Otonomi Daerah = Perjuangan Keras Daerah
Dengan diterapkannya kebijakan implementasi otonomi daerah mulai 1 Januari 2001 yang lalu, berarti semua daerah otonom (kabupaten/kota) di Indonesia khususnya PEMDA Kab Bandung mau tidak mau atau suka tidak suka, sejak saat itu harus berusaha dan berjuang keras. Dan dengan segala kemampuan,potensi dan kreativitasnya dituntut untuk melaksanakan salah satu amanat penting reformasi bangsa dan negara ini tanpa harus bersikap ragu, setengah hati atau bahkan merasa kehilangan `sesuatu` sebagaimana kesan yang selalu dominan ditunjukkan oleh pejabat-pejabat pusat di Jakarta.
Pelaksanaan otonomi daerah, tidak bisa tidak harus konkret diperjuangkan. Segala sesuatunya yang merupakan hak dan kewenangan daerah, baik secara hukum dan perundang-undangan maupun hak-hak asasi daerah yang sampai saat ini masih dipegang dan dikuasai oleh pusat, harus terus dituntut dan kalau perlu direbut. Sebab berdasarkan pengalaman selama ini, sangat mustahil atau sulit diharapkan kesadaran pusat dengan begitu saja untuk menyerahkan atau memberikan hak dan kewenangan daerah yang selama ini dinikmatinya.
Daerah dalam era otonomi ini sangat tepat untuk mengoptimalkan potensi pembangunan daerahnya dengan prinsip-prinsip demokratis, keadilan, dan kesejahteraan rakyat. Prinsip menolong diri sendiri (providing self-help) dan mengatasi permasalahan daerah sendiri menjadi sangat penting dan realistis untuk dilakukan mengingat kondisi negara yang saat ini dalam keadaan tidak menentu dan penuh konflik. Kehidupan bernegara kesatuan yang dipusatkan di Jakarta agaknya sudah sampai kepada ketidakpastian yang sangat memprihatinkan. Sehingga sangat sulit pemerintah pusat diharapkan dapat menolong dan mengatasi permasalahan secara cepat yang menjadi tanggung jawabnya di daerah. Hal itu secara nyata, tercermin oleh sikap dan mentalitas elite-elite pejabatnya yang hingga saat ini hanya mengerti berkuasa saja dan tidak mau tahu akan konsekuensi tanggung jawabnya terhadap rakyat.
Dengan demikian, maka terhadap semua yang terjadi di Jakarta itu patut dijadikan sebagai contoh buruk yang sama sekali tidak mendewasakan berdemokrasi dan sangat mencederai negara kesatuan yang telah lama dibangun. Dari sisi ini dapat dipahami dan dibenarkan sikap kebanyakan daerah yang acuh tak acuh terhadap apa yang terjadi di pusat sekarang ini. Bahkan merupakan langkah bijak daerah yang patut dibanggakan untuk mengambil jarak dan tidak mau terpengaruh dengan berbagai urusan pusat yang tidak jelas arah dan penyelesaiannya itu. Perlu kesadaran dan kebersamaan Dalam menghadapi persoalan daerah yang terjadi di era otonomi ini, ada beberapa strategi penyelesaian yang patut menjadi upaya daerah secara otonom dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki dan juga sebagai upaya agar tidak terjadi intervensi berlebihan dari pusat yang tidak menguntungkan daerah.
Pertama, berkaitan dengan penyelesaian konflik-konflik sosial dan politik yang bersifat internal daerah, baik yang telah ada maupun yang secara potensial akan terjadi. Menghadapi persoalan ini, yang paling utama dilakukan adalah memprioritaskan penyelesaiannya melalui proses yang demokratis sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
Semua unsur yang potensial dalam penyelesaian itu harus terlibat dan dilibatkan. Yang diutamakan adalah figur-figur yang benar-benar mewakili unsur konflik, baik dari pihak masyarakat maupun pejabat daerah setempat atau daerah tetangga, apabila konfliknya itu bersifat antardaerah. Dengan penuh kesadaran semua pihak diupayakan agar dapat duduk bersama, berdialog secara sehat, terbuka, dan berjiwa besar menyikapi perbedaan yang ada, menyamakan visi ke depan yang penuh pertanggungjawaban dan kesadaran bahwa masih ada generasi berikutnya yang harus diselamatkan dari konflik-konflik itu. Usaha untuk mencapai kebersamaan tidak berarti harus memaksakan sesuatu yang secara prinsip berbeda. Akan tetapi kebersamaan itu harus dibangun dan diarahkan pada suatu kesadaran bersama dengan pendekatan yang objektif, saling menguntungkan dan memberi manfaat, tidak saja untuk jangka pendek, akan tetapi juga ke depan yang lebih panjang. Kesepakatan yang dicapai pun hendaklah merupakan cerminan dari suatu kesadaran berotonomi daerah dan demi kepentingan menjaga keutuhan dan memajukan daerah. Agar cara penyelesaian konflik yang dialogis itu dapat dipertahankan dan dikembangkan secara luas, maka perlu dilembagakan menjadi nilai-nilai kemasyarakatan daerah setempat yang kemudian perlu juga dituangkan dalam bentuk peraturan daerah (perda), peraturan desa, atau peraturan masyarakat adat daerah setempat. Meski demikian, pada kenyataannya tidak semua persoalan konflik di daerah itu dapat diselesaikan melalui proses dialogis seperti yang diharapkan. Oleh sebab itu terbuka kemungkinan juga diselesaikan secara hukum, melalui lembaga peradilan dan aparat penegak hukum.
Kedua, dari banyak persoalan di bidang sosial ekonomi ini, yang utama di antaranya adalah, mengatasi persoalan kemiskinan, keterpurukan pendidikan, kesehatan, dan musibah bencana alam. Upaya penyelesaian terhadap persoalan ini harus dilakukan secara komprehensif, dan melibatkan juga semua unsur yang terkait di daerah. Bahkan dalam upaya tersebut dapat pula melibatkan unsur-unsur dari luar daerah, berupa tenaga-tenaga ahli, konsultan yang profesional, investor dan lembaga-lembaga sosial ekonomi yang potensial. Dengan segala kemampuan, potensi dan kewenangan besar yang dimiliki daerah di era otonomi ini, maka sangat terbuka kesempatan untuk menata kembali dan menyusun strategi penyelesaian persoalan sosial ekonomi tersebut dengan mengaitkannya pada upaya pembangunan daerah ke depan, melalui perencanaan dan penyusunan visi dan misi yang jelas, serta dapat dipertanggungjawabkan secara transparan kepada rakyatnya. Untuk itu, daerah harus merasa percaya diri dan merasa berkemampuan menolong diri sendiri secara optimal. Strategi yang ditempuh adalah strategi yang penuh pertanggungjawaban, mengatasi dan menyelesaikan persoalan tanpa menimbulkan persoalan baru kalau dalam bahasa yang dikutip dari motto pegadaian yaitu mengatasi masalah tanpa masalah atau meminimalisir masalah baru . Aspek-aspek kemanusiaan dalam pembangunan daerah harus menjadi pertimbangan utama dan menjadi pendekatan baku yang harus dilakukan. Berkaitan dengan hal itu, maka sangat perlu pula dilakukan berbagai pembenahan dan pembenaran mengenai data-data statistik (data base) masalah kependudukan, Potensi daerah, kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan dapat membuat sebuah “scenario planning” dalam penanggulangan musibah bencana alam secara akurat . Di samping juga, perlu dibuatkan profil lengkap dari masing-masing masalah dan pemetaan lokasinya secara jelas. Sehingga memudahkan pengenalan, penanganan, dan penyelesaian masalah tersebut.
Ketiga, dalam era otonomi ini, terutama di jajaran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang baru dan pemerintah daerah (pemda) Khususnya di Kabupaten Bandung yang mempunyai kewajiban membentuk perda di daerahnya, harus benar-benar menguasai minimal dasar-dasar pengetahuan hukum tata negara, khususnya tentang peraturan perundang-undangan dengan segala aspeknya, serta menguasai substansi yang akan diatur. Sehingga produk hukum yang dihasilkan jelas urgensinya, tepat sasarannya serta mampu mengatur kebutuhan hukum masyarakat, baik untuk masa kini maupun kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa yang akan datang tanpa membuat suatu pasal yang mempunyai suatu nilai position bargaining (pasal bersayap) dengan kepentingan-kepentingan tertentu, diluar kepentingan masyarakat secara luas. Dalam penyelenggaraan pemerintah daerah yang demokratis, pembentukan perda sudah seharusnya mengikutsertakan masyarakat secara transparan dan terbuka baik langsung maupun melalui representasi aspirasinya, dengan tujuan agar dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat. Sehingga aturan yang dirumuskan itu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya dan dapat dilaksanakan secara efektif, tidak sebagai aturan yang mati atau bahkan keberadaannya justru ditentang oleh masyarakat. Di samping itu, dengan mengikutsertakan masyarakat berarti akan mempermudah sosialisasinya, apabila perda itu diberlakukan.
Keempat yang juga sangat penting adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta beriman dan bertakwa merupakan prasyarat utama yang harus dipenuhi. Tidak sekadar retorika atau formalitas belaka, dalam kerangka otonomi daerah itu. Tentu saja yang berkaitan dengan peningkatan kualitas SDM ini, di samping harus mendapat perhatian utama bagi semua pihak di daerah, juga diselaraskan dengan kondisi masyarakatnya yang menuntut pemerataan serta peningkatan SDM secara proporsional. Dan bagi daerah otonom yang berhasil memprioritaskan perhatiannya pada masalah peningkatan dan pemerataan peningkatan SDM ini, pasti akan memperoleh banyak keunggulannya di masa yang akan datang, karena Peningkatan kualitas SDM atau pendidikan merupakan sebuah Investasi jangka panjang,(long term investment) yang akan terasa untuk generasi yang akan datang.
Kelima, kendati pada era otonomi ini daerah punya kebebasan melaksanakan otonomi dengan semangat kedaerahannya, akan tetapi bukan berarti ia sama sekali mengisolasikan diri dari pergaulan dunia, baik dalam lingkup naisonal, regional, maupun dunia internasional. Sebab hal itu berkaitan dengan eksistensiya sebagai bagian yang tak terpisahkan dan bahkan dituntut sedemikian rupa untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan global (globalisasi). Sebab, otonomi daerah menjadi tidak berarti atau tidak dapat terlaksana dengan baik, jika daerah itu terlalu menutup diri atau tidak peduli dengan perkembangan global tersebut, malahan harus mencoba masuk dalam pergaulan global serta harus mempunyai kepercayaan diri yang besar untuk ikut serta bertarung dan dapat menangkap peluang (catch the chance) di persaingan global dengan mengoptimalkan komparatif advantage yang dipunyai oleh daerah tanpa harus mengabaikan serta menghilangkan nilai, budaya dan semangat kedaerahannya yang harus dijalankan serta tetap bersandarkan pada nilai-nilai nasionalisme dan universalisme. Tuntutan terhadap penggunaan sarana tehnologi informasi dan komunikasi modern akan sangat mempengaruhi kemajuan otonomi daerah yang dicapai, karena dengan memanfaatkan tehnologi informasi yang berbasis pada pada sistem informasi manajemen pemerintahan dapat membuat suatu sistem yang sangat simple, akurat, efektif serta efisien dalam menjalankan roda birokrasi di daerah sehingga akan mempercepat proses pelayanan terhadap masyarakat. Dengan adanya sarana komunikasi serta tehnologi informasi yang modern dapat pula dijadikan suatu sarana untuk mencoba memasarkan (marketing place) daerah kepada dunia, sehingga informasi yang dibutuhkan oleh dunia internasional dapat lebih mudah untuk mendapatkan informasi tentang potensi daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah, tidak bisa tidak harus konkret diperjuangkan. Segala sesuatunya yang merupakan hak dan kewenangan daerah, baik secara hukum dan perundang-undangan maupun hak-hak asasi daerah yang sampai saat ini masih dipegang dan dikuasai oleh pusat, harus terus dituntut dan kalau perlu direbut. Sebab berdasarkan pengalaman selama ini, sangat mustahil atau sulit diharapkan kesadaran pusat dengan begitu saja untuk menyerahkan atau memberikan hak dan kewenangan daerah yang selama ini dinikmatinya.
Daerah dalam era otonomi ini sangat tepat untuk mengoptimalkan potensi pembangunan daerahnya dengan prinsip-prinsip demokratis, keadilan, dan kesejahteraan rakyat. Prinsip menolong diri sendiri (providing self-help) dan mengatasi permasalahan daerah sendiri menjadi sangat penting dan realistis untuk dilakukan mengingat kondisi negara yang saat ini dalam keadaan tidak menentu dan penuh konflik. Kehidupan bernegara kesatuan yang dipusatkan di Jakarta agaknya sudah sampai kepada ketidakpastian yang sangat memprihatinkan. Sehingga sangat sulit pemerintah pusat diharapkan dapat menolong dan mengatasi permasalahan secara cepat yang menjadi tanggung jawabnya di daerah. Hal itu secara nyata, tercermin oleh sikap dan mentalitas elite-elite pejabatnya yang hingga saat ini hanya mengerti berkuasa saja dan tidak mau tahu akan konsekuensi tanggung jawabnya terhadap rakyat.
Dengan demikian, maka terhadap semua yang terjadi di Jakarta itu patut dijadikan sebagai contoh buruk yang sama sekali tidak mendewasakan berdemokrasi dan sangat mencederai negara kesatuan yang telah lama dibangun. Dari sisi ini dapat dipahami dan dibenarkan sikap kebanyakan daerah yang acuh tak acuh terhadap apa yang terjadi di pusat sekarang ini. Bahkan merupakan langkah bijak daerah yang patut dibanggakan untuk mengambil jarak dan tidak mau terpengaruh dengan berbagai urusan pusat yang tidak jelas arah dan penyelesaiannya itu. Perlu kesadaran dan kebersamaan Dalam menghadapi persoalan daerah yang terjadi di era otonomi ini, ada beberapa strategi penyelesaian yang patut menjadi upaya daerah secara otonom dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki dan juga sebagai upaya agar tidak terjadi intervensi berlebihan dari pusat yang tidak menguntungkan daerah.
Pertama, berkaitan dengan penyelesaian konflik-konflik sosial dan politik yang bersifat internal daerah, baik yang telah ada maupun yang secara potensial akan terjadi. Menghadapi persoalan ini, yang paling utama dilakukan adalah memprioritaskan penyelesaiannya melalui proses yang demokratis sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
Semua unsur yang potensial dalam penyelesaian itu harus terlibat dan dilibatkan. Yang diutamakan adalah figur-figur yang benar-benar mewakili unsur konflik, baik dari pihak masyarakat maupun pejabat daerah setempat atau daerah tetangga, apabila konfliknya itu bersifat antardaerah. Dengan penuh kesadaran semua pihak diupayakan agar dapat duduk bersama, berdialog secara sehat, terbuka, dan berjiwa besar menyikapi perbedaan yang ada, menyamakan visi ke depan yang penuh pertanggungjawaban dan kesadaran bahwa masih ada generasi berikutnya yang harus diselamatkan dari konflik-konflik itu. Usaha untuk mencapai kebersamaan tidak berarti harus memaksakan sesuatu yang secara prinsip berbeda. Akan tetapi kebersamaan itu harus dibangun dan diarahkan pada suatu kesadaran bersama dengan pendekatan yang objektif, saling menguntungkan dan memberi manfaat, tidak saja untuk jangka pendek, akan tetapi juga ke depan yang lebih panjang. Kesepakatan yang dicapai pun hendaklah merupakan cerminan dari suatu kesadaran berotonomi daerah dan demi kepentingan menjaga keutuhan dan memajukan daerah. Agar cara penyelesaian konflik yang dialogis itu dapat dipertahankan dan dikembangkan secara luas, maka perlu dilembagakan menjadi nilai-nilai kemasyarakatan daerah setempat yang kemudian perlu juga dituangkan dalam bentuk peraturan daerah (perda), peraturan desa, atau peraturan masyarakat adat daerah setempat. Meski demikian, pada kenyataannya tidak semua persoalan konflik di daerah itu dapat diselesaikan melalui proses dialogis seperti yang diharapkan. Oleh sebab itu terbuka kemungkinan juga diselesaikan secara hukum, melalui lembaga peradilan dan aparat penegak hukum.
Kedua, dari banyak persoalan di bidang sosial ekonomi ini, yang utama di antaranya adalah, mengatasi persoalan kemiskinan, keterpurukan pendidikan, kesehatan, dan musibah bencana alam. Upaya penyelesaian terhadap persoalan ini harus dilakukan secara komprehensif, dan melibatkan juga semua unsur yang terkait di daerah. Bahkan dalam upaya tersebut dapat pula melibatkan unsur-unsur dari luar daerah, berupa tenaga-tenaga ahli, konsultan yang profesional, investor dan lembaga-lembaga sosial ekonomi yang potensial. Dengan segala kemampuan, potensi dan kewenangan besar yang dimiliki daerah di era otonomi ini, maka sangat terbuka kesempatan untuk menata kembali dan menyusun strategi penyelesaian persoalan sosial ekonomi tersebut dengan mengaitkannya pada upaya pembangunan daerah ke depan, melalui perencanaan dan penyusunan visi dan misi yang jelas, serta dapat dipertanggungjawabkan secara transparan kepada rakyatnya. Untuk itu, daerah harus merasa percaya diri dan merasa berkemampuan menolong diri sendiri secara optimal. Strategi yang ditempuh adalah strategi yang penuh pertanggungjawaban, mengatasi dan menyelesaikan persoalan tanpa menimbulkan persoalan baru kalau dalam bahasa yang dikutip dari motto pegadaian yaitu mengatasi masalah tanpa masalah atau meminimalisir masalah baru . Aspek-aspek kemanusiaan dalam pembangunan daerah harus menjadi pertimbangan utama dan menjadi pendekatan baku yang harus dilakukan. Berkaitan dengan hal itu, maka sangat perlu pula dilakukan berbagai pembenahan dan pembenaran mengenai data-data statistik (data base) masalah kependudukan, Potensi daerah, kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan dapat membuat sebuah “scenario planning” dalam penanggulangan musibah bencana alam secara akurat . Di samping juga, perlu dibuatkan profil lengkap dari masing-masing masalah dan pemetaan lokasinya secara jelas. Sehingga memudahkan pengenalan, penanganan, dan penyelesaian masalah tersebut.
Ketiga, dalam era otonomi ini, terutama di jajaran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang baru dan pemerintah daerah (pemda) Khususnya di Kabupaten Bandung yang mempunyai kewajiban membentuk perda di daerahnya, harus benar-benar menguasai minimal dasar-dasar pengetahuan hukum tata negara, khususnya tentang peraturan perundang-undangan dengan segala aspeknya, serta menguasai substansi yang akan diatur. Sehingga produk hukum yang dihasilkan jelas urgensinya, tepat sasarannya serta mampu mengatur kebutuhan hukum masyarakat, baik untuk masa kini maupun kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa yang akan datang tanpa membuat suatu pasal yang mempunyai suatu nilai position bargaining (pasal bersayap) dengan kepentingan-kepentingan tertentu, diluar kepentingan masyarakat secara luas. Dalam penyelenggaraan pemerintah daerah yang demokratis, pembentukan perda sudah seharusnya mengikutsertakan masyarakat secara transparan dan terbuka baik langsung maupun melalui representasi aspirasinya, dengan tujuan agar dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat. Sehingga aturan yang dirumuskan itu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya dan dapat dilaksanakan secara efektif, tidak sebagai aturan yang mati atau bahkan keberadaannya justru ditentang oleh masyarakat. Di samping itu, dengan mengikutsertakan masyarakat berarti akan mempermudah sosialisasinya, apabila perda itu diberlakukan.
Keempat yang juga sangat penting adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta beriman dan bertakwa merupakan prasyarat utama yang harus dipenuhi. Tidak sekadar retorika atau formalitas belaka, dalam kerangka otonomi daerah itu. Tentu saja yang berkaitan dengan peningkatan kualitas SDM ini, di samping harus mendapat perhatian utama bagi semua pihak di daerah, juga diselaraskan dengan kondisi masyarakatnya yang menuntut pemerataan serta peningkatan SDM secara proporsional. Dan bagi daerah otonom yang berhasil memprioritaskan perhatiannya pada masalah peningkatan dan pemerataan peningkatan SDM ini, pasti akan memperoleh banyak keunggulannya di masa yang akan datang, karena Peningkatan kualitas SDM atau pendidikan merupakan sebuah Investasi jangka panjang,(long term investment) yang akan terasa untuk generasi yang akan datang.
Kelima, kendati pada era otonomi ini daerah punya kebebasan melaksanakan otonomi dengan semangat kedaerahannya, akan tetapi bukan berarti ia sama sekali mengisolasikan diri dari pergaulan dunia, baik dalam lingkup naisonal, regional, maupun dunia internasional. Sebab hal itu berkaitan dengan eksistensiya sebagai bagian yang tak terpisahkan dan bahkan dituntut sedemikian rupa untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan global (globalisasi). Sebab, otonomi daerah menjadi tidak berarti atau tidak dapat terlaksana dengan baik, jika daerah itu terlalu menutup diri atau tidak peduli dengan perkembangan global tersebut, malahan harus mencoba masuk dalam pergaulan global serta harus mempunyai kepercayaan diri yang besar untuk ikut serta bertarung dan dapat menangkap peluang (catch the chance) di persaingan global dengan mengoptimalkan komparatif advantage yang dipunyai oleh daerah tanpa harus mengabaikan serta menghilangkan nilai, budaya dan semangat kedaerahannya yang harus dijalankan serta tetap bersandarkan pada nilai-nilai nasionalisme dan universalisme. Tuntutan terhadap penggunaan sarana tehnologi informasi dan komunikasi modern akan sangat mempengaruhi kemajuan otonomi daerah yang dicapai, karena dengan memanfaatkan tehnologi informasi yang berbasis pada pada sistem informasi manajemen pemerintahan dapat membuat suatu sistem yang sangat simple, akurat, efektif serta efisien dalam menjalankan roda birokrasi di daerah sehingga akan mempercepat proses pelayanan terhadap masyarakat. Dengan adanya sarana komunikasi serta tehnologi informasi yang modern dapat pula dijadikan suatu sarana untuk mencoba memasarkan (marketing place) daerah kepada dunia, sehingga informasi yang dibutuhkan oleh dunia internasional dapat lebih mudah untuk mendapatkan informasi tentang potensi daerah.
Mari Kita Sama-sama Bangun Kabupaten Bandung dengan Silih asahan, Silih Asuhan, Silih Asihan dan Silih Wawangi.
. BRAL GEURA MIANG TANDANG MAKALANGAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar