades, Asep Sutisna. Syarat tersebut dinilai memberatkan dan tidak sesuai dengan orientasi, kondisi, dan semangat pembangunan desa. "Masih ada sekitar 80% pemerintah desa yang kebutuhan anggaran pembangunan desanya sangat bertumpu pada bantuan pemerintah di atasnya," jelasnya. Asep yang menjabat sebagai Kades Sekarwangi mengatakan, akibat kondisi tersebut, banyak desa tidak bisa menjalankan program yang sudah direncanakan karena tidak adanya dana. "Program desa yag tertuang adalam Anggaran Pemerintah Desa tidak bisa berjalan karena desa tidak bisa mencari sumber lain untuk pendanaannya," papar Asep. Dilanjutkan, pemerintah desa tidak akan mempermasalahkan tugas yang diberikan Pemkab Bandung berupa penarikan PBB dari masyarakat. "Hanya saja dana perimbangan desa yang berasal dari pusat, pencairannya tidak dihubungkan dengan pembayaran PBB. Karena pemerintah pusat pun tidak mengatur pencairan hak desa tersebut dengan tugas perbantuan apa pun," paparnya. Ia menambahkan, pemerintah desa bisa saja menolak tugas perbantuan yang diberikan Pemkab Bandung karena memang tidak diatur pemerintah pusat. "Apalagi jika pemerintah Kabupaten Bandung dalam memberikan tugas perbantuan tersebut, tidak disertai dukungan sarana prasarana, dana serta sumber daya lainnya," katanya. Layanan pajak Anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung, Tb. Raditya menyebutkan, banyak faktor yang menyebabkan desa tidak bisa memenuhi target PBB. Menurutnya, masyarakat tidak mau membayar pajak karena pelayanan kantor pajak serta kemampuan masyarakat itu sendiri. "Selain karena tidak mampu, ada sebab lain, seperti objek pajak tidak sesuai dengan kenyataan akibat pendataan yang tidak benar dan proses pendataan ulang oleh kantor pajak pun tidak dilakukan dengan segera, selain juga kantor pajak yang jauh," ujar Raditya. (B.89)** |
Jumat, Desember 26, 2008
Rabu, Desember 24, 2008
Anggota Komisi B DPRD Kabupaten Bandung, H Tb Raditya, SE menyarankan agar Pemkab Bandung, Pemkab Bandung Barat dan Pemkot Cimahi dan Pemkot Bandung duduk bersama untuk membahas mengenai rencana kenaikan tarif PDAM Tirta Raharja. Saran tersebut dilontarkan Raditya sehubungan dengan ditolaknya rencana kenaikan tarif PDAM Tirta Raharja tersebut oleh DPRD Kota Cimahi.
Anggota dewan dari Partai Golkar (PG) Kab. Bandung ini meminta agar masing-masing daerah tidak terlalu ngotot untuk menerima atau menolak kenaikkan tarif PDAM tersebut, termasuk kontribusi yang akan diberikan dari Pemkot Bandung. \"Cara koordinasi dengan duduk bersama adalah langkah yang terbaik,\" ujarnya, kepada Pelita semalam.
Dia mengakui masalah aset PDAM Tirta Raharja antara Pemkab Bandung dan Pemkot Cimahi hingga kini belum selesai dan harus segera diatasi. Karena itu, lanjutnya, kehadiran Pemkab Bandung, Pemkab Bandung Barat dan Pemkot Cimahi dalam membahas masalah kenaikan tarif PDAM Tirta Raharja secepatnya dapat terselesaikan.
Pihak DPRD Kab. Bandung yang mengusulkan agar tarif PDAM Tirta Raharja dinaikan hanya sekedar rekomendasi, sedangkan keputusannya ada ditangan pemerintah daerah, jelasnya.
Dalam pertemuan nanti, masih kata Raditya, tiga pemerin-tahan tersebut juga membicarakan masalah aset PDAM Tirta Raharja. Pasalnya, Kantor PDAM Tirta Raharja, milik Pemkab Bandung lokasinya berada di Kota Cimahi sehingga pengelolaan PDAM dikerjasamakan termasuk menghitung sejumlah aset yang dimiliki oleh masing-masing daerah.
Dengan perhitungan tersebut nantinya akan jelas berapa kontribusi yang diberikan kepada masing-masing daerah.
Mengenai, rencana kenaikan tarif PDAM yang dilakukan secara bertahap, kata Raditya, harus dibarengi dengan ditingkatkannya layanan kepada pelanggan PDAM. Diberitakan Pelita sebelumnya, kenaikan tarif air bersih PDAM Tirta Raharja Kab. Bandung sebesar 30 persen mendapat reaksi keras dari warga Kab. Bandung. Bahkan usulan tersebut ditolak DPRD Kota Cimahi dengan alasan peme-rintahan Kota Cimahi tidak pernah diajak berunding dalam rencana kenaikkan tarif tersebut. (ck-01)
Anggaran belanja Pegawai Pemkab Bandung tahun 2009 melonjak naik dari Rp818 miliar menjadi Rp996 miliar. Sehingga Pemkab Bandung mengalami defisit Rp362 miliar dari total belanja Rp1.858 triliun, sementara pendapatan dinilai jeblok karena hanya mencapai Rp1.495 triliun.
Demikian disampaikan anggota Komisi B DPRD Kabupaten Bandung, Tb. Raditya, SE kepada Pelita semalam. Dari alokasi dana belanja tersebut, sebagian besar terserap untuk belanja pegawai, sementara alokasi untuk belanja modal untuk kegiatan masyarakat hanya terakolasi 16 persen, jelasnya.
RAPBD Kabupaten Bandung kini tengah di bahas di masing-masing komisi sebelum diserahkan kepada Panitia Anggaran (Pangar).
Sementara itu, untuk menutupi defisit ini, pihak eksekutif akan melakukan pinjaman daerah Rp240 miliar. Khusus untuk belanja pegawai, kami menyarankan agar masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), melakukan efisiensi, ujar Raditya.
Ia menjelaskan, anggaran belanja tidak langsung dengan total Rp1,2 triliun, Rp996 miliar di antaranya untuk belanja pegawai. Begitu pula dalam belanja langsung sebesar Rp645 miliar, terdapat belanja pegawai Rp64,6 miliar termasuk untuk mendukung belanja barang dan jasa Rp282,4 miliar. Sedangkan alokasi dana bagi program masyarakat Rp298,5 miliar atau hanya 16 persen.
Dicontohkannya, untuk kebutuhan kertas HVS saja dibutuhkan anggaran sebesar Rp20 miliar. Persoalannya adalah pengadaan kertas yang disediakan PT Indograf itu tidak melalui tender. Coba kalau melalui tender, pihak pemkab bisa menekan angka sampai Rp15 miliar sehingga bisa mengurangi beban biaya sebesar Rp5 miliar, tukasnya.
Raditya pun mengakui masih banyak sejumlah dinas yang seharusnya membantu pendapatan, tapi justru jalan ditempat. Dalam artian tidak mengalami peningkatan. Meski beberapa pimpinan mengalami pergantian. Semisal, Dinas Perhubungan (Dishub) yang seharusnya memberikan pendapatan sebesar Rp700 juta, ternyata hanya sanggup Rp400 juta. Padahal berdasarkan perhitungan matematis pendapatan itu bisa terlampui. \"Karena itu kami mentargetkan dari Dinas Perhubungan (Dishub) sebesar Rp500 juta pertahunnya,\" harap Raditya. (ck-01)
Berwisata di Tengah Meluapnya Cisangkuy
KAWASAN Bandung selatan identik dengan daerah banjir saat musim hujan tiba. Satu malam saja hujan mengguyur daerah ini, hampir dipastikan ada rumah yang tergenang di sekitar Dayeuhkolot atau Baleendah. Luapan Sungai Citarum serta semua anak sungainya adalah kambing hitamnya.
Sungai Cisangkuy adalah salah satu anak Sungai Citarum yang cukup besar dan bersumber dari sekitar Pangalengan, Kab. Bandung. Saat hujan besar di sekitar hulu, Sungai Cisangkuy sering kali "berulah" dan warga di sekitar hilir menjadi korbannya. Dalam beberapa tahun terakhir, Cisangkuy menjadi sumber bencana banjir bandang di Kec. Banjaran dan sekitarnya, serta kerap menyapu ratusan rumah.
Namun, pepatah orang bijak mengatakan, ada hal positif yang dapat ditarik dari hal negatif. Begitu juga dengan meluapnya Sungai Cisangkuy. Saat musim hujan datang dan air sungai meluap, Kelompok Penggerak Pariwisata (Kompepar) Kec. Cimaung, Kab. Bandung, justru memanfaatkannya sebagai daya tarik wisata arung jeram.
Sejak setahun lalu, kawasan hulu Sungai Cisangkuy selalu dijadikan tempat arung jeram, khususnya saat musim hujan. Berbeda dengan aliran di hilir yang penuh dengan buangan limbah pabrik, di sekitar hulu Sungai Cisangkuy airnya masih bersih dengan alam yang masih perawan.
"Banyak petualang yang menyebutkan Sungai Cisangkuy adalah miniaturnya Sungai Cikandang Garut dilihat dari karakteristik jeram dan tingkat kesulitannya. Jalur yang biasa dilewati mencapai 11 km dengan lama tempuh sekitar 3 jam," kata Cucum Salman (29), penggiat arung jeram Sungai Cisangkuy, Selasa (4/11). Namun, menurut dia, terdapat short trip (jalur pendek) di jalur ini dengan jarak tempuh sekitar 7 km dan ditempuh dalam waktu 2 jam.
Titik awal jalur ini dimulai dari Kp. Pataruman, Desa Sukamaju, Kec. Pangalengan, tepatnya berada di sekitar perbatasan antara Kec. Pangalengan dan Cimaung. Perjalanan dengan perahu karet ini akan berakhir di sekitar Kp. Salamanjah, Desa Malasari, Kec. Cimaung di dekat perbatasan dengan Kec. Cangkuang, Kab. Bandung.
Menurut Salman, mulai bulan November hingga Mei, setiap tahunnya merupakan waktu yang ideal untuk berarung jeram di sekitar Sungai Cisangkuy. Sementara, pada bulan Juli hingga September, air di sungai ini sangat surut dan hampir tak mungkin digunakan untuk berarung jeram, karena airnya lebih banyak memasok air baku PDAM.
**
"DAYA tarik Sungai Cisangkuy saat musim hujan ini sebelumnya tak pernah dilirik, karena selalu diasosiasikan dengan bencana alam. Namun, setelah dikemas menjadi wisata arung jeram, ternyata sangat potensial," kata Ketua Kompepar Kec. Cimaung, Cecep Kurnia.
Menurut dia, wisata arung jeram ini juga digabungkan dengan daya tarik wisata lainnya termasuk outbound dan paint ball yang ada di Gunung Puntang, masih di Kec. Cimaung.
Beberapa wisatawan lokal dan mancanegara sempat mencoba berarung jeram di sini saat musim hujan lalu. Menurut Cecep, beberapa tamu yang dibawa ke sini bahkan menyamakannya dengan arung jeram di Bali.
Perjalanan mengarungi jeram di Sungai Cisangkuy (lebar sekitar 15 meter) tak membuat bosan. Hijaunya persawahan di sekitar sungai membuat segala kepenatan dan hiruk pikuk perkotaan serasa hilang. Sayangnya, saat berarung jeram, Selasa (4/11), permukaan air sungai terasa masih kurang tinggi hingga menyedot banyak tenaga untuk mengendalikan perahu. Curah hujan rupanya masih belum cukup banyak yang mengalir di sungai ini.
Para pengelola arung jeram serta paket wisata di Cimaung ini adalah para pemuda warga asli Cimaung. Meskipun terdapat keterbatasan dalam sarana dan prasarana --termasuk perahu karet, mereka terlihat sangat antusias untuk mengembangkan daerahnya.
"Kita sangat mendukung pengembangan wisata di Cimaung ini, terlebih setelah banyak tempat wisata Kab. Bandung kini masuk Kab. Bandung Barat. Sudah seharusnya upaya mereka didukung oleh semua pihak," kata Tubagus Raditya, salah seorang anggota DPRD Kab. Bandung.
Rupanya, potensi bencana jika dikelola dengan baik dan kreatif akan menghasilkan manfaat yang cukup menjanjikan. Siapa tahu, ke depan, bencana banjir di Dayeuhkolot dan Baleendah juga dapat dikelola menjadi objek wisata banjir saat musim hujan... (Deni Yudiawan/"PR")***
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung diperkirakan meng-habiskan biaya kertas HVS sebesar Rp20 miliar. Karena itu, Komisi B DPRD Kab Bandung menyoroti belanja kertas HVS yang diajukan sejumlah dinas sebagai mitra kerja komisi tersebut.
Dalam Rencana Kegiatan dan Anggaran (RKA) APBD 2009, harga kertas HVS yang diajukan ke Komisi B tidak sama, sehingga dokumen pengajuannya dikembalikan lagi ke masing-masing dinas. Yaitu Dinas Peternakan, Dinas Pertanian, Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan, Dinas Perindustrian, Badan Penanaman Modal, dan Badan Ketahanan Pangan.
Jenis kertas HVSnya sama, tapi harga yang diajukan berbeda, tukas anggota Komis B DPRD Kab. Bandung, Tb Raditya SE kepada Pelita Minggu (23/11/2008) sore.
Menurutnya, ada dinas yang mengajukan harga kertas HVS Rp35.000 per-rim. Tapi, ada juga dinas lain yang mencantumkan harga Rp37.000 dan Rp40.000, padahal jenis kertasnya sama.
Ini kan aneh, karena itu dokumen RKA terpaksa dikembalikan ke masing-masing dinas. Yang membingungkan lagi, ternyata besaran harga kertas HVS di lapangan tidak semahal itu, ujar Raditya sembari tersenyum.
Ia mengakui, temuan ini memang kecil, tapi paling tidak harus ada harga standar. Apalagi kami juga menemukan anggaran untuk pembelian cutter. \"Kalau kerja di media cetak mungkin kebutuhan cutter sangat dibutuhkan. Tapi ini kan dinas yang tidak begitu membutuhkan cutter,sangat tidak masuk akal, tandasnya.
Sementara itu, Raditya berharap, RKA yang sudah diberikan ke masing-masing dinas agar segera diperbaiki sebelum diserahkan kembali ke Komisi B. Paling tidak penentuan harga setiap barang harus memiliki standardisasi sesuai dengan keputusan bupati.
Selain itu, Komisi B juga mengusulkan agar pembelian alat tulis kantor (ATK) dilakukan melalui tender agar bisa menekan anggaran yang diajukan.
Raditya mencontohkan, kebutuhan kertas di masing-masing SKPD sekarang ini dibutuhkan dana sekitar Rp20 miliar. Ironisnya pembelian kertas ini tidak melalui tender. Angka itu bisa ditekan asalkan ditempuh dengan cara tender, tukasnya.
Diperoleh kabar, proyek pengadaan kertas tersebut kini dikuasai PT Indograf, yang dikelola Yanto SE, bendahara Partai Golkar Kab Bandung. Calon legislatif No 1 dari Partai Golkar (PG) daerah pemilihan (Dapil) 2 ini, menguasai berbagai proyek di lingkungan Pemkab Bandung, karena kedekatannya dengan Bupati Obar Sobarna. (ck-01)
Stadion SiJalak Harupat yang berdiri kokoh dipinggir Jalan Raya Cipatik, Desa Kopo, Kec Soreang, setiap tahunnya merugi Rp1,6 miliar.
Menurut data yang diperoleh Pelita, stadion kebanggaan masyarakat Kabupaten Bandung, yang menelan biaya Rp67 miliar ini, hanya mampu meraih pendapatan Rp400 juta, sementara anggaran yang diajukan pengelola kepada DPRD Kab. Bandung sebesar Rp2 miliar.
Tahun lalu pihak pengelola mengajukan angka Rp750 juta, tapi yang disetujui hanya Rp600 juta, jelas anggota DPRD Kab. Bandung, Tb. Raditya SE kepada Pelita semalam.
Menurut anggota Komisi B ini, pengelola stadion Si Jalak Harupat jangan lagi membebani masyarakat Kab. Bandung. Sebab, untuk menutupi kebutuhan stadion yang berkapasitas 27.000 tempat duduk itu dananya diambil dari uang rakyat. Pihak pengelola harus melakukan kreativitas dengan sering menggelar turnamen sepakbola bertaraf nasional maupun internasional. Jika tidak anggup libatkan pihak ketiga agar tidak rugi melulu, tukas Raditya.
Dia menambahkan, setiap kali menggelar pertandingan, pihak pengelola hanya mendapat keuntungan sebesar Rp25 juta, kecuali Persikab tidak dipungut bayaran. Sementara jika Persib bertanding, Panitia Pelaksana (Panpel) bisa meraup keuntungan Rp600 juta sekali bertanding.
Sebaiknya Pemkab Bandung, lanjut Raditya, membangun sarana jalan terlebih dahulu sebelum membangun stadion Si Jalak Harupat yang menggunakan fondasi tiang yang terbuat dari beton portal bertulang, dan rangka atap menggunakan bahan rangka baja box.
Akses jalan, akan lebih penting ketimbang dibangunnya Si Jalak Harupat. Anda bisa rasakan bagaimana ketika pertandingan usai, para penonton berdesak-desakan diluar stadion dan sulit untuk bergerak, tambahnya.
Pelita memperoleh kabar, pembangunan Stadion Si Jalak Harupat itu diprakarsai oleh Bupati Bandung, H Obar Sobarna, SIP. Stadion kebanggaan masyarakat Kab Bandung ini dirancang dengan penutup atap menggunakan metal roof (aluminium) dan beton pracetak untuk tempat duduk tribun.
Selain itu, Stadion Si Jalak Harupat berkapasitas tempat duduk antara 27.000-30.000 penonton. Belum termasuk untuk wartawan media cetak dan elektronik. Bahkan, untuk memberikan kenyamanan bagi penonton, telah disiapkan 24 pintu darurat, termasuk kamar kecil dan mushalla.
Sementara, lampu yang digunakan berkekuatan 1.000 lux, sehingga Stadion Jalak Harupat bisa menggelar pertandingan pada malam hari. Penggunaan lampu dengan kekuatan yang memenuhi standar FIFA itu memudahkan kru televisi untuk menyiarkan secara langsung pertandingan malam hari, karena didukung oleh 114 lampu.
Menurut rencana, di sektiar Stadion Jalak Harupat akan dibangun sarana cabang olah raga lainnya, yaitu kolam renang, bola voli, bulu tangkis, lapangan hoki, dan bola basket, dan bola voli serta mes atlet dan hotel. Si Jalak Harupat merupakan julukan bagi pahlawan Otto Iskandardinata, yang diartikan lincah dan trengginas. Diharapkan, dengan nama itu bisa memotivasi semangat atlet Kab. Bandung untuk terus berprestasi.
Sekarang, masih kata Raditya, tinggal bagaimana pihak pengelola stadion menjaga dan memanfaatkan fasilitas tersebut dengan baik dan profesional. Kalau sampai merugi terus tidak bisa dibayangkan apa jadinya Stadion Si Jalak Harupat suatu saat nanti, sambungnya. (ck-01)
Jumat, Desember 19, 2008
SOREANG,(GM)- Komisi B DPRD Kab. Bandung mensinyalir masih ada satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang memperlambat proses perizinan dan enggan mengubah pola pikir terkait perizinan sebelumnya. Hal ini menyebabkan proses perizinan yang dilayani pusat pelayanan terpadu satu pintu (PPTSP) tidak efektif. Anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung, Tb. Raditya di Soreang, Kamis (18/12), mengatakan, keberadaan PPTSP menyebabkan SKPD yang sebelumnya mengelola masalah perizinan merasa ada "bagian" mereka yang terambil. "Sekarang ini kami melihat telah terjadi pembangkangan dari beberapa SKPD terhadap keberadaan PPTSP, karena mereka seperti kehilangan objek pendapatan," ujarnya. Dikatakan Raditya, adanya perasaan kehilangan objek pendapatan, menyebabkan pegawai di SKPD tersebut tidak mau bekerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi). "Padahal mereka sudah disumpah sebagai PNS untuk bekerja sesuai tupoksinya guna memberikan pelayanan kepada masyarakat," ungkapnya. Menurut anggota dewan dari Partai Golkar ini, akibat masih adanya pola pikir yang belum berubah, banyak laporan dari pemohon izin yang tidak terlayani dengan baik. "Karena ada beberapa izin yang memerlukan kajian teknis SKPD, dan SKPD tersebut masih berpikir dengan pola lama sehingga tidak mau memproses. Pada akhirnya, waktu layanan yang sudah ditetapkan sesuai undang-undang tidak terpenuhi dan masyarakatlah yang dirugikan," paparnya. Raditya mengatakan, PPTSP dibentuk untuk mempercepat regulasi birokrasi, bukan untuk melakukan pengawasan dan pengendalian. "Jadi, masalah target pendapatan bukan ada di BPMP (Badan Penanaman Modal dan Perizinan) di mana PPTSP berada, melainkan ada di SKPD yang bersangkutan," tegasnya. SKPD, lanjut Raditya, hendaknya berpikir untuk kepentingan institusi karena di PPTSP pun retribusi yang masuk langsung dikelola Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan (DPPK). "Dengan adanya PPTSP, konsep menghitung dan membayar sendiri sesuai tarif dapat memperkecil peluang terjadinya pungutan liar. Pembayarannya pun tidak dengan uang, melainkan hanya resi bukti pembayaran," jelasnya. Ditambahkannya, pola pikir SKPD harus cepat diubah dengan hadirnya PPTSP, karena keberadaan layanan tersebut mutlak dilakukan guna mempermudah Masyarakat dan investor. "Jangan sampai keberadaannya menjadi cuma-cuma akibat adanya 'penolakan' dari sesama SKPD sendiri," tegas Raditya. (B.89)** | ||
Senin, Desember 15, 2008
SOREANG,(GM)- |
DPRD Kota/Kab. Bandung akan memangkas anggaran makan minum (mamin) seluruh satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Pemotongan atau rasionalisasi terpaksa dilakukan karena anggaran untuk makan minum SKPD tersebut dinilai terlalu berlebihan. Di lingkungan Pemkot Bandung, anggaran makan minum SKPD mencapai Rp 56,06 miliar. Jumlah tersebut, menurut Ketua Panitia Khusus (Pansus) RAPBD 2009 Kota Bandung, Lia Nur Hambali, dianggap terlalu besar. "Mungkin itu bisa dipangkas hingga 30%-nya. Kecuali mamin untuk pasien rumah sakit daerah," ujarnya kepada wartawan, Sabtu (13/12). Menurut Lia, anggaran sebesar Rp 56,06 miliar tersebut belum termasuk anggaran makan minum wali kota dan wakil wali kota yang masuk di Bagian Umum dan Perlengkapan. Dikatakan, pemangkasan rencananya dilakukan di anggaran mamin harian dan rapat. Dalam pengajuannya, anggaran mamin harian mencapai Rp 3,37 miliar. Sedangkan mamin rapat mencapai Rp 21,8 miliar. "Seharusnya mamin dapat dikurangi dengan mengganti menu dengan yang lebih sederhana. Termasuk penggunaan anggaran mamin yang masih belum efektif," ujarnya. Bisa ditekan Sementara itu, Komisi B DPRD Kab. Bandung juga mengusulkan kepada Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan (DPPK) Kab. Bandung untuk melakukan rasionalisasi biaya makan dan minum semua SKPD di Pemkab Bandung. Komisi B menilai dana mamin yang diajukan secara keseluruhan bisa ditekan 15 - 20%. "Kalau bisa menetapkan standar harga yang sama dan yang berlaku di pasaran efisiensi bisa dilakukan," ujar anggota Komisi B DPRD Kab. Bandung, Tb. Raditya kepada "GM" Sabtu (13/12). Dikatakan, dengan efisiensi yang dilakukan, dana bisa dialokasikan untuk belanja modal serta dapat dikurangi belanja langsung sub-belanja barang dan jasa. "Belanja modal yang berhubungan dengan program di masyarakat diharapkan bisa meningkat dengan rasionalisasi ini," paparnya. Raditya mengatakan, dengan rasionalisasi yang mulai diusulkan dalam RAPBD, defisit yang sebelumnya mencapai Rp 362 miliar bisa berkurang Rp 23 miliar. "Jumlah defisit tersebut bisa berkurang lagi bila dana untuk tunjangan penghasilan pejabat yang harus dikaji secara ilmiah diberikan sesuai saran yang nanti diberikan pihak ketiga," jelasnya. (B.98/B.89)** |