Ancaman “Penyakit” KKN bagi Otonomi Daerah
MERAJALELANYA "penyakit" korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di pusat (Jakarta) dalam berbagai pandangan para pengamat otonomi daerah menyiratkan adanya kekhawatiran yang dirasakan serius akan terjadinya penularan atau bahkan dapat memperkuat lagi praktek KKN di daerah. Sebab di samping masih kuatnya budaya paternalistik yang bersarang, terutama di tubuh-tubuh para pejabat birokrat daerah, juga ada tendensi dan indikasi munculnya kelompok kepentingan yang memanfaatkan momen dan berlindung atas nama otonomi daerah untuk menancapkan kerajaan KKN barunya di daerah. Hal ini, misalnya, tampak terjadi di daerah-daerah, seperti ada dugaan KKN di Pemda Jawa Barat, Bupati Sampang Madura Jawa Timur dan lain-lain, yang dalam hal ini masalah KKN lokal belum menjadi sorotan serius bagi masyarakat di daerah. Termasuk juga kalangan pers, karena lebih terfokus dan terpengaruh pada euforia politik sesaat, yang menganggap bahwa dengan otonomi daerah semua persoalan daerah akan dapat dipecahkan.
Tak sedikit masalah KKN di daerah bersumber pada penyakit yang telah mengkronis dan mengendemi serta mengepidemi di pusat, yang apabila kurang mendapat perhatian akan berdampak negatif bagi pelaksanaan otonomi daerah. Ancaman ini secara umum memang belum tampak serius, akan tetapi pada saatnya nanti akan berubah menjadi penyakit yang mematikan dan dapat merusak serta menghancurkan tatanan semua aspek kehidupan daerah, sebagaimana dirasakan secara mikro dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Sehingga dengan waktu yang masih ada dan potensi kesadaran yang dimiliki itu, daerah segera melakukan langkah-langkah eliminasi dan pemberantasan penyakit KKN sampai ke akar-akarnya, yang diketahui banyak bersarang pada para pejabat dan mantan pejabat, baik yang ada di pusat maupun di daerah.
Dengan demikian, maka perlu terus-menerus disuarakan sebagai jeritan keprihatinan atas nama bangsa ini bahwa mentalitas KKN yang amoral, melanggar hukum, merusak tatanan kehidupan bangsa dan sangat `memuakkan` itu, harus segera dibersihkan. Dan sehubungan dengan akan dilaksanakannya otonomi daerah, maka pejabat-pejabat baru daerah yang menjalankan amanat itu segera diselamatkan dan harus steril dari penyakit KKN tersebut. Sebagai prinsip dasar bahwa otonomi daerah yang segera akan dilaksanakan seharusnya tidak boleh terpengaruh dan tercemar berbagai bentuk KKN. Oleh sebab itu, maka upaya ke arah penanggulangan dan pembasmiannya menjadi sesuatu keharusan melalui berbagai terobosan kebijakan. Baik yang bersifat normatif dalam bentuk perangkat hukum tertulis maupun yang bersifat implementattif sebagai tindakan konkret dalam upaya sterilisasi dan penyelamatan pelaksanaan otonomi daerah.
Lembaga rawan KKN
Sebagai peringatan yang perlu mendapat perhatian dalam upaya sterilisasi dan penyelamatan pelaksanaan otonomi daerah dari praktek-praktek dan wabah penyakit KKN ini, khususnya kepada semua kalangan di daerah yang berkepentingan mengawasi jalannya otonomi daerah sesuai dengan yang diharapkan, perlu melakukan upaya-upaya antisipasi terhadap berbagai kerawanan KKN di daerah. Pertama , di lembaga-lembaga keuangan perbankan yang ada di daerah, baik bank milik daerah maupun bank swasta. Dikatakan rawan KKN, karena berdasarkan pengalaman yang terjadi di pusat, bank selalu menjadi incaran bagi elite pejabat yang mencari kesempatan berkolusi dan melakukan korupsi atau nepotisme dengan cara menggadaikan atau mengkompensasikan kekuasaan dan penyalahgunaan kewenangan yang dimilikinya.
Kedua , di lembaga-lembaga pemerintah, terutama yang menangani proyek daerah, mulai dari perencanaan, pembangunan, pengalokasian dana sampai kepada pengawasannya. Lembaga ini antara lain Badan Pembangunan Daerah (Bappeda), dan setiap instansi pemerintah daerah yang berkaitan dengan penanganan proyek tersebut, termasuk penyalur-penyalur bantuan dana kemanusiaan terhadap korban bencana alam. Sebab berdasarkan pengalaman yang terjadi di pusat terutama yang berkaitan dengan masalah proyek pembangunan, dengan penggunaan dana yang sangat besar terbukti tidak ada pertanggungjawaban yang jelas dihabiskan ke mana dan berapa persen yang benar-benar dialokasikan untuk pembangunan itu sendiri. Proyek bagi orang pusat menjadikan suatu kesempatan emas untuk ber-KKN dan menikmati keuntungan. Sehingga kepentingan pusat terlihat sangat besar sekali untuk terus mempertahankan sistem sentralisasi kekuasaan dan keuangan. Belum terpikirkan oleh mereka bahwa uang yang di-KKN-kan itu adalah uang rakyat, yang harus dibayar dengan keringat dan bahkan darah rakyat. Kemiskinan rakyat diproyekkan atau diatasnamakan dalam bentuk proyek-proyek untuk kepentingan segelintir elite yang sombong dengan segala kewenangannya.
Ketiga , di lembaga-lembaga politik, terutama pembuat dan pengawas kebijakan politik daerah. Di sini bisa terjadi juga pada lembaga-lembaga di luar pemerintah daerah, seperti DPRD dan partai-partai politik yang. KKN yang dilakukan biasanya berbentuk money politics untuk mendapatkan kegitimasi dan dukungan politik bagi kepentingan atau mendapatkan kekuasaan tertentu.
Keempat , di lembaga-lembaga penegakan hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan sampai pengadilan. Dari kaca mata psikologis, penyakit KKN yang dapat teridentifikasi sebagai penyakit mental ini telah banyak merasuki para pejabat dan mantan pejabat, bahkan tidak hanya terbatas pada sektor pemerintahan saja. Sektor swasta dan lembaga legislatif (DPR/DPRD) pun juga terimbas, yaitu dengan adanya indikasi money politics dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan politik kekuasaan. Bahkan, di lembaga yudikatif (peradilan dan pengadilan) yang tergolong sangat parah dan penyakit mentalnya telah mewabah hampir merata pada setiap individu aparat hukum dan terlebih Hakim Agungnya di lembaga Mahkamah Agung. Secara kasat mata dapat dilihat, betapa penyakit mental KKN ini telah merusak tatanan kehidupan sosial, budaya, politik, hukum, moral, dan agama.
Dari kaca mata yuridis, memang masalah KKN belum sepenuhnya menjadi kebijakan politik hukum yang secara total harus dibasmi. Hukum kita masih memperlihatkan adanya ketidakseriusan dan bersifat setengah-setengah, untuk tidak dikatakan tidak sama sekali, menerapkan sanksi berat terhadap pelaku KKN. Bahwa semua orang tahu, dalam penegakan hukum KKN ini banyak terjadi diskriminasi penerapannya dan justru di wilayah itu pula rawan terjadi KKN-KKN baru yang lebih dahsyat dan memuakkan. Kita melihat bahwa sama sekali belum ada kesadaran yang bisa diharapkan dari pemerintah pusat dan lembaga kenegaraan lainnya yang berada di pusat untuk secara menyeluruh menanggulangi dan membasmi penyakit KKN.
Kelima , di lembaga-lembaga keuangan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Sebagaimana BUMD yang ada di pusat yang terbukti sangat rawan terjadinya KKN.
Keenam, di lembaga-lembaga yang menangani penerimaan atau pemasukan keuangan daerah, seperti Kantor Pajak, Bea dan Cukai serta Kantor Imigrasi setempat. Ketujuh, di lembaga-lembaga yang mengurusi pertanahan. Kedelapan, di lembaga yang mengurusi pekerjaan umum (PU) dan bahan pangan/makanan seperti Bulog, koperasi karyawan/pegawai. Dan lembaga-lembaga lainnya yang diketahui rawan KKN.
Semua lembaga-lembaga di atas yang potensial atau memang sudah ada bibit-bibit penyakit KKN-nya di daerah harus diantisipasi dan ditanggulangi serta dibersihkan sekarang juga. Sehingga jangan sampai nantinya mengotori dan merusak pelaksanaan otonomi daerah yang didambakan dapat mengantarkan kesejahteraan bagi semua warga daerah. Bukan hanya untuk segelintir pejabat atau elite-elite daerah. Dengan demikian, maka tingkat kekhawatiran yang saat ini baru disuarakan oleh banyak pengamat otonomi daerah --yang khawatir penyakit KKN dan raja-raja kecilnya akan pindah ke daerah--, juga menjadi kekhawatiran bersama seluruh bangsa ini dan kemudian dilakukan upaya-upaya konkret untuk mengantisipasinya.
Kopo Permai 1 Januari 2002
H.Tubagus Raditya