Selasa, Februari 05, 2008

Saatnya Bank Jabar Menurunkan suku bunga khusus untuk PNS dan Guru di Kab Bandung



Perkembangan ekonomi makro tahun 2007 cukup mengembirakan inflasi dapat ditekan menjadi 7 %, nilai tukar dollar terhadap rupiah berada diangka psikologis yakni sebesar Rp. 9.100 – Rp. 9.200 an, BI Rate berkisar di angka 8 %, disusul harga minyak dunia $ 63/ barrel bahkan sempat menyentuh U$ 100/barel pada akhir tahun serta pertumbuhan ekonomi mencapai 5.6 % - 6 %. Indikator ekonomi inilah menunjukkan bahwa perkembangan ekonomi Indonesia menuju kearah yang lebih baik secara angka-angka diatas kertas. Namun hal ini hanyalah menjadi anomali dan illusian economic dimana kondisi ekonomi makro berbanding terbalik dengan sektor riel yang belum tumbuh, yang dikhawatirkan akan menjadi bubble economic. Bagaimana dengan tahun 2008 ? para pengamat mengatakan tahun 2008 merupakan tahun suram. Harga minyak yang masih tinggi menyebabkan pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan akan melambat dari 5,2% jadi 4,8%. Sejauh yang menyangkut Indonesia, perlambatan itu menyebabkan penerimaan ekspor nonmigas akan berkurang US$ 1,5 hingga US$ 2 miliar. Masalahnya kian berat karena membengkaknya subsidi BBM. Sementara itu beban utang makin menumpuk akibat menguatnya mata uang yen dan euro terhadap dolar. Situasi pasar minyak yang serba tidak pasti, ditambah kelesuan ekonomi dunia, dan diperparah lagi oleh merosotnya nilai dolar Amerika, semua itu adalah faktor-faktor eksternal yang dapat mengancam kesinambungan pembangunan Indonesia pada tahun 2008. Seberat apa pun tahun 2008, toh harus kita lewati juga. Pemerintah sendiri begitu optimistis menghadapi tahun 2008 dengan menetapkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8%. Kalaupun meleset, pertumbuhan sebesar 6,5% masih dalam jangkauan—sedikit lebih tinggi dari pertumbuhan 2007 yang diperkirakan akan mencapai 6,1% hingga 6,3%. Pertumbuhan cukup tinggi itu akan disumbangkan oleh sektor industri gas, listrik, air bersih, serta telekomunikasi. Sektor-sektor ini akan mengurangi dampak yang diakibatkan mandeknya pertumbuhan perdagangan, keuangan, dan jasa-jasa. Tetapi pertumbuhan yang tinggi juga dapat dilihat dari tingkat konsumsi yang tinggi dimasyarakat yang sangat dipengaruhi oleh Budaya konsumerisme yang tinggi serta tidak dapat memfilter transformasi Budaya dari luar yang masuk bertubi-tubi dari strategi promosi yang luar biasa dahsyatnya. Sehingga mendorong masyarakat untuk berprilaku consumer.

Dalam berita media masa pada awal November disampaikan bahwa perbankan mengenjot kredit konsumtif menjelang akhir tahun 2007 untuk memenuhi target pemberian kredit kepada masyarakat. Lebih lanjut, apabila kita perhatikan dengan seksama, komposisi kredit perbankan pada dua dekade belakangan ini, mengalami perubahan signifikan. Pada dekade sebelum 1990-an, komposisi kredit perbankan sebagian besar diperuntukkan bagi pembiayaan sektor produktif, baik itu sektor pertanian, sektor industri, sektor perdagangan, serta sektor produktif lainnya. Dengan demikian yang menjadi debitur perbankan, saat itu, kebanyakan adalah petani, pengusaha, ataupun pedagang. Namun seiring perubahan gaya perekonomian, porsi mereka dalam mendapatkan pembiayaan dari bank semakin berkurang dari hari ke hari. Di lain sisi, satu profesi, yaitu pekerja yang sebelumnya sangat jarang menjadi debitur perbankan, saat ini merupakan sasaran penyaluran kredit bank-bank dalam pembiayaan yang bersifat konsumtif.

Dari catatan perbankan nasional Indonesia per Agustus 2007, terlihat bahwa Rp 258 trilyun dari Rp 893 trilyun atau 29% outstanding kredit perbankan di Indonesia merupakan kredit konsumtif langsung kepada nasabah perbankan. Di samping itu, terdapat pula 11% (Rp 95,679 T) merupakan kredit yang diberikan kepada sektor jasa dunia usaha, yang isinya sebagian besar merupakan kredit kepada multi finance, koperasi simpan pinjam dan institusi lainnya yang meneruskan pembiayaan konsumtif kepada “customer” nya. Dengan demikan, sebenarnya, 40% dari outstanding kredit yang diberikan perbankan Indonesia disalurkan kepada sektor konsumtif yang hampir seluruhnya, dinikmati oleh kaum pekerja. Jika dibandingkan dengan profesi pedagang, profesi pekerja sangat besar mendapatkan fasilitas kredit dari bank. Pemberian kredit kepada sektor perdagangan (termasuk hotel & restoran) “hanya” sebesar 21% (Rp 192T) dari total outstanding kredit perbankan Indonesia tahun 2006. Sektor pertanian mendapatkan jauh lebih kecil lagi, yaitu “hanya” 5,5% (Rp 49T). Sektor industri, yang seharusnya menjadi penopang PDB di era ekonomi modern saat ini, “hanya” mendapatkan 21% (Rp 189,7T) saja dari total outstanding kredit.

Berdasarkan data di atas, dapat kita lihat, bahwa yang mendorong pertumbuhan kredit perbankan saat ini adalah sektor konsumtif, bukan sektor produktif. Dengan demikian, pada saat ini, jauh lebih banyak profesi pekerja (pegawai) yang menjadi debitur perbankan dibandingkan profesi pedagang ataupun pengusaha apalagi jika dibandingkan dengan profesi petani. Hal serupa juga terjadi di Amerika, sebagaimana yang disampaikan Joseph E. Stiglitz dalam bukunya The Roaring Nineties: A New History of the World’s Most Prosperous Decade (2003), bahwa kini, rata-rata orang Amerika yang berhutang bukan petani, melainkan orang-orang yang menjadi pegawai. Hal tersebut juga dilakukan oleh Bank Jabar yang bermotto “Mitra Usaha Untuk Sejahtera” , yang sebagian sahamnya dimiliki oleh PEMKAB Kab Bandung (9,94%) dengan menyetorkan penyertaan modal ( Menurut data per September 2006) sebanyak 120,2 Miliar, Yang merupakan pemegang saham terbesar tingkat kabupaten dan kota se Jawa Barat dan Banten, yang seharusnya menjadi penggerak utama sektor riil di kabupaten Bandung, tapi didalam kenyataannya tingkat pertumbuhan Kredit Produktif yang berasal dari Bank Jabar tidak sebanding dengan pertumbuhan Kredit konsumsi, dimana hampir 80% dari PNS dan Guru yang bekerja di kabupaten Bandung menjadi target Pasar kredit konsumtif dari Bank Jabar, dengan tingkat suku bunga antara 9-11% Flat pertahun dengan tanpa resiko. Kenapa tanpa resiko karena dipotong langsung dari gaji yang mereka terima, yang juga bank Jabar sebagai Pay roll dari pembayaran gaji mereka, Kondisi ini sungguh Kurang adil apabila kita melihat kondisi BI rate bulan ini (februari 2008) 8% Effective. Apalagi dibandingkan dengan tingkat suku bunga yang ditawarkan oleh bank-bank lain yang berani mematok 5.5% Flat pertahun untuk kredit kendaraan bermotor yang tentunya harus memperhitungkan tingkat resiko. Dengan keadaan tersebut diatas sangatlah pantas apabila mulai sekarang Bank Jabar dapat memberikan "Kado indah" untuk Pegawai negeri Sipil dan Guru khususnya yang berada di Kabupaten Bandung, yang dengan kondisi sekarang dirasakan sangat berat untuk dapat mencukupi kehidupan yang layak dimana beban kerja yang sangat berat serta didorong oleh tingkat kebutuhan hidup yang sangat tinggi. Penulis yakin selain dapat mengurangi beban hidup mereka, para PNS dan Guru di kabupaten Bandung Juga akan selalu mendoakan agar Bank Jabar semakin maju dan berkembang di Jawa Barat, apalagi mau menghadapi IPO (initial Public Offering). SEMOGA SUKSES Go Public !!!


Tidak ada komentar: